Share

MENJUAL DIRI DEMI ANAK TIRI
MENJUAL DIRI DEMI ANAK TIRI
Penulis: Arshi

Bab 1: Darurat

"Aku butuh uang banyak, Rin, lima belas juta, kamu adakan?" tanya Bela, memohon.

"Maksudnya?" tanya Rini, kaget.

"Aku pinjam uangmu, please!" Bela memohon pada sahabatnya.

Hanya Rini sahabat satu-satunya yang masih peduli di saat suka maupun duka.

Di Jakarta Bela tidak punya siapa-siapa, selain Rini dan anak tirinya yang sedang sakit parah.

Rini menganjur nafas panjang, kedua tangannya mengusap wajah dengan gusar.

"Uang se gitu aku tidak punya, bahkan bulan ini aku belum mengirim ke kampung, hanya ada lima juta, itu pun bagi tiga, ya."

"Tapi...Rin...."

"Kalau kamu mau, dua juta, sisanya buat aku kirim ke kampung dan makan."

Bela menggeleng, karena yang ia butuh kan lima belas juta, bukan dua juta. "Tolong aku, Rin, anak itu harus segera operasi, aku janji ini yang terakhir kalinya aku hutang padamu," ucap Bela memohon pada sahabatnya itu.

Bela benar-benar tidak tahu caranya harus dapat uang banyak dalam hitungan satu hari saja, sedangkan hidupnya benar-benar sendiri dan miskin.

"Maaf, Bel, kalau ada pasti sudah aku kasih, dan aku tidak bohong."

Rini berkata apa adanya, dan memang bulan-bulan ini pelanggannya sedikit berkurang, sehingga ia pun harus menunda kiriman ke kampung.

Bela terdiam, otaknya berpikir, harus dari mana lagi ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu hari saja.

"Bela, aku minta maaf," aku Rini, merasa kasihan tapi ia pun tidak berdaya.

"Tidak apa-apa, jadi kamu mau pinjami aku berapa?" tanya Bela.

"Hanya dua juta, saja, tidak apa-apa, kan?"

Tentu saja jawaban Rini, membuat hati Bela kecewa dan sedih, karena ia harus berpikir lagi uang tiga belas juta harus dicari ke mana.

"Aku bingung, uang tiga belas juta lagi harus cari ke mana, sementara anakku harus segera dioperasi," ucap Bela, lirih. Kepalanya menunduk dan kali ini pikirannya sangat buntu.

Rini menatap sahabatnya sangat sedih, dia tahu kehidupan Bela, saat lebih memilih anak tirinya dan harus hidup sebatang kara di Jakarta.

"Cara simpel dapat uang gede, aku bisa kasih jalan, itu pun jika kamu mau," celetuk Rini.

Bela mendongak dan menatap Rini penuh harap.

"Bagaimana caranya?"

Rini menatap lekat kepada Bela, dengan senyum merekah, juga seraya mengedipkan sebelah matanya.

Seketika Bela bergidik ngeri, karena tiba-tiba saja wajah sahabatnya itu menjadi nakal.

"Menjual diri, aku tahu tempatnya di mana banyak pria kaya yang sedang butuh hiburan," ujar Rini.

"Apa!" teriak Bela, kaget.

"Secara tubuh kamu seksi, cantik, putih mulus pasti laku, dan dapat bayaran mahal," lanjut Rini, sambil tersenyum, tak peduli dengan wajah Bela yang terlihat sangat kaget.

Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan uang banyak secara instan dalam satu malam.

"Ogah!" tolak Bela, refleks mencubit hidung mungil sahabatnya itu dengan kencang.

Tak ter bayangkan oleh Bela, jika sahabatnya itu memberikan ide gila untuk menjual tubuhnya pada kaum pria hidung belang.

"Ga ada cara lain, dan itu cara pintas yang akurat!" ujar Rini datar.

"Aku tidak mau bekerja seperti itu, dan uang haram untuk pengobatan anakku!"

Bela menolak, dan berharap masih ada jalan lain selain jadi santapan nikmat kaum pria yang butuh hiburan itu.

"Bela sayang, kamu menolak uang haram, tapi selalu pinjam uang padaku, memang aku ini kerja apa?" ledek Rini, seraya terkekeh geli.

Sementara Bela, tersenyum samar, hati dan jantungnya tercubit atas ucapan sahabatnya itu.

Ucapan Rini sangat benar, selama ini dirinya selalu dan sangat sering meminjam uang bahkan kebanyakan lupa dan tak pernah dikembalikan.

Ia juga sangat tahu pekerjaan sahabatnya seperti apa, dan dia sendiri lebih memilih bekerja sebagai tukang cuci piring, di sebuah rumah makan, dengan tujuan setiap hari tidak harus susah membeli makanan atau memasak, karena jika ada makanan sisa tak terjual, bosnya akan memintanya untuk dibawa pulang.

Bela seketika menampakkan wajah tanpa dosa, dan tersenyum sangat manis.

"Aku..."

"Kalau kamu mau, jika tidak, ga apa-apa," sela Rini.

Tentu saja Rini sudah tahu jawaban Bela, janda muda itu lebih memilih menjadi tukang cuci piring dibanding bekerja seperti dirinya.

"Lagi pula kamu, kan, janda, bukan perawan lagi, kalau mau berkorban demi anak itu, jangan tanggung-tanggung, saat ini ga ada yang bisa menolong selain pekerjaan itu!"

"Ish! aku masih tersegel tahu!"

"Aku ga percaya! karena semua orang tahu, kalian berdua pacaran selama bertahun-tahun pasti sudah gitu duluan," ledek Rini.

Bela hanya terdiam, ucapan sahabatnya semuanya tidak benar dan saat ini ia tak mau mengingat luka itu lagi.

Berjalan dengan langkah kaki gontai, Bela segera masuk ke ruang administrasi.

Dengan hanya membawa uang dua juta, dan itu masih kurang setengahnya dari lima belas juta.

Keringat bercucuran, karena terik matahari yang menyengat, saat ia berjalan kaki, dari kontrakan Rini menuju rumah sakit yang lumayan jauh jaraknya.

Sungguh perih hidupnya, untuk hanya sekedar ongkos angkutan umum seharga lima ribu saja ia tak punya.

Bela diam terpaku, kakinya maju mundur untuk sampai ke ruang administrasi.

Percuma bernegosiasi, karena sebelumnya dirinya sudah memohon, untuk mendapat keringanan, tapi apalah daya, prosedur rumah sakit sudah menetapkan peraturannya, pembayaran di awal separuh dari yang sudah ditentukan.

Pihak rumah sakit juga memberi saran untuk membuat BPJS tapi itu tidak bisa langsung digunakan, bahkan ia sendiri tidak punya kartu keluarga.

Tidak bisa berpikir apa pun, apa lagi bermimpi masuk rumah sakit, tapi takdir berkata lain, dan Tuhan sedang mengujinya.

Anak tiri yang saat ini dia punya, penghibur dikala lelah, kini sedang berjuang untuk sembuh dari rasa sakit akibat, penyumbatan pembuluh darah ke otak.

Tidak ingin berdebat lagi dengan petugas administrasi, perempuan itu berbalik badan, menjauh dan langkahnya menuju ruang NICU, di mana putrinya sedang berjuang untuk hidup.

Bela hanya bisa memantau dari balik kaca, melihat putrinya yang sedang kesakitan seorang diri, dan hanya ada perawat yang bertugas mengecek kondisi anak itu.

Seketika ucapan Rini, bermain-main dalam pikiran Bela, akal pikiran dan logikanya sedang berperang saat ini, terlebih melihat di dalam ruangan khusus itu putrinya sedang meronta kesakitan.

Jiwa dan raga yang sudah letih, perempuan itu mundur beberapa langkah dan akhirnya segera pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan hancur.

Air matanya terus saja mengalir, di tempat perantauan ini, hanya putrinya yang ia miliki, dan Bela pun tak ingin kehilangan, meski yang sedang diperjuangkan adalah anak tiri.

"Adakah jalan lain untuk dapat uang sebesar itu dalam waktu singkat? Tuhan, bantu aku," gumamnya lirih.

Sepanjang perjalanan ia terus saja berdoa dan berharap ada keajaiban dalam hidupnya. Tapi apalah daya, saat ini langkah kakinya menuju ke kontrakan Rini kembali.

Tak peduli terik matahari yang sangat panas, bahkan kemeja yang ia kenakan sangat basah oleh keringat. Jiwanya hanya terfokus pada putrinya yang sedang kesakitan.

"Tuhan, apakah hanya ini jalan yang bisa menolong putriku?" batin Bella.

Senyum miris, matanya nanar, saat kakinya sampai di depan kontrakan sahabatnya, Rini.

Ketukan pintu yang penuh dan berulang, Bella tak ingin waktunya terbuang dengan sia-sia.

Sesaat pintu terbuka perlahan dan kedua sahabat itu saling tatap dalam diam sesaat, penuh ragu sekaligus tanya.

"Aku mau ambil tawaran kamu."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lala uniq
lanjut seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status