MENOLAK UNTUK RUJUK
Meja itu bergetar setelah digebrak ib-lis dengan rupa yang sangat tampan. Dia juga melempar apa saja yang berada dalam jangkauannya. Dia memang pantas disebut seperti itu, seorang manusia tapi berhati kejam."Jangan coba-coba kamu menolak, Rina! Kamu adalah milikku, jadi sebaiknya kamu menurut!" teriak mas Anwar memekakkan telinga.
Dia berteriak seperti kesetanan, begitulah jika aku menolak melayani hasr*tnya untuk menikmati tubuh ini. Beberapa lebam di bagian tubuhku masih belum hilang. Bekas cambukan di punggung juga masih terasa perih. Sekarang dia ingin melakukannya lagi.
Aku hanya bisa menangis meratap meringkuk di sudut kamar. Penolakan yang kulakukan membuat tubuh ini merasakan sakitnya tendangan kaki besar miliknya.
"Sudah begitu banyak uang yang kuberikan pada keluargamu! Jadi sudah menjadi kewajiban bagimu untuk menuruti semua keinginanku!" bentaknya. Mas Anwar mendekat dengan membawa seutas tali.
"Jangan, Mas. Kumohon." Kembali aku meratap, berharap dia akan iba. Namun, semua itu terasa percuma. Lelaki itu terus mendekat, mengangkat tubuhku dan membantingnya di ranjang.
Bibirku tak henti memohon padanya, menggelengkan kepala dengan uraian air mata, berharap ada sedikit rasa kasian untuk diri ini.
Lelaki yang lebih pantas disebut ib-lis itu mengikat tangan dan menyumpal mulutku dengan sapu tangan kemudian dia melepas sabuk yang dikenakannya. Aku terus menggeleng, wajah ini sudah basah dengan air mata, dan itu semakin membuatnya berga-irah.
"Tenanglah, Sayang. Nikmati saja semuanya," katanya sambil mulai mencambuk tubuh ringkih ini.
Entah berapa lama lelaki yang dulu kucintai itu melakukannya, aku tak pernah tahu, karena aku selalu tak sadarkan diri ketika semua sudah selesai. Hanya tinggal kesakitan yang kurasakan.
Tubuhku meringkuk di ranjang, kembali hanya bisa menangis pilu, bukan hanya ragaku, hati ini juga terasa nyeri saat meraba perut yang masih datar.
Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Semoga kamu bisa bertahan, jika kamu ingin pergi, maka ajaklah bunda sekalian.*****
Aku memang dijodohkan oleh Bapak sejak pertengahan semester akhir kelas tiga SMA. Seminggu setelah acara kelulusan, diri ini resmi menikah dengan lelaki pilihan Bapak. Mengubur dalam-dalam cita-cita yang ingin menjadi seorang pendidik demi baktiku kepada orang tua.
Awalnya aku sangat bahagia, ternyata Bapak tidak salah pilih, lelaki pilihannya begitu sabar dan pengertian hingga membuatku jatuh cinta.
Dialah lelaki pertama yang kucintai. Itu karena ayah selalu melarang untuk berpacaran bahkan berteman dengan seorang lelaki pun tak boleh, membuatku selalu diejek habis-habisan oleh teman-teman.
"Eh! Jangan dekat-dekat dengan, Rina. Nanti Bapaknya marah."
*****
Kasih sayangnya membuat luluh, aku benar-benar merasakan indahnya jatuh cinta dalam ikatan suci. Namun, semua kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Mas Anwar yang hobi balapan dengan motor trail, akhir-akhir ini sering pulang dengan keadaan mabuk, bahkan tak jarang dia membawa teman wanitanya pulang.
Semampuku mencoba untuk bertahan demi nyawa yang masih kuat bertahan di perut walau sering mengalami kesakitan.
*****
"Hai, ayo bangun. Kamu baik-baik saja kan, Sayang?" tanyanya ketika melihatku yang masih meringkuk di kasur.
Lelaki yang masih memakai handuk itu hendak mengangkat diri ini, membuatku gegas bangkit dengan tubuh bergetar.
"Aku ... aku akan mandi sendiri," ucapku lirih. Setelah itu dengan perlahan melangkah menuju kamar mandi. Jujur aku takut membangkitkan gairahnya lagi jika sampai kulit kami bersentuhan.
"Sini tak gendong biar lekas sampai," tawarnya yang malah membuatku bergidik.
Lelaki itu sudah melangkah mendekat. "Aku bisa sendiri, Mas. Bersiaplah, nanti kesiangan. Aku baik-baik saja."
Ku paksakan bibir ini tersenyum semanis mungkin. Jangan sampai membuat nafs*nya bangkit lagi, tubuhku tak akan mampu menahannya.
"Istri pintar," pujinya sambil sekilas mencium bibir ini. Mataku terpejam bukan karena menikmati, tapi karena rasa takut.
"Lekas mandi, kamu bau kecut," candanya.
Dulu saat awal menikah, aku sangat bahagia dengan candaan-candaan kecilnya itu. Namun, sekarang semua itu terasa menakutkan.
****
Masih jam sepuluh pagi saat kudengar suara mas Anwar memanggil.
"Rin!" teriaknya selalu memekikkan telinga. Aku yang sedang di taman belakang berlari terseok-seok mendatanginya.
"Rin! Kemana wanita bodoh itu?!" teriaknya lagi.
"Iya, Mas. Maaf tadi aku sedang di taman belakang."
"Lama amat! Ambilkan map yang bersampul biru di lemari, cepat!" bentaknya hingga membuatku berjingkat.
Tanpa membuang waktu, segera aku beranjak untuk mengambil map yang diminta olehnya.
"Cepat, Rin! Dasar perempuan tak berguna!" Kembali dia mengumpat sambil berteriak.
"Iya, Mas," sahutku agar dia berhenti berteriak.
Karena tergesa-gesa, kakiku pun tersandung, tubuh ini limbung dengan posisi telungkup.
"Auh!"
Mas Anwar menghampiri diri ini setelah aku menjerit.
"Astaga ... Rina! Ceroboh amat sih jadi orang!" bentaknya. Mas Anwar mengambil map yang masih di tanganku, kemudian mengangkat tubuh ini dengan cara menarik satu lengan saja.
"Semakin hari kamu semakin tak berguna saja! Hah!" hardiknya lalu meninggalkanku.
Aku menangis sambil memegang perut yang terasa nyeri. Melangkah tertatih memasuki kamar. Kembali tetesan bening ini membasahi pipi ikut meratapi nasib.
*****
Saat hendak memejamkan mata, ponsel yang tergeletak di meja berdering. Terlihat 'my husband' sedang memanggil.
Ada yang nyeri di ulu hati, bibir ini tersenyum kecut memandang nama yang tertulis untuk daftar nomernya di ponselku. Gegas aku mengangkatnya, sebelum benda pipih itu kembali berdering kembali.
"Rin, maafkan mas, ya" pintanya saat panggilan sudah tersambung.
"Kalau badanmu sakit, istirahat saja. Gak usah melakukan apa-apa, nanti malam makan diluar aja, ya" katanya lagi penuh perhatian.
"I-iya, Mas" jawabku yang masih terisak.
"Hai, jangan menangis lagi. Diam lah, Sayang. Diam!" bentaknya sebelum memutuskan panggilan begitu saja. Membuat tangisanku kembali pecah.
Apa kamu masih mau bertahan, Sayang? Bunda tidak akan menahan jika kamu ingin pergi, tapi tolong bawa bunda sekalian.
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon