"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy."
"Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu." "Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit." "Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan." "Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka." MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas. Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati. Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu. Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk tahu apa yang terjadi di salah satu desa kecil yang dikelilingi hutan. Tempat yang seharunya damai jadi riuh bahkan mengganggu penduduk setempat yang selalu menatap sinis rumah yang tak lagi berpenghuni. Sampai bocah perempuan yang keberadaanya dicari, diam tertegun di depan layar televisi. Menatapi layar dengan potret yang tidak mungkin tidak ia kenali. "AKH....!" Teriakan menggema. Mengejutkan petugas panti yang sampai detik ini tidak tahu, siapa nama bocah perempuan yang datang dengan jahitan di dada dan adiknya yang tak pernah jauh dari pandangan sang kakak. "Akh....!" Bahkan, bocah perempuan yang biasanya tenang, rapat menutup mulut, jadi histeris. Mendorong tangan siapa saja yang ingin bertanya pun menenangkannya! Sementara berpasang-pasang mata bocah panti yang mengenalnya sebagai anak pendiam, jadi penasaran juga takut. Bahkan, ada yang menangis melihat orang-orang yang merawat mereka di dorong sampai jatuh oleh tangan bocah perempuan itu. "Nak, kamu kenapa?" "Anak ini kenapa?" "Entahlah, Bu. Tiba-tiba ia menjerit-jerit seperti orang kesurupan." Begitu kepayahan wanita yang bangkit setelah jatuh didorong, lalu memegang makin erat tangan kecil bocah perempuan yang terus berteriak. Suasana panti begitu kacau, sampai sebuah panggilan membuat bocah perempuan yang menolak disentuh berhenti meronta. "UI!" Apalagi saat bocah lelaki yang berlari, memeluk lututnya. Bocah perempuan itu langsung terdiam, menatap wajah polos yang menunjukkan senyum. "Jangan, Nak, kemari-" Namun, kalimat petugas panti dihentikan sang pemilik yang melihat perubahan pada wajah sang bocah perempuan. Bocah yang tak lagi berteriak itu bahkan menunduk lalu memeluk tubuh sang adik yang membalas pelukan. Mata bocah perempuan yang begitu iritnya dalam ucapan bahkan tergenang. Namun, tidak ada airmata yang mampu luruh. Seolah sesuatu memaksa bocah perempuan itu untuk tidak menunjukkan rasa. Dan saat tayangan iklan berhenti, lalu kembali menunjukkan potret keluarga yang jadi buah bibir, mata pemilik panti membesar, "tidak ... mungkin." Kalimat itu terucap bersama ekor matanya yang berpindah dari layar televisi yang menunjukkan potret buram lelaki yang dirutuki keberadaanya untuk hal yang sudah ia lakukan dan sang bocah perempuan yang langsung menggendong adiknya. "Bu, bocah-bocah ini-- Kalimat itu tak mampu selesai karena bocah perempuan yang sudah menggendong adiknya, berlari. Masuk ke dalam kamar. Meninggalkan ruang beku bagi orang-orang dewasa yang tak bisa mengatakan apapun lagi untuk hal yang kini mereka sadari, 'tentang siapa anak-anak yang seminggu lalu dibawa ke panti mereka.' Sementara sesenggukan dari dua anak yang mereka rawat, masih terdengar. Memenuhi ruang yang layar televisinya menunjukkan potret bahagia sebuah keluarga yang namanya begitu terkenal karena sebuah tragedi. Dan kini, polisi tak perlu lagi mencari keberadaan dua anak yang keselamatannya bahkan diragukan. Karena apa yang berkembang di masyarakat sudah diamini. Ayah mereka sudah lebih dulu menghabisi keduanya. Menyembunyikan jasad mereka di suatu tempat dan hanya meninggalkan dirinya dan sang istri yang juga Efendy bunuh. "Pang- panggil polisi." Tanpa mempertimbangkan kehebohan macam apa yang akan mengikuti hidup dua anak yang namanya kini ia tahu, pemilik panti memerintah. Dan, petugas panti yang tak perduli pada tangis anak-anak yang ia rawat langsung berlari. Memanggil ojek. "Kemana, Bu?" "Wartel. Cepet, Pak." "Siap, Bu." Hanya itu jawaban yang diberikan si tukang ojek, sampai ia yang akhirnya mengantar pulang, menarik tuas rem mendadak. "Aduh! Kenapa tiba-tiba berhenti, Pak? Hidungku merah ini." Potres petugas panti yang hidungnya makin mencium bau keringat sang tukang ojek. "Beneran, Bu?" "Tentu saja bener, tuh, lihat di spion saja hidungku merah." "Bukan hidungmu, Bu. Tapi, apa benar anak-anak Efendy ada di panti?" Merasa kecolongan, wanita berbadan gemuk itu menggeleng. Tapi telat, ucapannya sudah terlanjur di dengar telinga sang tukang ojek yang mulutnya tidak mungkin diam saja. "Anaknya yang mana, Bu?" "Dasar, sudah tak bilangin bukan, ya, bukan!" Dengan kesal petugas panti turun dari boncengan motor. Lalu masuk ke dalam panti yang tak lagi kacau. Dua anak cengeng yang matanya sembab bahkan sudah bermain dengan boneka mereka. Sementara suara-suara tawa menghapuskan jejak teriakan bocah perempuan yang nampaknya masih mengurung diri di kamar yang ditempati beramai-ramai. Karena di dalam panti semua milik bersama. Pakaian, mainan, makanan, bahkan kasih. "Sudah, Mi?" "Sudah, Bu, mereka akan segera datang." Pemilik panti hanya mengangguk. pada jawaban salah satu pengurus, meski matanya melirik pintu kamar tertutup. Luput menyadari pandangan sang pengurus panti yang seolah memastikan, 'apa yang sedang ojek langgannya bicarakan dengan tukang becak di sudut jalan?' "Awas saja kalau dia sampai ngomong yang tidak-tidak." "Ngomong apa, Mi?" "Ah- itu- anu, sayur kangkung naik, Bu." Elakkan dengan nada gugup membuat sang pemilik panti tak langsung percaya. Meski kepalanya mengangguk lalu duduk. Membiarkan celoteh riang anak-anak memenuhi kepalanya yang dipenuhi kalimat. Sampai deru kendaraan membuat pengurus panti berdiri. "Mereka sudah datang, Bu." Adunya pada sang pemilik yang juga bangkit lalu berjalan keluar. Namun, bukan petugas berseragam yang turun dari sedan putih. Melainkan orang-orang dengan kamera juga mikrofon. "Kamu telpon wartawan, Mi!?" "Ti-tidak, Bu, saya telpon polisi. Tapi ...." "Tapi apa?" "Tadi saya keceplosan ngomong sama tukang ojek, Bu." Wajah menyesal sang pengurus panti membuat sang pemilik menarik nafas dalam. Logikanya berkerja, tidak mungkin tukang ojek ataupun becak yang mangkal di ujung jalan punya kenalan pencari warta yang begitu senang menciptakan kehebohan demi rating. "Bagaimana ini, Bu?" "Kau masuklah dan kunci semua pintu dan jendela. Jangan lupa tutup gordennya sekalian." "Baik, Bu." Namun, belum sempat ia melangkah, derap ramai para pencari warta yang peralatannya sudah terpasang, merangsek maju. Membuat pemilik panti membanting pintu. Menghindarkan diri dari jepretan kamera ataupun tanya bertubi-tubi yang bunyinya sama. Benarkah anak-anak Efendy, yang diduga sudah mati, ada di panti tempat yang ia kelola. "Maaf, Bu." "Lakukan saja apa yang ku suruh tadi dan jangan keluar sampai polisi datang." "Baik, Bu." Pengurus panti yang tangannya cekatan, menarik gorden dengan wajah masam. Ia tak ingin berpasang-pasang mata yang seolah memastikan wajah mana anak Efendy, melihat apa yang ada di dalam. "Bu, izin tanya, Bu. Benarkan anak Efendy ada di panti ini?" Dan tanya yang tak hanya keluar dari satu mulut, terus berulang. Tidak perduli keriuhan mereka mengganggu bocah-bocah yang kembali menunjukan ketakutan. Sungguh para hyena yang akan melakukan apa saja demi nama kebenaran. Tapi, sesungguhnya kebenaran untuk siapa yang sedang mereka cari? Saat bocah perempuan yang duduk dalam diam makin erat memeluk satu-satunya keluarga yang ia miliki.Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke