Share

Bab 2: SERASA TAK PAKAI BAJU

"Aku mau ambil tawaran kamu," ucap Bella saat pintu rumah kontrakan Rini, terbuka lebar.

"Hah! kamu, yakin?" tanya Rini, kaget sekaligus girang.

Perempuan itu tersenyum lebar, merasa bahagia, karena pada akhirnya mempunyai teman satu pekerjaan. Satu dunia peradaban.

"Kok, kamu terlihat sangat bahagia gitu kalau aku jual diri?" ucap Bella ketus. Mata gadis itu menyipit seraya menatap tajam ke arah sahabatnya itu.

"Bukan senang, tapi aneh saja, kamu mabuk apa sih? jangan-jangan cuma meledek saja," elak Rini, seraya menyenggol tubuh Bela dengan kencang.

Tetap saja, meski tak mengaku, Rini tertawa puas melihat wajah Bella memberengut.

"Aku butuh uang itu, apa pun akan aku lakukan demi Adella, untuk bisa sembuh kembali."

Bella sangat takut jika putrinya tidak tertolong, bahkan ia merasakan sakit. Kala melihat bibir mungil itu sedang meringis, bahkan sesekali merintih.

"Kamu yakin? dia hanya anak tiri, loh!" ujar Rini, meyakinkan sahabatnya, karena jika sudah terjun ke dunia hitam yang penuh noda itu, sangat sulit untuk keluar kembali.

Sekali sudah menjadi sampah masyarakat, akan tetap menjadi sampah, meski telah berubah dan insaf. Itulah pandangan masyarakat kebanyakan.

"Bahkan dia sudah aku anggap anak sendiri, meski awal-awal sangat benci padanya, gara-gara bayi itu hidupku hancur dan terkatung-katung di Jakarta."

Awal kehancuran dan harus memilih, antara bayi perempuan dan keluarganya, dan pada akhirnya Bela lebih memilih bayi yang sudah yatim piatu itu, karena tidak tega jika harus di titipkan ke panti asuhan.

Bukan tidak cinta pada keluarganya, ayah dan ibu, bahkan setiap waktu Bela sangat merindukan kedua orang tuanya itu.

Ingin rasanya ia pulang, tapi apalah daya, rasa malu, dan takut keluarganya mengusir kembali jika ia datang dengan cap baru yaitu perempuan miskin.

"Eh, malah melamun, jangan khawatir, kedua orang tuamu baik saja, mereka hidup dengan layak. Aku yakin suatu saat akan ada maaf untuk kamu, Bel."

Rini mencubit hidung bangir Bela, menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

"Apa aku akan dibiarkan saja berdiri dibalik pintu? sungguh ga sopan, Anda!" ucap Bella dengan ketus.

"Lah! siapa yang suruh berdiri dibalik pintu! sekalian kita cari baju buat nanti malam!"

"Mmmm, baju apa yang harus aku pakai?" tanya Bela, ragu, karena dia juga tahu, jika sahabatnya itu sedang bekerja, pakaian kurang bahan, dan tipis sangat menerawang. Itulah yang di pakai Rini setiap waktu.

Rini tak menjawab, tapi memberi kode untuk masuk ke kamar gantinya.

Seketika tubuh Bella, merinding kala tahu Rini membawanya ke satu ruang, di mana pakaian seksi dan sangat tipis, berjejer di lemari.

"Kamu sangat cocok memakai pakaian berwarna merah menyala, dengan belahan da-da sangat rendah dan menantang." Saran Rini, lalu gadis itu mengambil sehelai kain itu dan di serahkan kepada Bela.

Sementara Bella hanya mendelik kala melihat kain yang cuma sejengkal itu.

"Rin, tidak ada kain yang lebih sopan dan warnanya ga menyala begini, belum juga menjual diri, melihat pakaian ini, aku sudah seperti wanita penjaja sex komersial," keluh Bella, dan menyerahkan kembali kain itu pada si empunya.

"Emang kamu mau menjual diri, tantangannya, ya harus cantik, dan memakai pakaian seperti ini, lebih bagus lagi pakaian dalam kamu ga usah di pakai, biar lebih terlihat seksi dan menggairahkan."

Rini membalas ucapan Bella dengan sedikit meledek, meski begitu gadis itu segera menuju lemarinya untuk memilih pakaian yang diinginkan sahabatnya.

Lama mencari dan tak Satu pun menemukan pakaian yang sedikit sopan, kecuali dres warna hitam, meski tipis, tapi tidak menerawang.

"Hanya dres ini yang menurutku sangat sopan, pakai lah, nanti aku dandani," ujar Rini.

Bella mengembuskan napas, sesak, hanya cara ini yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan Adella, tidak ada orang yang bisa ia minta tolong, bahkan tempat bekerja pun tidak bisa membantunya memberi pinjaman, dan hanya ada kata-kata yang menyakitkan saja yang menusuk hatinya.

Mematut diri di depan cermin, hati Bella menjerit, kala melihat penampakan dirinya yang berbeda dari sebelumnya.

Bibir merah merona, rambut tergerai indah, juga tubuhnya yang sangat terbuka, dres berwarna hitam sangat mencetak tubuhnya.

“Cantik, tapi sebentar lagi tubuh ini sudah milik pria yang akan membeliku nanti, entah siapa, Tuhan, bolehkah aku berdoa, selamatkan aku dan anakku. Aamiin.”

Dalam hati kecil gadis itu tertanam sebuah doa pengharapan. Sebelum sadar pada kenyataan hidupnya yang pahit dan keras.

"Ah, sangat memalukan, tapi apalah daya, ini harus terjadi demi sebuah nyawa," gumam Bella, seraya melangkahkan kakinya menuju ruang tamu kontrakan Rini.

Rini tersenyum senang, melihat Bella sangat cantik dan seksi dengan gaun yang ia pinjam kan.

"Sudah siap? sebab tempatnya sangat jauh, kalau tempat hiburan malam yang dekat, aku tidak menjamin kamu akan dapat uang lima belas juta semalam."

"Lantas, aku harus ke mana?"

"Daerah Thamrin, di sana banyak kaum pria tajir mencari hiburan," jawab Rini singkat.

Setidaknya Rini tahu, diskotek mana saja yang banyak kaum pria tajir sering menghabiskan waktu, meski hanya minum-minum saja, setidaknya Bella, bisa menemani mereka dan mendapat bayaran lebih besar dari dirinya yang sering mendapat kunjungan tamu ke kontrakan, dan per jam tak jauh dari seratus ribu rupiah.

Meski Rini sudah menjelaskan dengan rinci, tetap saja gadis itu ragu dan takut, saat ingin mundur, jiwanya kembali berontak, ada nyawa yang harus ia selamatkan sedang menunggunya untuk melunasi biaya operasi di rumah sakit.

Malam telah menyapa, dengan degup jantung tak karuan, Bella hanya bisa diam.

Sesekali tangannya me re mas dres mininya, gugup itu yang ia rasakan.

Apakah ini akhir perjalanan hidupnya yang lurus, dan pada akhirnya jatuh ke dalam lumpur nista?

"Kita sudah sampai," ujar rini, membuyarkan lamunan sahabatnya--Bella, yang sepanjang perjalanan hanya diam.

"Maaf, aku hanya bisa antar sampai sini saja, masuklah dan duduk dekat bar tender, pesan minuman non alkohol , atau jika ada yang bertanya, katakan saja sedang menunggu seseorang," ujar Rini.

Perempuan itu menatap lekat sahabatnya, ada rasa takut dan khawatir, karena ia tahu Bella sangat polos dan tidak tahu kejamnya dunia malam.

"A--aku ma--masuk sendiri ke dalam gedung itu?" tanya Bella, gagap.

Sudah tentu ia sangat takut dan tidak tahu harus melakukan apa.

"Maaf, klien yang dari luar negeri, ingin bertemu sekarang, dan aku ga bisa nolak, karena pria itu sangat loyal juga tidak berlaku kasar."

"Oh, baiklah, doakan aku, semoga dapat pria yang baik, dan tidak macam-macam."

"Aku doakan, meski mustahil," imbuh Rini. Lalu tersenyum simpul.

Tak berapa lama perempuan itu pergi dengan taxi yang mengantarkannya ke salah satu tempat hiburan terbesar di pusat ibu kota.

Sebelum pergi, Rini memberikan uang kepada Bella untuk pegangan atau jaga-jaga pulang ke rumah kontrakannya.

Bella dengan langkah tertatih, karena sepatu yang tingginya dua belas senti membuatnya sesekali terhuyung dan hampir saja terjatuh mencium lantai keramik.

"Belum apa-apa, sudah mirip orang mabuk, emang harus apa pakai sepatu tinggi macam begini, sangat menyusahkan saja." Gerutunya dalam hati, meski begitu, Bella perlahan berjalan masuk ke ruang yang terdengar hingar bingar dan suara musik itu sangat memekakkan telinga.

Sesekali menarik dres yang secara sendirinya naik ke atas sehingga kakinya yang mulus terekspos dengan sangat jelas.

Lirikan mata nakal dan penuh nafsu membuatnya takut, dan segera mencari tempat duduk yang aman.

Di tempat ramai itu, tidak ada yang dia kenal, dan semuanya tidak peduli padanya, kecuali para mata pria hidung belang, yang menatapnya dengan sorot lapar dan haus.

Waktu menunjukkan jam sepuluh malam, Bella masih anteng duduk di sudut ruang yang tak jauh dengan bar tender.

Entah apa yang ia ingin lakukan, sementara para pria yang ia cari tidak ada, semua tampak memuakkan juga menjijikkan baginya.

Waktu yang terasa sangat lama, bahkan para pria sesekali menggodanya dengan kurang ajar, dan tatapan tajam yang gadis itu berikan justru membuat mereka semakin bertindak semaunya.

Di sudut ruang tak jauh dari tempat Bella duduk, tampak pria dengan beberapa botol minuman yang berjejer.

Pria itu kurang dari setengah jam berada di tempat itu, tapi sudah menghabiskan beberapa botol minuman keras.

Pria itu hanya seorang diri, dan tidak mau didekati oleh wanita malam yang berusaha menggadanya, ucapannya yang kacau, seolah ia sedang mengalami frustrasi.

Bella dengan tak sadar melangkah ke sofa di mana pria itu berada, pria yang sudah tampak setengah mabuk itu tampak sesekali memukul meja, dan berucap sumpah serapah dan menyebut satu nama perempuan.

"Hai, boleh aku duduk di sini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status