Dara menjawab pertanyaan sang majikan yang sekaligus sahabat baiknya itu dengan sebuah anggukan lemah.
“Aku akan balik ke Jakarta juga untuk bisa mendapatkan banyak informasi, bukan hanya sekedar jadi ART biasa, aku akan tetap membantu kamu agar kehidupan kamu bisa balik kayak dulu.”
Dara mengutarakan tujuannya untuk kembali ke kota.
“Kamu tetap di sini saja, karena di Jakarta kamu hanya akan terus dihina sama orang-orang yang dulu ngaku sebagai teman kamu.”
Raya malah menatap sedih pada sosok wanita berpenampilan tomboy yang telah banyak menolongnya ini.
“Terus sampai kapan aku berada di desa ini, Dar?”
“Bersabarlah saja dulu Ray,” ucap Dara sembari menyentuh lembut pundak Raya yang terlihat rapuh.
Kedua wanita berbeda gaya berpakaian itu masih saja berbincang dengan berbisik agar pria yang baru saja menikahi Raya tadi tak terlalu mendengar pembicaraan mereka. Apalagi Raya dan Dara menjaga jarak dengan Raihan yang telah berjalan di depan mereka.
Detik berikutnya Raihan kemudian menghentikan langkahnya sembari menoleh ke belakang, pada Raya dan Dara yang ikut segera berhenti berjalan.
“Kita sudah sampai di rumahku.”
Lelaki itu kemudian menatap lurus pada wanita muda yang baru saja dinikahinya yang tampak tertegun memandangi rumah semi permanen di depan mereka.
“Kalian tunggu dulu di sini, karena aku akan coba berbicara dulu dengan ibuku.”
“Kamu tinggal sama ibu kamu?” tanya Raya setengah kaget.
Raya benar-benar tak mengerti dengan latar belakang dari pria yang baru saja menikahinya itu. Saat lelaki yang telah memperistrinya mengungkapkan tentang sang ibu yang turut tinggal di rumah itu, membuat Raya dihampiri resah.
Wanita muda itu sudah membayangkan jika dia akan memiliki seorang ibu mertua yang sama menjengkelkan seperti kakak iparnya Dara. Anggapan tentang ibu mertua yang pengatur dan sok kuasa kini mulai membayangi Raya.
Tapi Raya yang gelisah memilih diam tak mengatakan keresahannya pada Dara yang terlihat sangat penasaran dengan ibu kandung dari sang ustadz di kampung asalnya ini.
Karena terlalu lama tinggal di kota membuat Dara sedikit lupa dengan seluk beluk kehidupan para tetangganya terlebih kediaman Raihan, ustadz muda di kampungnya ini lumayan jauh dari rumah orang tuanya.
Sampai beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya dengan penampilannya yang serba tertutup mulai muncul dari ambang pintu. Tanpa diduga wanita berwajah teduh itu malah menyunggingkan segaris senyuman yang justru membuat Raya dan Dara tertegun.
“Kamu beruntung Ray, kamu punya ibu mertua yang keliatan baik dan sabar,” bisik Dara di dekat telinga Raya.
Raya hanya menoleh sejenak ke arah sahabatnya sebelum kemudian berusaha membalas keramahan dari wanita yang merupakan ibu mertuanya itu. Senyuman Raya ikut terkembang sempurna sembari dia segera mendekat untuk menyalami wanita yang telah melahirkan Ustadz Raihan itu.
“Jadi kamu adalah istri anakku, Raihan?”
Wanita itu terdengar mengunggah kepasrahannya disertai sikap penerimaan yang apa adanya terhadap Raya yang sebenarnya masih bingung dengan apa yang terjadi pada hidupnya sekarang.
Bagaimanapun pernikahan itu bagi Raya masih terlalu cepat dan sama sekali tak pernah dia impikan.
Raya hanya menjawab dengan sebuah anggukan.
Sampai kemudian dia menyadari tatapan Raihan yang dalam padanya.
Padahal di dalam hati lelaki itu menyimpan kekaguman akan sikap Raya yang penuh kesantunan pada sosok orang tua, dengan latar belakangnya yang tergolong modern dan sangat kota, nyatanya wanita yang telah diperistrinya dengan cara tak terduga itu terlihat sangat menghormati ibunya.
“Ternyata kamu memang sangat cantik.”
Wanita paruh baya itu malah mengunggah pujiannya untuk Raya.
Raya hanya bisa termangu ketika wanita yang sudah menjadi mertuanya itu mulai memuji dirinya.
“Maaf jika pernikahan kalian harus terjadi seperti ini, barangkali semua ini memang sudah takdir yang disiapkan oleh Allah untuk kalian berdua, meski sebelumnya kalian belum saling mengenal.”
Wanita yang biasa dipanggil dengan sebutan ‘Ibu Siti’ terlihat sangat bijak menyikapi pernikahan putra tunggalnya yang sangat di luar dugaan, semuanya serba mendadak dan penuh tekanan. Walau begitu tak pernah sedikitpun Siti meragukan putranya, bahwa sang putra tak akan pernah melakukan apa yang telah dituduhkan oleh semua orang.
Kalaupun akhirnya pernikahan itu sampai terjadi Siti menganggapnya sebagai garis nasib putranya mendapatkan jodoh dengan cara yang terkesan tak wajar, dan istri dari anak tunggalnya sendiri jauh dari yang diharapkan, bukan sosok yang terkesan menjaga marwah diri, dan sangat berbeda dengan gadis kebanyakan di desa mereka yang penampilannya serba sederhana dan tertutup.
Siti selalu bisa menerima takdir dirinya termasuk juga menyajikan prasangka baik pada Tuhannya.
“Siapa nama kamu Cah Ayu?” tanya wanita berpenampilan bersahaja itu.
“Raya, Bu,” jawab Raya singkat.
Sampai kemudian tatapan Siti beralih pada Dara yang sejak tadi mendampingi Raya.
Raya segera bisa mengartikan tatapan Siti, yang membuatnya segera memperkenalkan sang sahabat.
“Dia Dara, teman baikku, Bu.”
“Dara?”
“Iya, saya Dara Bu,” sahut Dara sembari menyalami tangan Siti yang sekarang tampak tertegun menelisik dirinya.
“Saya Dara anaknya Mbok Lasmi.”
Dara menjelaskan tentang dirinya yang sontak membuat Siti terperangah.
“Kamu berbeda sekali, aku pikir kamu malah teman prianya menantuku?”
Dara langsung menggaruk rambut pendeknya yang sebenarnya tidak gatal. Penampilannya yang cenderung tomboy membuatnya dianggap sebagai seorang pria.
“Saya ini asistennya Raya, Bu.”
“Asisten?”
Lagi-lagi Dara terlihat resah menggaruk tengkuknya. Dia malah keceplosan bicara. Selama tinggal di desa baik Dara maupun Raya sama sekali tak mengungkapkan tentang diri Raya yang seorang selebgram terkenal sebelumnya. Nyatanya sangat mudah melakukan hal itu di desa terpencil ini karena memang kebanyakan penduduknya kurang melek internet ditambah jaringan internet di desa ini lebih sering tidak stabil bahkan sampai kehilangan sinyal sama sekali.
“Maksudnya saya ini temannya Raya, Bu,” jawab Dara meralat.
“Oh teman kamu yang dari kota?”
“Iya Bu,” jawab Dara cepat.
Siti kemudian kembali mengulas senyumnya.
“Ya sudah ayo masuk ke dalam sebentar lagi maghrib, kalian bersihkan diri kalian di dalam setelah itu kita sholat maghrib bersama.”
Siti mulai mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam rumah sederhananya.
Sementara Raihan sendiri mulai bersiap ke mushola setelah dia membersihkan dirinya.
Raya dan Dara bergantian ikut mengambil wudlu di kamar mandi.
Setelah itu barulah Raya melangkah menuju ruang tengah mengikuti langkah ibu mertuanya yang akan mengantarnya menuju kamar yang akan dia tempati.
Tapi saat berada di kamar itu mendadak Raya melihat pemandangan yang membuatnya segera terpana dan berdecak kagum.
“Luar biasa ....!”
***
Raya tak bisa menahan kekagumannya saat melihat penampilan Raihan yang dianggapnya sangat luar biasa.Raihan yang kini telah membersihkan diri dan mengganti pakaian kotornya dengan baju koko putih bersih yang dipadu dengan sarung kotak-kotak hitam, terlihat mulai bersiap untuk melangkah menuju mushola.Aura wajah Raihan menjadi sangat cemerlang dengan penampilannya yang seperti itu hingga Raya tertegun penuh kekaguman.Bahkan sekarang Raya hanya bisa berdiri termangu di ambang pintu kamar, menjadi sangat segan untuk masuk dan mengambil mukena yang ternyata sudah disiapkan oleh ibu mertuanya di atas ranjang.Raihan yang malah berjalan menuju ambang pintu karena dia memang harus segera melangkah menuju ke mushola untuk menunaikan sholat maghrib berjamaah.“Aku akan tinggal ke mushola sebentar,” ucap Raihan dengan rikuh karena bagaimanapun dia tak pernah mendapati ada wanita lain berada di dalam kamarnya, karena saat ini Raya tengah berjalan masuk ke dalam biliknya yang sederhana.“Hmm,”
“Bisa kita bicara sebentar?” Ajakan Raya sedikit meresahkan seorang Raihan.Walau mereka telah menikah tapi tetap saja mereka adalah dua orang asing yang bahkan sebelumnya tak saling mengenal. Raihan mengetahui nama Raya saja, saat dia akan mengucapkan ijab kabul yang dia ikrarkan dengan hati yang dihinggapi kebingungan.Tapi Raihan yang tipikal pria polos dengan hatinya yang penuh kebaikan itu, menjadi tak bisa menampik ajakan perempuan muda yang sudah berstatus sebagai istrinya itu. Terlebih saat ini Raihan bisa melihat dengan lugas keresahan seorang Raya yang sekarang sedang duduk di sisi ranjang.Raihan menjadi tak bisa menampik yang membuatnya tetap bertahan di dalam kamar meski dia memilih berdiri di ambang pintu, tetap menjaga jarak di antara mereka.“Aku mau bicara tentang kita, tentang pernikahan kita.”Raya sedikit mendesah panjang sembari memandang lugas ke arah pria yang baru saja menikahinya itu.Gadis itu terlihat menampakkan dominasinya karena memang seorang Raya sejak
“Kamu yakin ingin ikut ke sawah?”Raihan merasa perlu untuk bertanya kembali pada istrinya menanggapi permintaan Raya yang di luar dugaan.“Iya, aku ingin tahu tempat sawah yang kamu garap. Lagian aku bakal kebosanan kalau terus tinggal di rumah.”Raya mengutarakan alasannya dengan terang.“Tapi di sana sangat panas, apa kamu nggak takut gosong kulit kamu?”Raihan bertanya dengan sedikit gelisah.“Nggak apa-apa, lagian aku udah pakai suncreen.”Raihan mengernyit ketika Raya menunjukkan sebuah kemasan sunblok yang sudah dioleskan pada kulit mulusnya yang kini bahkan sudah membuat darah kelelakian Raihan berdesir gelisah.Detik berikutnya sebelah mata Raya kemudian malah mengerling sembari mengulas segaris senyum yang membuat dada seorang Raihan bertalu ramai.Lelaki itu tak pernah mendapati pesona seorang wanita sesempurna Raya yang semakin dilihatnya semakin menyeret dirinya dalam pusaran kekaguman.Raihan kian gelisah saat Raya kemudian mulai mendekat.“Kurasa kamu juga harus mengole
“Memangnya kamu mau aku melakukan apa sih?”Raya menjadi kian penasaran.Tapi Raihan tetap diam malah memberikan senyuman yang membuat hati seorang Raya gelisah tak menentu. Senyuman itu terlalu manis semanis gula yang dijadikan sirup.“Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Raihan yang kemudian malah keluar dari dalam kamar yang membuat Raya menjadi kian bertanya-tanya.Tak lama berselang lelaki bertubuh tegap itu kembali masuk dengan membawa sebuah gamis lengkap dengan jilbab lebar yang berwarna senada.Raya sontak mengernyitkan keningnya sembari memandang gelisah pada pria yang baru kemarin menikahinya itu.“Sebelum pergi kamu ganti dulu baju kamu dengan ini.”Raya menguarkan keraguannya sembari memandangi gamis berpotongan sederhana yang sama sekali tak sesuai dengan selera fashionnya.“Aku pakai ini?”“Iya karena aku pikir kamu akan jadi cantik kalau pakai baju itu, biar kamu pantas untuk disebut sebagai istri ustaz?” Raihan kemudian tersenyum penuh arti.Tapi Raya menanggapi dengan eks
“Pria itu!” sergah Raya sebal saat melihat seorang pria berkumis tebal yang kemarin paling getol menuduhnya bersama Raihan melakukan perbuatan mesum memalukan yang nyatanya tak pernah mereka lakukan.Raihan terlihat agak enggan untuk mendekat. Sejak awal hubungannya dengan pria paruh baya bertubuh dempal itu yang merupakan adik dari ayahnya sendiri itu memang kurang harmonis. Bahkan dirinya terlampau sering menjadi sasaran kemarahan pria itu, yang tampak selalu membencinya, semua karena dia terlahir dari rahim seorang wanita sederhana yang dulu memang tak pernah direstui untuk menjadi menantu di dalam keluarga mereka.Bahkan ibunya sampai sekarang masih disalahkan atas kematian sang ayah yang sebenarnya terjadi atas kehendak takdir, sama sekali bukan salah dari sosok yang sudah menghadirkannya ke dunia.“Kalian pasangan mesum, mau ke mana?” sindir lelaki bernama Parman itu sangat sinis.&nb
“Kamu mau minta apalagi?” sergah Raya sedikit kesal.Raihan malah menggaruk tengkuknya dengan rikuh.Raya menjadi berkernyit heran.“Aku pengen dengar kamu manggil aku mas, buat memastikan kalau kamu bisa mengucapkannya dengan luwes.”Saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan sangat polos itu Raya malah tak bisa menahan kekehannya. Gadis itu menjadi tergelak panjang sampai memegangi perutnya yang sekarang menjadi terasa kaku.“Kamu itu lucu juga ya, apa kamu pikir aku nggak bisa manggil kamu Mas, sampai perlu praktek segala?”“Coba ..., kamu coba dulu manggil aku ... mas.”Kali ini Raya langsung menghentikan tawanya saat mendengar Raihan malah tetap mendesaknya.Gadis itu kemudian mengedikkan bahu sesaat, meski kemudian mulai melakukan apa yang diminta oleh suamin
Raya langsung menyergap ekspresi suaminya dengan tatapan heran, karena Raihan tampak terlalu kaget saat ia meminta lelaki itu untuk ikut membeli pakaian.“Iya Mas, kamu harus ikut beli baju juga,” tegas Raya kemudian.Raihan segera menggeleng lugas.“Nggak usah, sayang uangnya, lebih baik uangnya buat keperluan kamu saja.”Raihan kemudian menatap Raya lebih lekat.“Sekarang kamu butuh apalagi?” Raihan malah menawari Raya lagi.Raya tak langsung menjawab. Gadis itu segera menjadi termangu saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan begitu perhatian padanya hingga pria sederhana itu mengabaikan kepentingannya sendiri tapi begitu peduli dengan kebutuhannya.“Aku butuh suamiku bisa tampil lebih fashionable,” sambung Raya kemudian yang langsung membuat Raihan terperangah karena gadis yang tadi bah
“Terus gimana caranya?”Raya mulai mencecar dengan sengit.Raihan malah menanggapi dengan tatapannya yang semakin lekat, yang membuat Raya langsung membuang mukanya karena tak mau menentang tatapan sang suami yang entah mengapa selalu membuat perasaannya menjadi tak menentu.“Kita berdoa saja agar fitnahan yang menimpa kita dapat terlerai dengan sendiri karena Allah selalu memiliki rencana terbaik untuk setiap hambaNya.”Jelas saja ucapan Raihan tak bisa diterima oleh nalar Raya yang selama ini selalu berpikir realistis.“Apa kamu bilang, doa?”Raihan malah menjawabnya dengan sebuah anggukan pasti.Raya menanggapi dengan helaan nafas jengah.“Apa nggak pernah mencobanya? Percayalah itu sangat manjur jika kamu benar-benar percaya.”&ldqu