Home / Romansa / MENOLAK UNTUK RUJUK / Barita yang ditunggu-tunggu

Share

Barita yang ditunggu-tunggu

Author: Puspita
last update Last Updated: 2021-10-09 10:54:23

Menolak untuk rujuk 3

Samar-samar bisa kudengar suara orang berbicara. Sepertinya bukan satu atau dua orang, karena suara itu terdengar saling bersahutan.

Sementara ada yang sedang menggenggam erat tanganku, dengan sangat lembut dia mengelus punggung tangan ini, sesekali bisa kurasakan dia telah menciumnya. 

'Ini bukan tangan yang sering menyakitiku' batinku.

Perlahan aku bisa membuka mata, walaupun masih terlihat remang-remang. Berkali-kali mata ini mengerjab, mengumpulkan sisa-sisa ingatan.

'Di mana ini?' Itu yang saat ini memenuhi pikiran, secara reflek aku juga menggerakkan jari-jari tangan ini.

"Alhamdulillah ... Rina sudah sadar, Pak! Nak Anwar, istrimu sudah sadar, Nak!" teriak seseorang. 

Aku masih belum bisa mengenali siapa dia, tapi aku merasa sangat mengenal suara itu, suara yang tak seperti tak asing di telinga ini.

'Siapa?' Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri. Mata ini kembali terpejam untuk berpikir dengan keras mengingat siapa yang tadi memanggil suamiku. Setelah beberapa saat, akhirnya aku menemukannya.

Oh, Tuhan. Itu suara ibu, malaikatku. Ingin sekali aku bangkit lalu memeluknya, tapi badan ini terasa sangat lemah sehingga tak mampu untuk melakukannya.

"Ibu," ucapku lirih memanggilnya. 

"Iya, Sayang. Ini ibu, Nak," bisiknya. Suara itu terasa menyejukkan hati. Aku merasa sangat bahagia hingga tak terasa air mata ini kembali menetes.

"Ibu ...." Lagi aku memanggilnya, hanya ingin memastikan kalau ini benar-benar nyata, ada ibu di sisiku. Wanita yang telah mempertaruhkan jiwa raganya saat melahirkan diri ini ke dunia. 

Tak ada sahutan. Namun, kurasakan hangatnya sebuah pelukan. Sampai aku benar-benar tersadar, apa yang terjadi semalam sebelum semuanya menjadi gelap.

"Selamat ya, Sayang," ucap Mas Anwar, lelaki itu tersenyum manis padaku. Ibu bergeser memberi ruang pada menantu kesayangan Bapak ini.

"Kenapa kamu gak bilang kalau ada junior di sini," katanya sambil mengelus perutku kemudian mencium kening ini cukup lama. Tatapan mata itu begitu lembut, sama seperti di saat awal pernikahan kami. Siapa pun tak akan percaya dengan perangainya saat sedang berhasrat.

Semuanya memberikan ucapan selamat. Papa Haris dan Mama Ana terlihat sangat bahagia, mereka bergantian mencium keningku penuh haru, karena aku sedang mengandung generasi penerus keluarga mereka.

"Selamat dan terima kasih, Sayang. Ini adalah kabar yang sangat menggembirakan. Kami semua sudah menunggu kabar bahagia ini. Jaga dia baik-baik, oke? Bilang pada kami, kalau Anwar membuatmu tidak nyaman," kelakar mama mertuaku, kelihatan kalau dia memang sangat bahagia. 

Aku mengangguk, melirik sekilas pada Mas Anwar dia sedang menatap diri ini dengan tajam. Rahangnya mengeras seperti sedang menahan amarah. Lekas aku mengalihkan pandangan.

Karena kabar gembira ini dan melihat kondisiku yang lemah, maka mama mertua berinisiatif untuk menelpon Ibu dan Bapak agar mereka segera datang ke sini.

 

*****

Semua orang bersuka cita menyambut kehamilan ini, termasuk Mas Anwar. Entahlah, semakin ke sini, aku semakin tidak mengenalnya. Kadang dia begitu lembut. Namun, tak jarang akan berprilaku sangat kasar.

Dokter Guntur adalah dokter keluarga Papa Haris, dia yang telah memeriksa diri ini. Pria muda itu mengatakan kalau kondisiku tidak cukup baik.

"Kamu terlalu lemah di kehamilan yang pertama ini, Nyonya Anwar. Sehingga harus beristirahat total, jika kamu ingin junior tumbuh dengan sehat dan baik di dalam sana," katanya dengan senyuman yang menawan ketika dia selesai memeriksaku.

"Dan untuk kamu, Tuan Anwar. Tahanlah sebentar, selama istrimu belum benar-benar sehat, oke?" candanya pada suamiku.

Kurasa dokter Guntur mengerti sesuatu. Mungkin kah dia mengetahui tabiat Mas Anwar? Kulihat mereka berbincang-bincang, kadang seperti sedang serius membicarakan sesuatu lalu kemudian berkelakar.

Dokter Guntur tak hanya menjadi dokter keluarga, dia juga temannya Mas Anwar. Dokter Guntur adalah putra dari dokter keluarga Papa Haris. Setelah Ayahnya pensiun dialah yang menjadi dokter keluarga di sini.

****

Ibu hanya bisa menemani sehari saja di rumahku. Namun, walau hanya sebentar ibu berada di sisiku, wanita paruh baya itu merawat diri ini dengan sangat telaten. 

Aku tahu dia ingin menanyakan banyak hal, terlihat dari sorot matanya yang selalu kelihatan mengkhawatirkan sesuatu, tapi dia memilih bungkam seolah ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara.

Mas Anwar mengantarkan ibu pulang. Selama beliau berada di sini, lelaki yang memiliki jambang tipis itu berubah menjadi suami dan menantu yang baik. Menyayangi dan memperhatikan segala sesuatu untuk istrinya. Siapa yang akan mengira kalau dia seperti binatang saat sedang menyalurkan keinginannya.

*****

Mas Anwar benar-benar memperhatikanku, perlakuannya sangat kontras dengan tabiatnya jika di atas ranjang. Dia benar-benar menjadi suami yang penyayang.

Malam telah larut dan aku sedang pulas dalam mimpi, sudah hampir dua pekan mas Anwar tak menyalurkan kebutuhannya, dia menjadi uring-uringan, aku bisa faham itu.

Kurasakan ada yang membelai, mengelus rambut dan mengusap pipi ini, sejenak aku menikmati sentuhan itu. Namun, seketika terjaga saat ingat apa yang akan terjadi setelahnya.

Saat membuka mata, wajah Mas Anwar berada sangat dekat dengan wajah ini, sehingga bisa merasakan hembusan nafasnya yang memburu.

"Mas, ada junior. Sepertinya dia belum siap dikunjungi Papanya," kataku mencoba membujuknya, dengan suara khas orang bangun tidur.

"Jangan bergerak dan jangan bersuara, Rin. Itu bisa membuatku semakin gila!" desisnya. Segera mengatupkan bibir ini, bahkan aku pun menahan nafas. Perlahan menjauhkan wajah darinya. 

"Maafkan aku, Mas. Ini demi juniormu," rayuku. Aku lekas menutup mulut lagi, karena sadar telah melakukan kesalahan, bukankah dia melarang untuk berbicara.

Mas Anwar membuang nafasnya dengan kasar. Mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Hah!" Suaranya terdengar putus asa, sepertinya dia benar-benar kalut. Mas Anwar bangkit berjalan keluar dari kamar dengan meninggalkan suara keras dari pintu yang di banting.

Aku bisa bernapas lega. 'Terima kasih sayang, kamu telah menyelamatkan bunda' aku bermonolog sambil mengelus perut yang masih rata.

*****

Sekarang aku bisa sedikit merasa lega karena punya alasan untuk menolak, walaupun sebenarnya masih ada keraguan. 

Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang bahagia karena semalam bisa lepas dari ganasnya perlakuan suami.

Gegas diri ini beranjak turun dari ranjang yang sangat nyaman. Mungkin, hidupku akan sangat indah jika Mas Anwar tidak mempunyai kelainan dalam berhubungan. Aku mulai bisa menguasai keadaan, junior adalah alasan yang kuat menahan hasratnya.

Selesai membersihkan badan, aku mematut diri di depan cermin, mengoleskan sedikit bedak dan lipstik berwarna Nude. 

Langkahku ringan ketika hendak keluar kamar. Namun, diriku sungguh terkejut dengan pemandangan yang ada. Tanpa sadar tangan ini membekap mulutku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Ending

    Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Selalu ada cobaan

    "Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Duka Adam dan Hawa 2(maafkan kami)

    Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Duka Adam dan Hawa

    "Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Akhirnya

    Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan

  • MENOLAK UNTUK RUJUK   Keluarga mantan kembali mengusik

    "Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status