Share

Part 6

last update Huling Na-update: 2021-08-13 15:00:00

Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah.

 

"Hati-hati," ucapku saat membantunya turun.

 

"Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.

 

Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"

 

Karin tersenyum dan mengangguk.

 

Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.

 

Ke mana semua orang?

 

Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun aku bersikeras ingin salat di rumah saja. Takut tiba-tiba Karin pingsan. Namun, karena terus dipaksa, akhirnya dengan sedikit terpaksa aku pun menurut.

 

Tak berselang lama, aku sudah kembali pulang. Melangkah cepat memasuki halaman sembari menyugar rambut. Namun, baru saja membuka pintu dan mengucap salam, aku terkesiap saat mendengar suara lantang Mama di kamar atas.

 

Apa lagi kalau bukan sedang memarahi Karin?

 

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menaiki tangga. Melesat masuk ke dalam kamar Karin yang pintunya terbuka lebar. Aku terkejut saat melihat Mama hampir melayangkan tamparan padanya. Beruntung, ayunan tangan Mama terhenti di udara saat mendengar aku berteriak.

 

"Apa yang Mama lakukan? Kenapa Mama mau memukul Karin?" Aku berjalan cepat dengan kening berkerut dalam dan sorot mata tajam.

 

"Kenapa kamu melotot begitu pada Mama? Kamu mau jadi anak durhaka, huh? Mau mama sumpahin kamu?" Mama balik membentak dengan mata melotot tajam.

 

Aku mengusap wajah kasar sembari menggumamkan kata istighfar dalam hati berkali-kali.

 

"Bukan begitu, Ma. Aku tadi bertanya baik-baik. Kenapa Mama mau memukul Karin? Apa salahnya?"

 

"Karena dia sudah kurang ajar pada Mama!"

 

"Kurang ajar bagaimana, sih? Selama ini Karin selalu sopan dan diam saja biarpun Mama memakinya," belaku.

 

"Halah! Terus saja kamu belain dia. Apa, sih, bagusnya anak buangan ini?"

 

"Ma ... please," ucapku dengan penuh penekanan. "Karin lagi sakit. Dokter bilang dia tidak boleh lelah dan stres. Tolong, jangan menambah beban pikirannya lagi!" bujukku dengan wajah memelas.

 

"Maksud kamu ... mama itu jadi beban untuk kalian, begitu? Kamu lupa siapa yang membuatmu sampai sesukses ini, huh?! Mama, Malik! Mama! Bukan anak miskin ini!" hardiknya sembari menunjuk tepat di wajah Karin.

 

"Kamu pikir mama percaya dia sakit? Tidak! Mama tahu di hanya pura-pura! Dia iri melihatmu mesra dengan Ayu!" tudingnya dengan menatap sengit Karin yang terlihat tenang. "Iya, 'kan? Mengaku saja kamu, Karin!"

 

"Cukup, Ma! Please ... jangan sampai membuatku jadi anak durhaka karena berani membentak Mama. Tolong ... jangan buat keributan lagi! Karin harus istirahat," mohonku dengan sungguh-sungguh.

 

"Makanya, nasihati itu istri kamu sampai masuk di otaknya! Beritahu dia supaya jangan kurang ajar pada Mama!"

 

"Kurang ajar bagaimana, sih, Ma?" desahku sedikit frustasi.

 

"Mama hanya menasihati, tapi dia malah balik menyindir Mama! Dasar tidak sopan!"

 

Aku menoleh pada Karin. Dia menunduk, menghindari tatapanku.

 

"Menyindir bagaimana?"

 

"Kamu tanya saja pada anak yatim piatu tidak tahu diuntung itu!" Mama mendorong kasar kepala Karin tanpa sempat kucegah. Setelahnya, Mama berlalu pergi masih dengan omelannya.

 

Aku menghela napas berat, menoleh pada Karin, lalu mengambil posisi duduk di sampingnya.

 

"Apa yang dikatakan Mama tadi itu benar, Karin? Benar kamu sudah kurang ajar pada Mama?"

 

Karin mengangkat wajahnya. Menatapku datar. "Siapa yang akan lebih Mas percaya? Aku atau Mama?"

 

"Sudahlah. Jangan menambah pusing kepalaku, Karin! Jawab saja, benar atau tidak?" kataku sedikit terpancing emosi.

 

Karin menggeleng.

 

"Lalu, kenapa Mama sampai marah seperti itu? Tidak mungkin Mama sampai mau memukulmu kalau tidak ada masalah besar."

 

Karin menghela napas, memandang datar dinding bercat putih di hadapannya.

 

"Mama memintaku pergi ke depan beli martabak, Mas. Aku terpaksa menolak karena pusing. Aku sudah memintanya untuk menunggu Mas saja, tapi Mama marah. Mengatakan kalau aku ini hanya berpura-pura sakit demi mendapat perhatian. Mama juga terus mengataiku wanita mandul, Mas," jelasnya dengan suara sedikit bergetar.

 

Aku melirik ke pangkuannya, kedua tangannya terlihat saling meremas jemari.

 

"Terus?" desakku.

 

"Aku membantah tudingan Mama, tapi Mama malah bilang kalau aku istri durhaka karena tidak ikhlas dimadu." Karin menunduk dalam.

 

"Lalu, kenapa Mama sampai mau memukulmu? Pasti bukan karena masalah itu, 'kan?" tanyaku lagi karena masih belum puas dengan penjelasannya.

 

"Aku hanya berkata ... 'apa Mama juga akan ikhlas kalau ada di posisiku'?" lirihnya.

 

Aku menarik napas dalam-dalam. Mengacak-acak rambut dengan gemas, lalu kembali menatapnya dengan sedikit kecewa.

 

"Lihat aku, Karin!" pintaku tegas yang langsung diturutinya.

 

Dia menatapku tenang. Seperti tidak ada beban. Meskipun, sudah dicaci maki Mama dan hampir ditamparnya.

 

"Jangan pernah melawan Mama! Kamu tahu sendiri, 'kan, sikap Mama seperti apa? Mama tidak pernah mau dibantah," tegurku sembari memegang kedua bahunya erat. Menegaskan aku tengah serius dengan perkataanku.

 

"Kamu sendiri, 'kan, yang bilang padaku kalau api tidak boleh dibalas api lagi? Kamu juga yang bilang kalau kemarahan dan kebencian Mama harus dibalas dengan kelembutan dan kesabaran. Apa kamu lupa semua itu, hm?" tegasku dengan bola mata yang bergerak-gerak memindai wajahnya yang masih sedikit pucat.

 

"Orangtuaku orangtuamu juga, Karin. Itu artinya, kamu harus tetap menghormati Mama bagaimanapun sikapnya. Paham?" tegasku dengan sorot mata tajam.

 

"Maaf, Mas," lirihnya, lalu menunduk, tapi dengan cepat aku meraih dagunya lagi.

 

"Jangan pernah diulangi lagi! Biarkan saja Mama berceloteh sesukanya. Jangan pernah dimasukkan ke dalam hati! Kamu mengerti, 'kan?"

 

Karin mengangguk pelan.

 

Aku menghela napas lega seraya melepaskan tanganku dari bahu dan dagunya.

 

"Aku mau beli makanan dulu. Sekalian beli martabak yang Mama minta sama kamu tadi. Kamu tidak boleh minum obat dan vitaminnya dulu sebelum makan, ya."

 

Karin mengangguk.

 

"Mau makan apa?" tanyaku sembari mengusap kepalanya.

 

"Terserah Mas saja," jawabnya pelan, lalu naik ke kasur, membaringkan tubuhnya membelakangiku.

 

Aku masih duduk terdiam di tepi ranjang. Memandangi Karin yang diam dengan mata terpejam.

 

Apa dia tersinggung dengan teguranku tadi?

 

Ah, sudahlah. Aku tahu, Karin pasti paham maksud baik dari teguran tadi. Aku hanya tidak mau terus-menerus ada keributan di rumah ini. Salah satu dari mereka harus ada yang mengalah dan itu sudah jelas Karin. Mana mungkin Mama mau melakukannya.

 

Aku segera pergi keluar kamar setelah menyelimutinya sebatas pinggang dan mengecup kepalanya. Mama dan Papa tengah asyik makan malam berdua yang katanya dipesan secara online. Papa memintaku duduk dan makan bersama, tapi saat aku hendak mengambilkan makan untuk Karin terlebih dulu, Mama marah dan melarangnya.

 

Daripada harus ribut lagi, aku memilih kembali berdiri. Memutuskan untuk membeli makanan baru untukku dan Karin saja. Namun, ada yang kurang di rumah ini. Ayu.

 

Sejak pulang dari rumah sakit, aku tak melihatnya ada di rumah ini. Saat bertanya pada Mama, beliau hanya mengedikkan bahu. Berkata jika mungkin saja Ayu pergi karena kesal diabaikan olehku tadi.

 

Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak diangkat. Beberapa pesan WA juga sudah dikirimkan. Namun, dia tidak membacanya sama sekali.

 

Ke mana dia? Apa mungkin Ayu marah dan pulang ke rumah orangtuanya?

 

"Sudah sana! Kamu cari dulu Ayu. Kasihan dia," ujar Mama, lalu menyuapkan kembali makanan ke mulutnya.

 

"Iya. Nanti aku cari dia setelah membeli makanan untuk Karin dulu," sahutku kemudian berlalu pergi.

 

"Karin, Karin saja terus! Ayu itu lebih penting daripada wanita mandul itu, Malik! Cari Ayu dulu, baru kamu beli makanan untuk wanita pembawa sial itu!" teriaknya marah, tapi aku tak acuh. Menulikan telinga dan terus berjalan cepat menuju pintu.

 

"Malik! Kamu dengar Mama tidak?!" Itu teriakan terakhir Mama sebelum akhirnya, aku berhasil keluar rumah dan menutup pintunya dengan sedikit kasar.

 

🌸🌸🌸

 

Saat aku pulang, Ayu masih juga belum kembali ke rumah. Semua telepon dan pesan pun diabaikan olehnya. Dengan langkah lebar, aku berjalan cepat ke kamar untuk memberikan makanan ini pada Karin.

 

Karin yang tengah berbaring pun langsung bangun saat melihat kedatanganku. Duduk bersandar kepala ranjang dengan seulas senyum tipis. Aku balas tersenyum, lalu duduk di hadapannya. Membuka sekotak nasi ayam kremes kesukaannya.

 

"Makan, ya. Habiskan! Aku harus pergi dulu."

 

"Mas mau ke mana?" tanyanya saat melihatku kembali beranjak bangun.

 

"Aku harus mencari Ayu dulu. Dia pergi entah ke mana. Sepertinya, dia marah karena sore tadi sempat kuabaikan," jelasku sembari mengambil kunci motor dari atas nakas. Akan lebih mudah bagiku mencari Ayu menggunakan motor daripada mobil. Tidak akan terjebak macet.

 

"Kamu tidak apa-apa, 'kan, aku tinggal dulu? Aku takut ada apa-apa dengan Ayu."

 

Karin diam.

 

Tanpa menunggu tanggapannya, aku langsung bergegas pergi. Namun, belum jauh melangkah, Karin memanggilku lirih. Membuatku mau tak mau kembali memutar balik badan, menatapnya dengan helaan napas panjang.

 

"Ada apa? Kamu keberatan aku pergi mencari Ayu?" tanyaku dengan satu alis terangkat naik.

 

Karin diam dengan tatapannya yang tenang.

 

"Ya sudah kalau tidak ada yang penting. Aku pergi sekarang. Habiskan makanannya, lalu minum obat dan tidur," ujarku, kemudian kembali berbalik dan siap pergi.

 

"Mas," panggilnya lagi yang menahan langkahku kembali.

 

"Apa lagi, sih, Karin?" tanyaku sedikit kesal. Aku terpaksa membalik badan, menatapnya dengan kening berkerut dalam.

 

Karin tersenyum tipis. "Mari kita bercerai, Mas."

 

 

★★★

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (11)
goodnovel comment avatar
Eli Mirza
ceritanya kaya taek hhh aslii smua ga jelass..klrga goblog diceritain
goodnovel comment avatar
Retno w
heran . kok diam saja keluar dr rmh itu....bertahan krn miskin
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gitu dong Karin jgn mau mengalah dan di hina terus cerai aja oke
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 78

    Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 77

    POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 76

    POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 75

    "Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 74

    POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 73

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status