Share

Permintaan Anwar yang tak masuk akal

MENOLAK UNTUK RUJUK 7

"Kamu mau apa? Es krim atau susu, biar aku ambilkan?" tanyanya sambil menuju lemari pendingin.

"Tidak usah, Mas. Aku masih kenyang," sahutku menolak tawarannya. Namun, tetap memperhatikan sikapnya.

Lelakiku itu terdiam sejenak lalu urung membuka lemari pendingin itu, kemudian kembali duduk di depanku. 

Sungguh, aku dibuat pusing oleh tingkahnya, ada apa dengan lelaki yang  akhir-akhir ini sikapnya nampak manis.

Dia memainkan gelas yang ada di depannya, memutar-mutar benda yang isinya tinggal separuh itu. Aku memilih bungkam.Tak berani mengawali perbincangan, hanya diam saja menunggu apa yang sebenarnya akan dikatakan padaku.

"Rin." Mas Anwar menyebut namaku, kemudian mengangkat gelas menaruhnya di bibir lalu meminum isinya hingga tandas.

Aku menghela napas dan masih tetap memperhatikan tingkahnya yang aneh. Tuhan, apa yang akan dikatakannya? Sungguh, memikirkannya membuatku semakin penasaran.

"Namanya Monalisa, kami adalah teman lama. Dulu kami pernah menjalin hubungan saat menempuh pendidikan di luar negeri." Dia berhenti bicara untuk menarik napas panjang, kemudian menghembuskan secara perlahan.

"Dia ingin kembali menjalin hubungan denganku." Lelaki itu menjeda kalimatnya, sekilas tatapan kami beradu. "Bagaimana menurutmu?" imbuhnya bertanya.

Demi Tuhan apa maksudnya bertanya seperti itu? Untuk sesaat bibir ini terasa keluh. Sengaja memalingkan wajah agar dia tak mengetahui kegelisahanku. Bagaimanapun juga ada yang tercubit di dalam sana.

"Apa kamu juga menginginkannya, Mas?" jawabku kemudian. Entahlah setelah berpikir cukup lama, hanya kalimat itu yang keluar dari bibir ini.

"Aku tidak menginginkannya. Saat ini aku hanya membutuhkannya, Rin. Aku tidak bisa menyentuhmu karena ada junior di sana," sahutnya sambil menunjuk ke perutku. "Aku tidak ingin dia terluka." Lanjutannya.

"Apa bedanya, Mas? Tak menginginkan tapi membutuhkan?  Jadi mau kamu itu apa, Mas? Apa kamu  ingin menikahinya juga? Poligami gitu?" tanyaku, bahkan aku sendiri tak percaya bisa menanyakan hal konyol seperti itu.

"Tentu saja itu tidak mungkin, Rin! Aku bisa dibunuh oleh Papa, jika sampai melakukannya," sewotnya, dia mulai nampak kesal.

"Jangan takut sama, Papa. Kalau memang kamu mencintai dan membutuhkannya. Lakukan saja, tapi ... ceraikan aku dulu," sahutku tegas.

"Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu. Dengan atau tanpa izin darimu, Lisa akan tinggal di sini. Dulu kami sudah terbiasa hidup bersama tanpa ikatan, jadi kami akan melakukan seperti yang dulu kami lakukan," pungkasnya sambil berdiri.

Aku pun bangkit sambil terus menatapnya. 

"Terserah apa yang akan kamu lakukan. Silakan, tapi jangan di sini. Ini rumahku! Kamu tidak mungkin lupa kan? Kalau rumah ini sudah atas namaku. Lagian apa kamu sudah tidak mampu membuatkannya rumah?! tanyaku dengan sedikit mencemoohnya.

"Jaga bicaramu, Rin!" bentaknya. Rupanya lelaki itu tersinggung dengan kata yang kuucapkan. "Bahkan kalau mau, aku bisa membangun istana untuknya. Aku meminta izin darimu, karena aku ...." Mas Anwar menggantungkan kalimatnya.

"Karena apa, Mas? Karena aku sudah tak berguna lagi?" tanyaku, setelah dia tak melanjutkan kalimatnya. "Maka ceraikan saja aku ini agar kamu bisa bebas!" Entah mendapat keberanian dari mana sampai aku bisa berkata seperti itu.

Suamiku itu tak merespon, dia menatapku dengan tatapan yang entah, antara menyimpan amarah dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Untuk beberapa saat kami hanya saling menatap. Setelah tak ada lagi kata yang terucap, aku pun beranjak pergi meninggalkannya sendiri di dapur. Mungkin, saat ini lelaki itu heran dengan sikapku yang mulai berani padanya. Biarlah.

*****

Ini adalah akhir pekan, seharusnya menjadi waktu yang menyenangkan untuk berkumpul dan bersantai dengan keluarga. Namun, semua itu hanya sebatas angan, entah kapan bisa terwujud.

Untuk kesekian kalinya, aku tak mendapati Mas Anwar saat bangun di pagi hari, harusnya aku senang karena sudah tak lagi merasakan kesakitan. Namun, jauh di lubuk hati ini ada yang terasa hampa.

Ku paksakan diri ini bangkit dari ranjang setelah teringat kalau ada Adam dan Hawa menginap disini. Gegas membersihkan diri, setelah itu berhias dengan memoles sedikit bedak juga lipstik dengan warna nude.

Langkah kaki ini ringan menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tak butuh waktu lama karena aku hanya membuat nasi goreng dan menghangatkan susu untuk kami bertiga. Tak lupa secangkir kopi dengan sedikit gula kesukaan Mas Anwar.

Setelah semua siap, aku beranjak ke kamar tamu, tempat di mana Adam dan Hawa tidur. Kedua bocah itu terlihat masih nyenyak saat aku membuka pintu. Bibir ini tersenyum tatkala memperhatikan mereka yang masih bergumul dengan selimut.

Bergantian aku mencium pipi kakak beradik itu. Sambil sesekali menggesek hidung ini dengan gemas, membuat keduanya menggeliat lalu perlahan membuka mata.

"Selamat pagi, Sayang. Bangun, yuk!" 

"Selamat pagi, Tante," sahut mereka kompak sambil mengucek mata.

Adam masih terlihat mengantuk sementara Hawa terus-terusan menguap. "Aku masih ngantuk, Tante," kata Adam dengan suara khas orang bangun tidur. 

"Aku juga," sahut Hawa tak mau ketinggalan.

"Tapi Tante udah bikin nasi goreng kesukaan kalian, gimana dong?" tanyaku pura-pura merajuk.

"Pakai telur gak, Tante?" tanya Adam antusias. Bocah itu memang sangat  menyukai nasi goreng apalagi kalau ditambah dengan telur mata sapi.

"Iya, dong! Sepesial buat Adam. Dan ... untuk Hawa, tante sudah buatkan nasi goreng yang buanyak sosisnya, eem sedap," godaku sambil memainkan lidah. Seolah sedang mencicipi masakan.

"Ye ... aku yang mandi duluan!" seru Adam kegirangan, bocah laki-laki itu segera bangkit dan langsung lari ke kamar mandi.

"Ya ... kalah cepat." Hawa merajuk manja karena keduluan sama kakaknya.

"Hawa mandi di—" Aku menggantungkan kalimat. Sempat terpikir untuk mengajak Hawa mandi di kamarku, tapi bagaimana nanti kalau Mas Anwar tiba-tiba masuk. Ah, sampai lupa, kalau dari tadi malam sampai saat ini aku belum bertemu dengannya.

"Tunggu Kakak sebentar ya? Kan Tante masih di sini." Aku berusaha menghibur bocah yang semakin menggemaskan ketika merajuk ini.

"Ya udah," sahutnya masih agak sewot. Ah lucunya anak-anak, tanpa sadar aku langsung meraba perutku, 

"baik-baik di dalam sana ya, Sayang," gumamku pada sang buah hati.

******

Adam dan Hawa menghabiskan nasi goreng dengan sangat lahap hingga tak ada sebutir nasi yang tersisa di piring mereka.

"Tante, Om Anwar di mana? Dari tadi kok gak kelihatan?" tanya Adam, setelah dia selesai dengan sarapannya. Bocah bermata bulat itu menatapku, menanti jawaban dari pertanyaan.

Aku meletakkan gelas setelah meneguk habis isinya. 

"Om Anwar lagi ada—"

"Hem ... gitu ya. Udah pada sarapan, tapi gak ada yang ingat sama, Om," sahut Mas Anwar memotong kalimatku. 

Jujur aku merasa terbantu saat ini, karena tidak perlu mengarang cerita pada keduanya. Aku hanya melihat Mas Anwar sekilas, kemudian mengambil piring untuknya.

"Kok ada Tante itu keluar dari kamar bersama dengan Om," tanya Hawa. Sontak aku menoleh di mana Mas Anwar dan wanita itu berdiri.

Mas Anwar gelagapan mendengar pertanyaan Hawa. Dia nampak bingung mau menjawab apa. Sehingga aku pun membuka mulut untuk menjawabnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status