Amanda tidak bisa memejamkan matanya mengingat apa yang sudah di sampaikan Wisnu padanya tadi sore. Dia ingin menelpon mamanya, namun sudah larut malam waktu Milan. Artinya di Jakarta saat ini menjelang subuh. Tentu dia harus bersabar menunggu pagi agar bisa menghubungi mamanya.Keresahan Amanda tentu bisa dirasakan Wisnu karena beberapa kali harus mengganti posisi tidurnya. “Kau tidak bisa tidur?” tanyanya.“Oh, Maaf! Aku pasti mengganggu tidur, Mas Wisnu” ucap Amanda sedih.“Mana yang tidak nyaman, biar aku usap.” Wisnu memeriksa Amanda. Lalu dengan lembut dia mengusap punggung Amanda agar membuatnya lebih nyaman. “Katanya besok mau belanja di Galerria, tapi selarut ini kau belum tidur juga?”“Aku terus kepikiran papa, Mas!”“Kenapa?”Amanda tidak menyahut, Wisnu pasti juga tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian Wisnu mendekatkan tubuhnya dan memeluk Amanda. “Ya sudah jangan dipikirkan dulu, nanti malah bikin kamu stress. Gak bagus kan buat perkembangan baby kita!”“Papa itu s
Annisa banyak salah dan dosa pada Amanda. Anak itu sejak pertama sudah dibuat tidak menyukainya. Sekarang apa dia bisa begitu saja memaafkannya dan membiarkan papanya menyetujui hubungan mereka? Pundaknya mulai turun dan dia merasa tidak mungkin Amanda rela membiarkan Dirja menikah dengannya. Dia kembali melihat sosok Dirja yang masih dengan sabar mendengarkan kata-kata putrinya. Jikapun pria itu diminta memilih dia atau putrinya, sudah bisa dipastikan Dirja akan memilih putrinya daripada Annisa. Karma itu memang ada. Dulu dia sangat membenci Amanda dan selalu berusaha membuatnya terluka. Sekarang, di saat dirinya sudah sangat yakin bahwa hanya pria yang baik dan penuh perhatian itulah yang bisa menerima semua kekurangannya dan sanggup menjadi imamnya dalam mengarungi kehidupan barunya, dia harus juga dibenci oleh Amanda. “Ya sudahlah, mungkin ini hukmuna dari tuhan untukmu, Annisa!” gumam Annisa pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata di sudut matanya. “Kalau Papa memang men
“Ada apa, Amanda?” Teriakan dari dalam kamar membuat temannya yang sedang sikat gigi panik. Terlebih, Amanda sekarang sudah tertunduk lemas di lantai dan menangis seperti anak kecil."Liontin mamaku hilang," ucap Amanda sambil menatap laci mejanya nanar. Tadi, laci itu terbuka begitu saja--bersamaan dengan kotak perhiasaan yang lenyap."Diingat-ingat lagi, barangkali saja kamu lupa naruh,” ujar Lesti belepotan. “Mana ada? Aku selalu simpan di laci. Kuncinya pun masih…” Amanda bahkan tidak melihat kunci lacinya di meja. “Ceroboh sih kamu!” gerutu Lesti meninggalkan teman kontrakannya itu kembali ke kamar mandi. Amanda mencoba membongkar-bongkar benda yang ada di mejanya. Menggeledah tas kuliahnya sampai kolong meja. Benda itu benar-benar tidak terlihat. Dia lemas dan meruntuki kecerobohannya karena sudah menghilangkan kalung liontin milik mamanya. Itu bukan kalung sembarangan. Itu kalung warisan keluarganya dulu. Mamanya pasti akan marah besar karena Amanda menghilangkannya. “Tad
"Aku bercanda. Sebenarnya, aku memberimu waktu sampai besok untuk revisi. Jika kau belum merampungkannya, mohon maaf nona Amanda yang cantik, Anda harus di-diskualifikasi.""Ck!" decak Amanda malas terbayang kata-kata dosennya yang sempat melontarkan lelucon tidak lucu tadi siang.Karena ancaman dosen itu juga, semalaman Amanda mengutak-atik laptop untuk merevisi proposal penelitiannya. Besok dosen killer itu pasti akan marah marah lagi kalau sampai proposal Amanda belum selesai juga. Menyesal dia memilih jurusan gizi.Belum lagi, masalah liontin ibunya ...."Sudah istirahat sana, nanti malah kesiangan lho bangunnya," nasehat Lesty karena sudah hampir jam 12 malam Amanda belum selesai juga sibuk di depan laptopnya."Iya, dikiiit lagi," ujar Amanda tersenyum lega karena tinggal daftar pustaka yang harus diketik.Drrstt!Tiba-tiba Listrik rumah padam.Amanda belum menyimpan dokumennya. Buru-buru, dia ingin menyimpannya. Sayang, kakinya tak sengaja tersandung kabel charge hingga laptop
Amanda melihat dirinya yang menyedihkan karena tumpahan minuman itu. Kemudian berpikir setidaknya seragam ini bisa menggantikan bajunya yang basah.Ahirnya dia membuatkan juga dua cangkir kopi, lalu mengantarkan kopi itu ke ruang meeting. Dengan sedikit bertanya, ketemu juga ruang yang dimaksud. "Permisi?" Amanda masuk setelah mengetuk pintu.Ada dua pria disana. Amanda bingung harus bagaimana? Diletakan di mana kopinya? Tentu dia juga tidak berani bertanya mengusik keseriusan kedua pria itu. Melihat tampang dingin mereka saja Amanda sudah takut."Maaf Pak, kopinya."Amanda memberanikan diri menyuguhkan kopi itu di depan mereka.Saat tangan lentik dan berkutek indah itu terulur menyuguhkan kopi, kedua pria itu tampak teralihkan dan spontan menatap secara bersamaan pada pemilik tangan itu. Amanda tegang tak bergerak mendapat tatapan kedua pria yang tampan itu.Oh! bukankah salah satu dari pria itu pernah berpapasan dengannya di rumah sakit Dinata waktu itu?!“Permisi Pak," cepat-cepa
Amanda menatap Lesti seolah memikirkan sesuatu. Setelah menimbang-nimbang, ia pun memutuskan untuk ikut bekerja saja bersama Lesti."Tolong bantu aku biar jadi OG beneran di sini. Aku lagi miskin karena tabuganku kupakai DP dan sekarang sedang tidak punya kerjaan, kuliahku di skorsing dan--papa sepertinya berhenti kerja."Amanda menjabarkan semua penderitaannya yang bertubi-tubi itu agar Lesti tak menolak permintaannya.Lesti jadi terperangah dengan masalah masalah Amanda dan tak bisa berkomentar apapun."Baiklah, aku coba minta tolong Dion. Tapi kamu yakin mau kerja begini? Berat lho, kamu kan gak pernah kerja berat. Belum lagi kalau Tante Moana atau Om Dirja tahu, mereka pasti marah!""Jangan sembarangan kamu Les. Kamu pikir aku ini putri raja yang gak pernah kerjain hal begini doang? Masalah mama dan papa yang penting kamu gak laporan mereka gak bakal tahu kok!""Jadi model saja lah kamu, enak kan sekali potret bisa puluhan juta," saran Lesti karena tidak yakin temannya itu bisa ke
Amanda bernapas lega sambil meregangkan jemarinya setelah menyelesaikan pekerjaan. Dia buru- buru mengambil sweternya dan bersiap hendak pulang. Lesti ada tugas antar barang tadi dan dipastikan tidak balik karena sudah jam pulang. Jadinya Amanda pulang sendirian."Amanda, kau bisa bantu ambil alih kerjaan Pak Mail?" Adoria kepala OB itu menghampiri Amanda."Aduh Bu, ini sudah mau pulang. Memangnya Pak Mail kenapa?""Dia dibawa ke UGD tadi karena tiba-tiba pingsan. Pekerjaannya belum selesai, kamu tolong selesaikan sebentar ya?""Oh, baik Bu!" tukas Amanda meletakkan kembali tas dan sweternya lalu bergegas menyelesaikan pekerjaan Pak Mail, OB senior yang masih gigih bekerja karena memang masih banyak yang harus ditanggungnya.Amanda mengambil alat vacuum cleaner yang masih tergeletak di lantai itu. Pegawai kantor sudah mulai satu persatu pulang. Dan Amanda bingung dengan alat sedot debu yang jelas berbeda dengan yang biasa dia pakai. Bilang saja tidak pernah. Karena memang Amanda jaran
Adoria memanggil Amanda karena Purwa ingin mengobrol dengannya. Sebagai Kepala OB tentu saja Adoria melaksanakan perintah bosnya, membebaskan sementara Amanda tidak melakukan pekerjaan.“Lihat tuh, si OG baru. Wajahnya saja terlihat polos, tapi ganjen juga sama pria tua!” terdengar bisik-bisik rekannya saat Amanda berjalan keluar hendak menemui Purwa.“Gak penting tua atau muda, yang penting kan cuan,” sahut yang lainnya.Miris Amanda mendengarnya. Tapi dia berusaha tidak memperdulikannya. Yang paling penting adalah, dia bukan seperti itu.Amanda tahu dari Lesti bahwa pria yang ditolognya beberapa hari yang lalu itu adalah Apurwa Dinata, pemilik perusahaan Dinata Group yang sudah diambil alih jabatannya oleh Wisnu semenjak dia sakit. Purwa sangat suka mengobrol dengan Amanda karena gadis itu selalu apa adanya tidak seperti yang lain terkesan berhati-hati dan takut salah. "Ini sudah masuk jam istirahat, apa kau sudah makan?" tanya Purwa pada Amanda disela ngobrol mereka.Purwa kemudia