Share

Barita yang ditunggu-tunggu

Menolak untuk rujuk 3

Samar-samar bisa kudengar suara orang berbicara. Sepertinya bukan satu atau dua orang, karena suara itu terdengar saling bersahutan.

Sementara ada yang sedang menggenggam erat tanganku, dengan sangat lembut dia mengelus punggung tangan ini, sesekali bisa kurasakan dia telah menciumnya. 

'Ini bukan tangan yang sering menyakitiku' batinku.

Perlahan aku bisa membuka mata, walaupun masih terlihat remang-remang. Berkali-kali mata ini mengerjab, mengumpulkan sisa-sisa ingatan.

'Di mana ini?' Itu yang saat ini memenuhi pikiran, secara reflek aku juga menggerakkan jari-jari tangan ini.

"Alhamdulillah ... Rina sudah sadar, Pak! Nak Anwar, istrimu sudah sadar, Nak!" teriak seseorang. 

Aku masih belum bisa mengenali siapa dia, tapi aku merasa sangat mengenal suara itu, suara yang tak seperti tak asing di telinga ini.

'Siapa?' Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri. Mata ini kembali terpejam untuk berpikir dengan keras mengingat siapa yang tadi memanggil suamiku. Setelah beberapa saat, akhirnya aku menemukannya.

Oh, Tuhan. Itu suara ibu, malaikatku. Ingin sekali aku bangkit lalu memeluknya, tapi badan ini terasa sangat lemah sehingga tak mampu untuk melakukannya.

"Ibu," ucapku lirih memanggilnya. 

"Iya, Sayang. Ini ibu, Nak," bisiknya. Suara itu terasa menyejukkan hati. Aku merasa sangat bahagia hingga tak terasa air mata ini kembali menetes.

"Ibu ...." Lagi aku memanggilnya, hanya ingin memastikan kalau ini benar-benar nyata, ada ibu di sisiku. Wanita yang telah mempertaruhkan jiwa raganya saat melahirkan diri ini ke dunia. 

Tak ada sahutan. Namun, kurasakan hangatnya sebuah pelukan. Sampai aku benar-benar tersadar, apa yang terjadi semalam sebelum semuanya menjadi gelap.

"Selamat ya, Sayang," ucap Mas Anwar, lelaki itu tersenyum manis padaku. Ibu bergeser memberi ruang pada menantu kesayangan Bapak ini.

"Kenapa kamu gak bilang kalau ada junior di sini," katanya sambil mengelus perutku kemudian mencium kening ini cukup lama. Tatapan mata itu begitu lembut, sama seperti di saat awal pernikahan kami. Siapa pun tak akan percaya dengan perangainya saat sedang berhasrat.

Semuanya memberikan ucapan selamat. Papa Haris dan Mama Ana terlihat sangat bahagia, mereka bergantian mencium keningku penuh haru, karena aku sedang mengandung generasi penerus keluarga mereka.

"Selamat dan terima kasih, Sayang. Ini adalah kabar yang sangat menggembirakan. Kami semua sudah menunggu kabar bahagia ini. Jaga dia baik-baik, oke? Bilang pada kami, kalau Anwar membuatmu tidak nyaman," kelakar mama mertuaku, kelihatan kalau dia memang sangat bahagia. 

Aku mengangguk, melirik sekilas pada Mas Anwar dia sedang menatap diri ini dengan tajam. Rahangnya mengeras seperti sedang menahan amarah. Lekas aku mengalihkan pandangan.

Karena kabar gembira ini dan melihat kondisiku yang lemah, maka mama mertua berinisiatif untuk menelpon Ibu dan Bapak agar mereka segera datang ke sini.

 

*****

Semua orang bersuka cita menyambut kehamilan ini, termasuk Mas Anwar. Entahlah, semakin ke sini, aku semakin tidak mengenalnya. Kadang dia begitu lembut. Namun, tak jarang akan berprilaku sangat kasar.

Dokter Guntur adalah dokter keluarga Papa Haris, dia yang telah memeriksa diri ini. Pria muda itu mengatakan kalau kondisiku tidak cukup baik.

"Kamu terlalu lemah di kehamilan yang pertama ini, Nyonya Anwar. Sehingga harus beristirahat total, jika kamu ingin junior tumbuh dengan sehat dan baik di dalam sana," katanya dengan senyuman yang menawan ketika dia selesai memeriksaku.

"Dan untuk kamu, Tuan Anwar. Tahanlah sebentar, selama istrimu belum benar-benar sehat, oke?" candanya pada suamiku.

Kurasa dokter Guntur mengerti sesuatu. Mungkin kah dia mengetahui tabiat Mas Anwar? Kulihat mereka berbincang-bincang, kadang seperti sedang serius membicarakan sesuatu lalu kemudian berkelakar.

Dokter Guntur tak hanya menjadi dokter keluarga, dia juga temannya Mas Anwar. Dokter Guntur adalah putra dari dokter keluarga Papa Haris. Setelah Ayahnya pensiun dialah yang menjadi dokter keluarga di sini.

****

Ibu hanya bisa menemani sehari saja di rumahku. Namun, walau hanya sebentar ibu berada di sisiku, wanita paruh baya itu merawat diri ini dengan sangat telaten. 

Aku tahu dia ingin menanyakan banyak hal, terlihat dari sorot matanya yang selalu kelihatan mengkhawatirkan sesuatu, tapi dia memilih bungkam seolah ada sesuatu yang menahannya untuk berbicara.

Mas Anwar mengantarkan ibu pulang. Selama beliau berada di sini, lelaki yang memiliki jambang tipis itu berubah menjadi suami dan menantu yang baik. Menyayangi dan memperhatikan segala sesuatu untuk istrinya. Siapa yang akan mengira kalau dia seperti binatang saat sedang menyalurkan keinginannya.

*****

Mas Anwar benar-benar memperhatikanku, perlakuannya sangat kontras dengan tabiatnya jika di atas ranjang. Dia benar-benar menjadi suami yang penyayang.

Malam telah larut dan aku sedang pulas dalam mimpi, sudah hampir dua pekan mas Anwar tak menyalurkan kebutuhannya, dia menjadi uring-uringan, aku bisa faham itu.

Kurasakan ada yang membelai, mengelus rambut dan mengusap pipi ini, sejenak aku menikmati sentuhan itu. Namun, seketika terjaga saat ingat apa yang akan terjadi setelahnya.

Saat membuka mata, wajah Mas Anwar berada sangat dekat dengan wajah ini, sehingga bisa merasakan hembusan nafasnya yang memburu.

"Mas, ada junior. Sepertinya dia belum siap dikunjungi Papanya," kataku mencoba membujuknya, dengan suara khas orang bangun tidur.

"Jangan bergerak dan jangan bersuara, Rin. Itu bisa membuatku semakin gila!" desisnya. Segera mengatupkan bibir ini, bahkan aku pun menahan nafas. Perlahan menjauhkan wajah darinya. 

"Maafkan aku, Mas. Ini demi juniormu," rayuku. Aku lekas menutup mulut lagi, karena sadar telah melakukan kesalahan, bukankah dia melarang untuk berbicara.

Mas Anwar membuang nafasnya dengan kasar. Mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Hah!" Suaranya terdengar putus asa, sepertinya dia benar-benar kalut. Mas Anwar bangkit berjalan keluar dari kamar dengan meninggalkan suara keras dari pintu yang di banting.

Aku bisa bernapas lega. 'Terima kasih sayang, kamu telah menyelamatkan bunda' aku bermonolog sambil mengelus perut yang masih rata.

*****

Sekarang aku bisa sedikit merasa lega karena punya alasan untuk menolak, walaupun sebenarnya masih ada keraguan. 

Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang bahagia karena semalam bisa lepas dari ganasnya perlakuan suami.

Gegas diri ini beranjak turun dari ranjang yang sangat nyaman. Mungkin, hidupku akan sangat indah jika Mas Anwar tidak mempunyai kelainan dalam berhubungan. Aku mulai bisa menguasai keadaan, junior adalah alasan yang kuat menahan hasratnya.

Selesai membersihkan badan, aku mematut diri di depan cermin, mengoleskan sedikit bedak dan lipstik berwarna Nude. 

Langkahku ringan ketika hendak keluar kamar. Namun, diriku sungguh terkejut dengan pemandangan yang ada. Tanpa sadar tangan ini membekap mulutku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status