Share

Tak sadarkan diri

MENOLAK UNTUK RUJUK 2

Setelah Mas Anwar memutuskan sambungan telepon, aku kembali menangisi, merenungi nasib hidup ini.

Pada siapa aku harus mengadu? Tuhan kenapa tak Engkau ambil saja nyawa ini, aku benar-benar putus asa. Mas Anwar begitu ketat membatasi pergaulan diri ini, terutama pada semua anggota keluarga. Baik itu keluargaku atau keluarganya.

Sementara orang tuaku, mereka seakan buta dengan keadaan yang menimpa anaknya. Mereka tak peduli dengan apa yang terjadi pada diri ini, yang terpenting uang selalu mereka dapatkan dari menantu kesayangannya. 

Mas Anwar adalah menantu kesayangan Bapak karena lelaki yang sudah menghalalkanku itu selalu memberinya kemewahan. Sehingga Bapak seakan menutup mata tentang keadaan putri yang dulu sangat disayanginya ini.

Hanya ibu yang peduli, dialah satu-satunya orang yang bisa merasakan apa yang kurasakan. Sorot matanya sayu saat menatap diri ini. Namun, dia tak mampu berbuat apa-apa. Wanita yang telah melahirkan diriku itu sama tak berdaya dihadapan suaminya.

Pernah suatu waktu aku akan bercerita dengannya ketika ada acara keluarga di rumah, tapi Mas Anwar memergokinya. Setelah sampai rumah dia menghajar diri ini habis-habisan, hingga jika bisa memilih, kuingin Tuhan mencabut nyawa ini saat itu juga.

*****

Aku bergegas turun dari ranjang, melangkah tertatih ke dapur untuk membuat teh manis. Masih belum berani meminta susu khusus untuk ibu hamil. Karena sampai hari ini Mas Anwar belum mengetahui kalau aku sedang berbadan dua.

Seminggu yang lalu aku memang meminta tolong padanya untuk membelikan tes kehamilan. Lelaki yang selalu tampil menawan itu malah menatap tajam, hanya bisa menunduk takut ketika sorot mata itu menghujam tepat di manik mataku.

"Nanti biar dibelikan istrinya Jono," katanya datar lalu mengalihkan pandangan, setelah itu tak ada lagi pertanyaan yang lain, Mas Anwar langsung beranjak pergi.

Aku takut kalau dia tak menerimanya, karena lelaki yang kadang sangat manis itu tak pernah mengungkit soal alat tes kehamilan itu lagi. Dia masih sama saat memperlakukanku di atas ranjang, merasa sangat puas jika melihat diri ini tersiksa kesakitan.

*****

Mas Anwar memperkejakan seorang wanita untuk membersihkan rumah, mencuci, menggosok baju juga memasak. Namanya Ijah—istri dari sopir pribadi—Mas Anwar. Setelah pekerjaannya selesai dia akan pulang dan kembali esok hari.

Mas Anwar selalu mewanti-wanti, untuk berhati-hati jangan sampai ada orang tahu tentang lebam-lebam di tubuhku.

"Jangan sampai ada yang menaruh curiga denganmu, jaga baik-baik semua yang telah terjadi. Kalau tidak, bukan hanya kamu. Semua anggota keluargamu akan merasakan akibatnya. Ingat itu!" ancamnya.

Dia melarang untuk keluar kamar, setelah semalam dia menyalurkan napsu bejatnya. Dia akan memastikan kalau aku tidak melanggar larangannya saat mbak Ijah sedang melakukan pekerjaannya.

Mas Anwar akan tahu semua itu karena di setiap sudut rumah telah terpasang cctv yang terhubung langsung dengan ponselnya. Lelaki yang hobi mengoleksi motor trail itu juga menggaji seorang satpam untuk menjaga rumah. 

Sangking ketatnya perlakuannya, aku bahkan tak tahu siapa nama lelaki berperawakan gagah dengan kulit sawo matang itu. Sepertinya dia juga orang kepercayaan Mas Anwar.

*****

Sore sebelumMas Anwar pulang aku harus sudah bersih dan wangi, jika tidak ingin dia yang akan memandikan, mengguyur tubuhku tanpa henti, kemudian dia akan menuntaskan hasratnya dengan sebuah penyiksaan yang teramat menyakitkan. 

Akan bertambah perih karena luka yang diakibatkan oleh ulahnya akan disiram dengan air sabun. Semakin aku menjerit, semakin membuat dia tertawa terbahak-bahak.

Aku masih termangu di depan cermin memandang bayangan diri ini, wajah itu sudah tak menarik lagi, pipi yang dulu merona kini semakin tirus, bibir yang dulu ranum, kini semakin pucat dan mata yang dulu berbinar kini kelihatan redup. Berkali-kali mengusap wajah, aku seakan tak mengenalinya.

"Jangan suka melamun." Tiba-tiba sebuah suara terdengar, setelah itu sebuah tangan kekar mengelus leher. Kupejamkan mata ini, dada sudah naik turun karena menahan takut. Napas seakan berhenti saat dia mulai menjil**i wajah ini. 

"Kamu wangi sekali, Sayang. Sehingga membuatku berga***h," desahnya membuatku merasa jijik. Namun, kemudian dia mendorong tubuhku. 

"Sial! Aku harus menunda kesenangan ini!" umpatnya penuh amarah. Dia kemudian bangkit lalu melempar sebuah gaun padaku.

"Pakailah, setelah aku selesai mandi, kita ke rumah Papa," ujarnya kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi. 

"Jangan lupa dandan yang cantik, aku tak ingin ada yang curiga padamu. Pastikan semua lebam itu tak kelihatan!" teriaknya dari kamar mandi. 

Mas Anwar memang selalu memperhatikan penampilanku ketika akan pergi kemanapun. Dia benar-benar takut kalau sampai ada yang curiga dengan keadaanku. Aku hanya meringis mendengarnya.

Gaun yang dipilihnya selalu dengan model yang sama. Gaun panjang dan juga lengan yang panjang itu akan menutupi lebam-lebam di tubuhku. Dia memang sangat pandai, Mas Anwar memang selalu menghajar tubuhku. Namun, tak sekalipun dia menghajar wajah, katanya sama saja dengan bunuh diri jika dia melakukan itu.

Pernah aku meludah ke arahnya ketika emosi benar-benar menguasai diri ini, berharap dia semakin marah agar kalap dan akan membunuhku. 

Usahaku berhasil, dia tidak hanya mencambuk punggungku. Namun, seluruh tubuh ini menjadi sasak hidup baginya. Membuatku harus berbaring selama lima hari di ranjang. Dan dia akan dengan telaten merawat diri ini. 

Tuhan, kenapa tak Engkau cabut saja nyawaku, doa yang selalu kuucapkan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan suamiku? Sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya.

*****

Semua menyambut hangat kedatangan kami. Papa dan Mama mertua sangat menyayangiku. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami. 

Mas Anwar adalah anak yang sangat baik di hadapan keluarga, dia menjadi kebanggaan mereka. 

Papa Haris dan Mama Ana tak pernah tahu perangai mas Anwar yang sebenarnya karena mas Anwar memang tak pernah menunjukkan sesuatu yang aneh. Lelaki itu sangat baik dan juga sopan pada semua orang.

Selain pandai bersandiwara, lelaki yang telah mengisi hari-hariku dengan duka lara itu pandai mengambil hati semua orang. Tak akan ada yang percaya kalau dia bisa melakukan hal-hal yang sangat menjijikkan di atas ranjang.

Selama acara berlangsung tak sedetik pun Mas Anwar melepaskan diri ini sendiri. Aku akan selalu ada di sisinya, itu yang dia inginkan. Supaya aku tidak bisa berbicara sesuatu yang akan membuatnya malu.

"San, lihatlah. Kamu seharusnya mencontoh adikmu, Anwar dan Rina. Mereka adalah pasangan yang sangat serasi," puji mama mertuaku pada kami.

Mas Sanusi hanya melirik kami sekilas, kudengar saat ini rumah tangganya sedang ada masalah. Kakak suamiku itu memang tak banyak bicara, bahkan denganku pun tak pernah. Hanya menyahut seperlunya saja ketika aku menyapanya.

Makan malam seperti ini memang sering dilakukan oleh keluarga Papa Haris dan Mama Ana. Berkumpul dengan keluarga besar. Semua kerabat akan hadir, para pria akan membicarakan tentang bisnis. Sedangkan para wanita akan membicarakan banyak hal, bergosip yang pasti. Di saat seperti ini aku memang akan berkumpul dengan para wanita. Namun, pandangan Mas Anwar tak pernah lepas mengawasi setiap gerak-gerik diri ini.

Sebelum acara benar-benar selesai aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres, kepala terasa pusing dengan perut yang terasa sangat mual. Sekuat tenaga aku menahannya hingga keluar keringat dingin dari tubuh ini. 

Kepalaku semakin pening mendengar riuh suara mereka yang sedang bersuka cita. Aku limbung, masih kudengar teriakan memanggil namaku, sebelum akhirnya semaunya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status