Bertepatan dengan aku yang selesai berbicara dengan Marco, Papa masuk. Tangannya menjinjing satu kantong plastik putih."Apa itu, Pah?""Roti. Nanti kan Papa pulang dulu, besok pagi baru ke sini lagi. Makanya, Papa belikan roti takutnya kamu lapar kalau malam," ujarnya sembari meletakkan kantong plastik tersebut di nakas. "Dokter Fandi bicara apa saja? Cukup lama juga, ya. Papa sampai pegal tunggu di luar tadi.""Iya. Dokter Fandi banyak bercerita tentang Karin.""Karin? Kenapa Dokter Fandi bisa tahu tentang Karin?" Papa terlihat heran."Dokter Fandi itu pria yang selama ini kusangka suami barunya, tapi ternyata bukan.""Maksudmu? Dia suami barunya Karin?" tanya Papa memastikan."Aku memang
Aku berdiri dengan gelisah di depan ruang perawatan. Ragu untuk masuk. Akan tetapi, memikirkan apa ucapan Mama dan Papa, membuatku akhirnya memberanikan diri menemui pria yang mengaku-ngaku sebagai suaminya Nayla. Pria tersebut dan papanya serempak menoleh saat mendengar suaraku. Dengan senyuman ramah, aku berjalan menghampiri keduanya. Mengatakan kalau biaya rumah sakit akan ditanggung olehku dan itu membuat mereka terkejut. Awalnya, pria bernama Malik ini bersikeras ingin mengganti, tapi kularang. Aku ikhlas membantunya. Toh, dia kecelakaan setelah berdebat dengan Nayla alias Karin. Bagaimanapun juga, aku akan ikut bertanggung jawab. Semula kami hanya bicara basa-basi, lalu perlahan mulai berbicara mengenai Karin. Matanya berkaca-kaca saat kuberitahu Karin khawatir dan sempat panik. Dari raut wajah Malik, terlihat jelas dia sungguh mencintai is
Aku menepikan mobil, memandang kosong ke depan, lalu menunduk dan menumpukan kening di setir mobil. Teringat perlakuan dinginku pada Karin membuat hati sakit. Akan tetapi, ini kulakukan agar kami tak saling bergantung satu sama lain lagi. Sebentar lagi, sandiwara ini akan segera berakhir.Aku menengadahkan wajah sembari menghela napas panjang, lalu menghapus jejak air mata. Setelah merasa cukup tenang, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang.Entah mau ke mana tujuanku malam ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Melihat wajah Karin dan Kamal, hati ini perih tak terkira. Apalagi mengingat keduanya akan kembali pada Malik.Setelah berputar-putar tidak jelas, mobil melaju dan berhenti di sebuah pantai. Entah berapa lama aku hanya duduk termenung sendiri menatap gelapnya lautan lepas. Sesekali meremas rambut saat rasa frustasi kembali hadir.
Hari ketiga, aku diperbolehkan pulang. Papa berniat menjemput, tapi kularang. Biarkan saja Papa menjaga Mama. Lagipula, Marco berbaik hati akan datang ke sini sembari mengantarkan pesananku."Hey, Bro! Lama nunggu, ya?" sapa Marco saat masuk ke ruangan ini."Tidak juga.""Bagaimana kakimu?" tanyanya sembari berjalan mendekat."Tidak bisa dipakai jalan untuk beberapa minggu ke depan. Tapi aku harus tetap menggerakkan jari kaki dan lutut sedikit-sedikit supaya tidak kaku," jelasku sembari mengamati kaki yang digips."Lalu, aktivitas sehari-harimu bagaimana?""Aku bisa pakai tongkat penyangga. Kemarin sore Papa datang bawain itu." Aku menunjuk kruk yang disandarkan di dekat nakas. "Kamu bawa yang kubutuhkan, 'kan?"&n
"Karin!" panggilku dan Dokter Fandi bersamaan.Kami spontan saling berpandangan. Tanpa menunggu lama, Dokter Fandi langsung berjalan cepat menyusul Karin yang pergi dengan setengah berlari.Aku tertegun memandang kepergian mereka. Sesekali menyeka air mata yang masih menetes di pipi. Ada rasa perih tak terkira saat melihat tak ada lagi tatapan penuh cinta untukku darinya. Karin telah berubah. Apa ini karena kami sudah terlalu lama berpisah?"Sabar. Biarkan dia tenang dulu, Mal. Karin pasti sangat terkejut dengan semua ini," ucap Marco sembari menepuk pundak pelan."Aku tahu, Mar. Hal yang membuatku sakit bukan karena dia tidak percaya, tapi melihat matanya yang menatapku dingin. Tidak ada lagi tatapan lembut dan penuh cinta yang dulu selalu dia perlihatkan padaku," lirihku dengan hati berdenyut sakit."Wajar. Kalian berpisah cukup l
"Karin ...."Dia hanya diam menatapku."Boleh kami masuk?" tanya Dokter Fandi yang berdiri di belakangnya."Tentu, Dokter. Tentu. Silakan masuk," jawab Papa karena aku diam, memandang bingung Karin yang terlihat tak bahagia."Ayo!" ajak Dokter Fandi.Tanpa menoleh pada Dokter Fandi, Karin melangkah perlahan. Pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang telah dihias pita dan foto-foto kebersamaan kami yang digantung. Karin berhenti melangkah. Satu tangan terulur ke atas meraih foto pernikahan kami yang berukuran kecil, lalu mencabutnya. Mengamati sebentar masih dengan ekspresi datarnya."Mari, Nak," ajak Papa dan berhasil membuat Karin kembali melangkah dengan foto itu di tangannya.Karin duduk di sofa panjang, sedangkan Dokter Fandi duduk di sofa single dengan Kamal berada di pa
Karin terus melangkah tanpa peduli denganku di sini. Meski sedikit kecewa, akhirnya aku kembali ke dalam. Kami masih ingin berbincang dan bermain dengan Kamal, tapi Karin bilang lelah.Papa mengantarnya ke kamar, sedangkan aku hanya bisa memandangnya dari bawah sini. Ingin sekali ikut naik ke sana, bercerita banyak tentang kenangan manis kami di kamar itu, tapi kondisi kaki tidak mendukung.Namun, tidak mengapa. Karin pasti bisa melihat sendiri banyaknya foto yang tertempel di dinding. Foto di mana aku selalu berbicara sendiri seperti orang tidak waras, seolah tengah mengajak Karin berbicara."Mal."Aku menoleh. Anthony menghampiriku dengan kedua tangannya yang masuk ke saku celana."Ada apa?""Kita harus bicara.""Ya sudah, bicara saja.""Kita bicara d
Aku tersentak dari lamunan karena Papa menepuk pundak, lalu berdehem pelan sembari kembali menatapnya gugup."Apa kamu sudah lama di sini?" ulangku.Karin masih diam yang membuat telapak tanganku terasa lembab. Akan tetapi, tak berselang lama dia menggeleng."Baru saja, kok. Aku hanya mau mengajak Mas sarapan," jawab Karin pada akhirnya.Syukurlah. Aku pikir dia mendengar semua percakapan kami tadi."Iya. Ini juga baru mau ke sana. Ayo!" ajakku yang dijawabnya dengan anggukan, lalu pergi lebih dulu sambil menggendong Kamal."Apa papa bilang. Kita tidak akan bisa tenang dengan terus membohonginya seperti ini, Malik. Coba pikirkan kembali sebelum terlambat," ucap Papa pelan."Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi, Pah. Aku sudah yakin dengan semua ini," sahutku, lalu mulai melangkah m