Wisnu menghampiri Bella yang sedang dugem dan mabuk di sebuah bar. “Oh, kau disini?” tukas Bella sempoyongan. “Aku kasih tahu ya, gadis itu sudah kurang ajar padaku. Aku pastikan dia akan menyesal sudah menamparku! Dasar pelacur murahan!”Wisnu menggelengkan kepalanya atas sikap buruk wanita itu. Jika dia seorang pria maka Wisnu sudah pasti mengajaknya berantem.“Kau masih belum berubah juga, Bella!” Wisnu tahu Bella belum begitu mabuk dan masih bisa mendengarnya dengan baik. “Aku sudah tahu semua rencanamu, jadi dengarkan aku! Jika aku masih melihatmu belum berangkat ke Amerika besok, aku akan mencabut surat rekomendasiku!”“Hah! Jangan sok ngatur hidupku, aku belum membalas dendam pada gadis itu. Aku tidak mau pergi dulu!”Wisnu meletakan tangannya pada pipi Bella dan mengelusnya dengan lembut. Untuk sesaat Bella merasa terbuai. Dia menatap Wisnu dengan berharap.“Kau dulu tidak begini, aku heran apa yang membuat sikapmu menjadi sangat buruk seperti ini?”“Aku hanya merasa semua or
Amanda mengemasi barang-barangnya dan tidak berdaya teringat tentang liontin yang harus ditinggalnya. Dia bekerja dan melakukan banyak hal untuk mendapatkan liontin itu kembali. Dia rela direndahkan dan diremehkan karena liontin itu. Tapi kenyataannya dia tidak mendapatkan apapun. Hanya luka dan pengalaman pahit cintanya.“Ambil tiket kereta jam berapa?” tanya Lesti membantu Amanda beres-beres.“Pagi,” jawab Amanda singkat karena dadanya masih terasa sesak. Tak sanggup berkata-kata panjang.“Kalau begitu aku akan minta ganti shift biar bisa antar kamu”“Tidak perlu juga, Les.”“Aku khawatir saja sama kamu”“Aku bisa berangkat sendiri. Kamu kan baru di tempatmu kerja. Nanti malah dapat masalah”Lesti terdiam, sebenarnya dia memang sulit meminta ijin atau paling tidak ganti shift kerja. “Ya lihat besok sajalah, mudah-mudahn sih boleh!”Keduanya terlihat minum teh bareng di ruang tamu tapi hanyut dalam pikiran masing-masing. Lesti jadi cemas karena Amanda lebih banyak diam dan melamun
~*Kota Batu, sebulan kemudian*~Uap panas mengepul di atas mangkuk yang berisi sup buatan Amanda. Moana mengambil sendok dan mencicipi sup itu. Bibirnya terkembang dan tangannya mengacungkan jempol pada putrinya itu.“Mantap!” ujarnya lalu duduk di meja berhadapan dengan Amanda. “Sejak kapan kamu jadi suka masak? Sedap-sedap lagi!”“Jurusanku kan gizi, Ma. Jadi harus bisa olah makanan juga kan?” tukas Amanda menyendok sup itu ke mulutnya. Sebenarnya dia intens belajar masak sejak bekerja di rumah Wisnu. Setiap malam dia searching tentang menu-menu makanan sehat dan mempraktikannya. Kalau begini jadi teringat Purwa, apa kabar orang tua itu? apa sudah lebih sehat sekarang? Dan apa kabar pria itu? sudah menikah dia?“Kok nglamun?” Moana melihat Amanda bengong.“Eh, enggaaaak!”“Papamu tadinya mau datang hari ini, tapi karena tantemu besok juga datang dari Paris aku minta sekalian datang besok saja biar bisa jemput dan bareng Marina”“Oh, tante datang juga?” Amanda antusias.“Nanti tolo
Moana dan Amanda berbelanja bersama. Mereka memilih buah dan sayuran segar untuk dimasukan ke keranjang. Moana masih menawar harga saat penjual itu memberikan harga.“Ma, itu udah murah. Jangan ditawar lagi!” bisik Amanda menyenggol bahu mamanya.“Mahal itu, kamu mana pernah sih belanja beginian!”“Ya pernah lah, Ma! Di Jakarta harga segitu murah banget”“Ish! Ini di Kota Batu, sayur dan buah dari kebun sekitar saja. Jangan samakan harga Jakarta dengan harga di sini!”“Ya tapi jangan apa-apa di tawar dong, Ma! Dasar emak-emak!”“Orang seperti Mama harus pake nawar biar bisa irit belanjanya, emang kamu yang tiap bulan masih dapat jatah dari papa kamu!” ujar Moana sambil berlalu memilih belanjaan lainnya.Amanda tercenung dan sedih dengan ucapan mamanya. Dia seperti tersindir atas ucapan itu. Mamanya memang harus bekerja untuk kebutuhan hidupnya sendiri karena sudah bercerai dari papanya. Di usianya ini harusnya dia sudah bekerja dan bisa meringankan beban mamanya, bukannya malah bikin
Seseorang mempersilahkan Dirja memasuki sebuah suite room hotel. Di sana sudah ada pria tegap yang menyambutnya, menundukan kepala dan memberi hormat pada Dirja.“Silahkan duduk, Pak! Mohon maaf jika harus menunggu sebentar,” ujar pria itu.“Oh baiklah” tukas Dirja tidak mempermasalahkannya dan mengambil duduk di kursi. Diraihnya majalah bisnis dan property yang ada di sofa sampingnya.Tidak berapa lama akhirnya yang ditunggu pun muncul. Dirja berdiri menghormati kedatangannya. Setelah saling berjabat tangan keduanya duduk kembali.“Menunggunya lama, Om?” tukas pria itu pada Dirja. Dirja terkejut dipanggil dengan sebutan OM. Bukan karena tidak suka, tapi karena merasa tidak sedekat itu dengan presiden direktur di perusahaannya.“Ah, Pak Wisnu. saya jadi tersanjung dipanggil Om,” tukas Dirja sungkan.“Oh, maaf! Astaga, saya kepikiran Om saya jadi sampai memanggil OM ke Pak Dirja.” “Ahaha, apa kabarnya Pak Purwa? Beliau sehat?” Dirja jadi menyinggung tentang Purwa.“Sehat, Alhamdulill
Hari ini Amanda berencana menanyakan tentang kesehatan Moana langsung pada dokter yang memeriksanya . Sekalian menanyakan apa saja yang harus dilakukannya untuk proses penyembuhan mamanya.Saat ini dia sedang mencari-cari kartu berobat yang biasanya dipakai Moana periksa. Setelah ketemu dia langsung pamit keluar menggunakan matic-nya. Tidak sampai setengah jam dia sudah sampai di rumah sakit umum tempat mamanya periksa.Sekarang dia sudah ada di ruang dokter yang biasanya memeriksa mamanya.“Tidak perlu terlalu dicemaskan, asalkan Bu Moana rutin mengkonsumsi obatnya, makan-makanan yang sehat, tidak stress dan tidak capek, dia akan baik-baik saja” ujar Dokter Ramon spesialis penyakit dalam yang biasanya memeriksa Moana.“Bagaimana agar mamaku bisa sembuh, Dok?”Dokter itu menggeleng. “Tidak bisa sembuh tapi hanya bisa diobati untuk menghentikan kerusakan jaringan”Amanda melangkah gontai dan membutuhkan kursi untuk duduk menenangkan dirinya. Perasaannya ini sudah tidak bisa di gambar
Amanda mencari-cari kartu nama yang diberikan Dirja kemarin padanya. Dia lupa menaruhnya di mana. Padahal rencananya dia mau menghubungi pria itu untuk membahas pertemuan mereka malam ini. Mana dia juga belum membaca nama pria itu lagi!Papanya lebih sering menyebutnya dengan bahasa lebih formal. Beliau, pria pilihan papa itu, bos saya itu, dan sebutan lain yang bukan nama. Sehingga Amanda belum tahu siapa sebenarnya nama pria itu.Ting!Bunyi notifikasi di HP Amanda. Dia kemudian melihat ada nomor asing yang mengirimkan pesan.[Kata Pak Dirja besok kita harus ketemu, di mana?]Amanda membaca pesan dan menduga pasti dari pria itu. Amanda bingung bagaimana membalasnya. Ahirnya dia cari aman dengan membalas kata-kata pendek saja.[Ya, terserah anda][Hotel Esther, jam 19.00, apa butuh dijemput?][Tidak terima kasih][Oke, selamat malam!]Amanda berpikir lagi, Bagaimana nanti dia harus mencari pria itu jika dia sendiri tidak tahu namanya. Akhirnya dia pun mengetikan pesan lagi.[Maaf, a
Amanda mengikuti pria itu masuk ke dalam lift kemudian melihatnya memencet tombol lantai 20. Itu lantai tertinggi di hotel ini. Amanda tahu karena hotel ini tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dan hotel ini adalah gedung tertinggi di kotanya.“Nona, silahkan masuk, anda sudah ditunggu di dalam,” ujar Abim membuka pintuAmanda mengangguk sopan dan kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah ruangan yang sangat luas. Dari tempat itu Amanda juga bisa melihat pemandangan di bawah sana yang tentunya sangat memukau. Kota Batu adalah daerah pegunungan. Dan sekarang ada di sebuah gedung dengan lantai yang paling tinggi tentu bisa membuatnya melihat hamparan pemandangan yang jauh di bawah sana dengan berhias gemerlap lampu.Saat seperti ini justru pikirannya melayang pada seseorang nun jauh di sana. Tidak tahu apakah seseorang itu akan merindukannya atau tidak. Hatinya pedih memikirkan jalan cintanya yang harus kandas begitu saja. kisah singkat yang begitu indah untuk dilupakan. Cinta sesaat yan