“Memangnya kamu mau aku melakukan apa sih?”
Raya menjadi kian penasaran.
Tapi Raihan tetap diam malah memberikan senyuman yang membuat hati seorang Raya gelisah tak menentu. Senyuman itu terlalu manis semanis gula yang dijadikan sirup.
“Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Raihan yang kemudian malah keluar dari dalam kamar yang membuat Raya menjadi kian bertanya-tanya.
Tak lama berselang lelaki bertubuh tegap itu kembali masuk dengan membawa sebuah gamis lengkap dengan jilbab lebar yang berwarna senada.
Raya sontak mengernyitkan keningnya sembari memandang gelisah pada pria yang baru kemarin menikahinya itu.
“Sebelum pergi kamu ganti dulu baju kamu dengan ini.”
Raya menguarkan keraguannya sembari memandangi gamis berpotongan sederhana yang sama sekali tak sesuai dengan selera fashionnya.
“Aku pakai ini?”
“Iya karena aku pikir kamu akan jadi cantik kalau pakai baju itu, biar kamu pantas untuk disebut sebagai istri ustaz?” Raihan kemudian tersenyum penuh arti.
Tapi Raya menanggapi dengan ekspresi kekesalan di wajahnya.
“Tapi kita kan nikahnya pura-pura,” gerutunya kesal. Nyatanya Raya tak menganggap pernikahan mereka sebagai pernikahan yang sebenarnya. Bahkan semalam saja gadis itu telah mencoba mengajak Raihan berbicara agar ikut menganggap pernikahan mereka ini sebagai sebuah kepura-puraan semata.
“Tapi semua orang di desa ini menganggap kamu adalah benar-benar istriku. Lagipula kita telah menikah sungguh-sungguh dan disaksikan oleh banyak orang.”
Raya sontak membeliakkan matanya ketika mendengar ucapan Raihan yang terdengar sangat enteng menerima fakta pernikahan mereka, yang sebenarnya terlalu memalukan ini.
“Bukankah kita menikah karena terpaksa, kenapa sih malah nganggap semua ini beneran? Apa kamu nggak dengar omonganku semalam kalau aku tak ingin tinggal selamanya di desa ini. Aku pengen balik ke kota dan menjalani kehidupanku yang nyaman di sana seperti dulu.”
Gadis itu kembali mencecarkan keinginannya di hadapan pria sederhana yang sudah menikahinya yang ternyata tak sepemikiran dengannya. Raya merasa harus berusaha lebih keras agar pria yang sudah menikahinya itu bisa mengerti jika tak seharusnya pernikahan mereka ini dianggap serius.
“Kita bahas itu nanti saja, sekarang aku harus ke sawah, kalau kamu mau ikut, tolong pakai dulu baju yang sudah aku kasih ke kamu. Kalau kamu tidak mau, sebaiknya kamu tinggal di rumah saja bersama ibu.”
Raihan membalas dengan sangat tenang semua cecaran Raya yang cenderung emosional.
Mendengar semua itu Raya tanpa sadar langsung menghentakkan kedua kakinya di atas lantai semen, untuk meluapkan kekesalan hatinya.
Pada akhirnya gadis yang sebenarnya berpembawaan ceria itu mulai menuruti permintaan Raihan karena Raya merasa tak memiliki pilihan lain.
Setelah berganti pakaian Raya langsung keluar dari kamar dan menghampiri Raihan yang memang sudah menunggunya di ruang depan.
Saat melihat penampilan Raya yang tampak sangat berbeda ketika mengenakan gamis dan hijab, Raihan yang semula sedang berbincang dengan ibunya menjadi terpana bahkan mulutnya sedikit terbuka.
Raya tampak sangat cantik di matanya begitu anggun dengan wajah yang bahkan tampak bersinar. Raihan terlalu terpukau, bahkan masih saja bergeming saat Raya semakin mendekat.
“Aku sudah siap, ayo kita pergi sekarang,” ajak Raya yang kini harus menyembunyikan kekesalannya karena ibu mertuanya sedang berada di antara mereka berdua.
Raya bahkan turut menyajikan senyumnya yang seketika membuat hati seorang Raihan bergetar.
Berbeda dengan Raya yang masih ragu untuk menjalani pernikahan ini dengan sepenuh hati tapi Raihan telah menerima pernikahan mereka meski dimulai dengan sebuah peristiwa yang seharusnya sangat memalukan, yang bahkan membuat nama baik dan reputasinya sebagai seorang ustadz yang harusnya menjaga marwah diri, dipertaruhkan.
“Terus setelah ke sawah, sebenarnya kamu mau mengajakku ke mana sih?”
Raya kemudian mulai bertanya dengan lebih santai.
“Kamu nanti akan tahu, ayo kita pergi sekarang,” ajak Raihan tenang yang segera ditanggapi Raya dengan antusias bahkan gadis itu secara spontan bergayut di lengan kokoh lelaki yang sudah berstatus sebagai suaminya.
Raihan tercekat gelisah karena sentuhan gadis cantik itu membuat tubuhnya meremang. Raihan merasakan kehangatan yang bahkan tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Setelah berpamitan pada Bu Siti, pasangan muda yang dipertemukan dengan sangat tak biasa oleh takdir itu mulai melangkah beriringan, meski saat ini Raya telah melepaskan tangannya dari lengan Raihan.
Mereka melewati jalanan desa di tengah deretan rumah penduduk yang kebanyakan sederhana dan berhalaman luas.
Raya yang ramah berusaha menyapa meski hatinya sempat merasa jika dirinya dan Raihan terlihat seperti menjadi pusat perhatian. Tatapan mata mereka terlalu lekat, dan menilai, tampak seperti sebuah penghakiman.
Raya segera paham apa yang membuat mereka bersikap seperti itu, semua karena sebab awal pernikahan mereka dimana mereka dipaksa menikah karena berbuat mesum.
Kini Raya malah memikirkan tentang nama baik Raihan yang pastinya sekarang menjadi ternoda karena peristiwa yang tak pernah mereka duga itu.
“Aku yakin mereka pasti sudah menganggap kamu sebagai ustadz yang nggak ada akhlak,” gumam Raya sembari tetap ikut melangkah di samping Raihan.
Lelaki bercambang dengan hidung mancungnya yang selalu mampu mendebarkan kaum hawa yang memandangnya itu hanya menanggapi dengan senyuman tipis seolah semua yang terjadi itu bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai masalah besar.
“Apa kamu nggak pengen membersihkan nama baik kamu? Soalnya kita kan emang nggak pernah berbuat seperti yang mereka tuduhkan, waktu itu kamu kan pengen nolong aku.”
“Biar saja mereka menganggap begitu, kalau mereka capek suatu saat nanti gunjingan mereka pada kita akan berhenti dengan sendirinya.” Raihan menanggapi dengan sangat enteng stigma buruk masyarakat yang kini ditujukan pada dirinya.
Raya menjadi kehilangan kesabaran, menghadapi sikap lelaki yang menjadi suaminya itu yang terkesan sangat pasrah ini.
Saking kesalnya Raya memilih diam tak lagi berbicara apapun. Sampai beberapa lama mereka berjalan beriringan dalam diam.
Namun ketika sampai di jembatan tempat di mana mereka dipertemukan pertama kalinya yang kemudian membuat insiden itu tercipta hingga mereka harus terpaksa menikah, mendadak di sana mereka bertemu dengan sosok yang segera membuat tekanan darah Raya seakan naik.
“Pria itu!”
***
“Pria itu!” sergah Raya sebal saat melihat seorang pria berkumis tebal yang kemarin paling getol menuduhnya bersama Raihan melakukan perbuatan mesum memalukan yang nyatanya tak pernah mereka lakukan.Raihan terlihat agak enggan untuk mendekat. Sejak awal hubungannya dengan pria paruh baya bertubuh dempal itu yang merupakan adik dari ayahnya sendiri itu memang kurang harmonis. Bahkan dirinya terlampau sering menjadi sasaran kemarahan pria itu, yang tampak selalu membencinya, semua karena dia terlahir dari rahim seorang wanita sederhana yang dulu memang tak pernah direstui untuk menjadi menantu di dalam keluarga mereka.Bahkan ibunya sampai sekarang masih disalahkan atas kematian sang ayah yang sebenarnya terjadi atas kehendak takdir, sama sekali bukan salah dari sosok yang sudah menghadirkannya ke dunia.“Kalian pasangan mesum, mau ke mana?” sindir lelaki bernama Parman itu sangat sinis.&nb
“Kamu mau minta apalagi?” sergah Raya sedikit kesal.Raihan malah menggaruk tengkuknya dengan rikuh.Raya menjadi berkernyit heran.“Aku pengen dengar kamu manggil aku mas, buat memastikan kalau kamu bisa mengucapkannya dengan luwes.”Saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan sangat polos itu Raya malah tak bisa menahan kekehannya. Gadis itu menjadi tergelak panjang sampai memegangi perutnya yang sekarang menjadi terasa kaku.“Kamu itu lucu juga ya, apa kamu pikir aku nggak bisa manggil kamu Mas, sampai perlu praktek segala?”“Coba ..., kamu coba dulu manggil aku ... mas.”Kali ini Raya langsung menghentikan tawanya saat mendengar Raihan malah tetap mendesaknya.Gadis itu kemudian mengedikkan bahu sesaat, meski kemudian mulai melakukan apa yang diminta oleh suamin
Raya langsung menyergap ekspresi suaminya dengan tatapan heran, karena Raihan tampak terlalu kaget saat ia meminta lelaki itu untuk ikut membeli pakaian.“Iya Mas, kamu harus ikut beli baju juga,” tegas Raya kemudian.Raihan segera menggeleng lugas.“Nggak usah, sayang uangnya, lebih baik uangnya buat keperluan kamu saja.”Raihan kemudian menatap Raya lebih lekat.“Sekarang kamu butuh apalagi?” Raihan malah menawari Raya lagi.Raya tak langsung menjawab. Gadis itu segera menjadi termangu saat mendengar ucapan Raihan yang terkesan begitu perhatian padanya hingga pria sederhana itu mengabaikan kepentingannya sendiri tapi begitu peduli dengan kebutuhannya.“Aku butuh suamiku bisa tampil lebih fashionable,” sambung Raya kemudian yang langsung membuat Raihan terperangah karena gadis yang tadi bah
“Terus gimana caranya?”Raya mulai mencecar dengan sengit.Raihan malah menanggapi dengan tatapannya yang semakin lekat, yang membuat Raya langsung membuang mukanya karena tak mau menentang tatapan sang suami yang entah mengapa selalu membuat perasaannya menjadi tak menentu.“Kita berdoa saja agar fitnahan yang menimpa kita dapat terlerai dengan sendiri karena Allah selalu memiliki rencana terbaik untuk setiap hambaNya.”Jelas saja ucapan Raihan tak bisa diterima oleh nalar Raya yang selama ini selalu berpikir realistis.“Apa kamu bilang, doa?”Raihan malah menjawabnya dengan sebuah anggukan pasti.Raya menanggapi dengan helaan nafas jengah.“Apa nggak pernah mencobanya? Percayalah itu sangat manjur jika kamu benar-benar percaya.”&ldqu
“Kamu itu emangnya ada masalah apa sama dia?” cecar Raya menjadi sangat ingin tahu saat mereka duduk berdua di teras depan selepas makan malam.Raihan seperti biasa selalu mengukir senyuman tipis saat menghadapi sikap Raya yang selalu seperti menggebu-gebu.“Nggak ada masalah apa-apa,” jawab Raihan santai yang tentu saja tak bisa diterima oleh Raya yang sudah sangat penasaran.“Kalau nggak ada masalah kenapa Si Kumis Kucing itu pengen ngganggu kamu terus?” tukas Raya semakin kesal.“Itu masalah lama, sangat lama sekali.”“Apa itu alasannya terus mengatai ibu sebagai wanita yang nggak benar? Terus kenapa dia mengatakan itu sama ibu?” Raya masih saja memperturutkan rasa ingin tahunya.Kali ini Raihan tak bisa setenang sebelumnya. Pria itu sedikit gelisah dan mulai mendesah panjang.
Listrik yang mendadak padam segera membuat Raya bangkit. Suasana yang gelap membangkitkan kepanikan di dalam dirinya. Raya memang sangat takut dengan gelap. Sialnya gawai miliknya saat ini bahkan sedang mati karena dia lupa mengisi daya.Sebagai seorang selebgram dulu Raya tak pernah lepas dari benda pipih itu. Tapi sekarang setelah dia tinggal di desa terpencil ini yang selalu saja susah sinyal membuat Raya memilih meletakkan gawai miliknya tak terlalu sering memegangnya.Gelap yang kian mencekam membuat Raya tanpa sadar langsung meraba-raba sembari memanggil nama sang suami.“Mas, kamu di mana?” tanya Raya gelisah sampai akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang kemudian malah membuat Raihan terpekik gusar.“Dik, lepaskan dulu tangan kamu,” gumam Raihan menahan desiran gelisah di dalam dirinya, karena memang Raya sedang menyentuh bagian sensitifnya.&nbs
“Kenapa sekarang kamu mendadak pengen tahu tentang kehidupanku di kota?” Pertanyaan Raya yang sedikit mendesak membuat Raihan sedikit ragu meski kemudian lelaki itu kembali dengan cepat mengembalikan keyakinannya. Sebagai seorang suami Raihan merasa berhak untuk mengetahui latar belakang dari wanita yang sudah dinikahinya. “Apa aku salah kalau aku ingin tahu latar belakang dari perempuan yang sudah aku nikahi?” Raihan melontarkan apa yang ada di dalam benaknya. Raya menjadi termangu memikirkan apa yang sudah dikatakan dari pria yang sudah menikahinya itu. Dimana sebenarnya dalam pernikahan yang normal rasa ingin tahu Raihan itu adalah sesuatu yang wajar, apalagi Raya telah cukup tahu tentang kehidupan keluarga dari sosok yang kini berstatus sebagai suaminya, dan memang sudah seharusnya Raya bisa menceritakan juga tentang dirinya pada Raihan. Raya kemudian
Raya langsung bergerak gelisah saat menyadari dirinya sedang memeluk sang suami. Bahkan batas yang sebelumnya sudah dia ciptakan telah bergeser, dan guling itu sendiri entah berada di mana sekarang.Saat menyadari adanya pergerakan, Raihan yang awalnya masih terlelap ikut membuka mata.Mereka berdua kemudian mulai saling menatap meski tanpa mengubah posisi. Sampai akhirnya Raya mulai melepaskan dekapannya, yang membuat Raihan berdehem gelisah. Sepanjang malam dia berusaha keras untuk menahan diri, dan pagi ini godaan itu terasa sangat menyiksa untuk pria normal seperti dirinya.“Ini sudah subuh, apa kamu tidak ke mushola,” ucap Raya dengan suaranya yang serak mengiringi sikapnya yang menjadi serba canggung.Raihan segera bangkit dan menjadi sangat rikuh.“Iya, aku agak terlambat bangun ini.”Setelahnya pria itu langsung keluar dari kam