Share

MENYUSUI TUYUL
MENYUSUI TUYUL
Author: La Bianconera

Part 1

last update Last Updated: 2022-10-14 16:14:18

"Iya, Kang, aku juga heran, kampung kita yang dulu adem ayem, kok sekarang sering ada yang ngeluh kehilangan uang."

"Apa mungkin, dugaan beberapa orang itu benar kalau Pak Bintang ngingu, (melihara) ya? Rasanya kok aneh. Padahal, setiap Jum'at dia rajin ke masjid kalau pas nggak dinas."

"Lha, Kang, ora kabeh ( tidak semua) orang yang melihara begituan nggak shalat, lah." 

Kedua laki-laki yang tengah menyeruput kopi hitam dari cangkir keramik kecil itu mengangguk menanggapi pendapat temannya.

Begitulah, warung kopi di pojok gang Desa Karanglor itu selalu ramai pengunjung setiap malamnya. Beberapa laki-laki, seperti sudah menjadikan tradisi, selalu berkumpul di situ. Hanya sekadar minum secangkir kopi, menikmati sebatang rokok, dan sepiring gorengan sudah menjadi modal untuk membicarakan banyak hal hingga berjam-jam.

"Iya, kemarin Mbok Wedok (istriku) yo sambat (mengeluh) duitnya hilang lima puluh ribu. Katanya, mau buat arisan, malah amblas uangnya," celetuk seorang laki-laki bertubuh agak tambun sambil mengunyah tempe goreng.

"Barangkali, buat jajan anakmu, Kang? Kasihan tuyulnya kalau nggak ambil dituduh terus, fitnah itu!" sahut seorang pemuda dengan potongan rambut nyentrik berwarna biru, yang sedari tadi duduk di atas motor bersama beberapa teman sebayanya.

Laki-laki bertubuh tambun itu pun melemparkan sisa potongan tempe goreng ke arah pemuda yang hanya cengengesan.

"Hei, Farrel! Anakku nggak mungkin jajan, sehari habis lima puluh ribu," balasnya tak mau kalah.

Pemuda ganteng dengan tindikan di telinga kirinya itu hanya menggaruk pelipis.

"Ya, mana buktinya coba, duitnya Kang Sukir diambil tuyul? Nggak usah percaya begituan, Kang. Percaya tuh sama Allah dan Rasul-Nya." 

Tak!

Sebuah jitakan mendarat di dahi pemuda yang sebenarnya berwajah tampan, yang sayangnya tengah tersesat itu.

Dia hanya meringis sambil melotot ke arah sahabatnya. "Celeng, sakit woi!" protesnya.

Temannya mencibir. "Lagian, sok agamis. Shalat saja cuma tiap Jum'at. Itu pun, karena malu kamu anaknya Pak Ustadz."

"Sialan, nggak usah bawa-bawa bapak aku, lah. Bapak ya Bapak, aku ya aku."

"Farrel, Farrel. Temanmu sudah pada gendong anak, lah kamu, masih saja menghabiskan malam keluyuran kayak gini tho, Le." 

Farrel menoleh pada perempuan paruh baya berdaster batik, si pemilik warung yang membawa dua cangkir kopi di kedua tangannya. "Iya, Budhe, nanti bikin anak dulu," sahut pemuda 24 tahun itu dengan asal yang membuat si pemilik warung malah memelototinya. 

Suasana warung hening sejenak, ketika mendengar deru motor yang semakin mendekat. Beberapa lelaki berumur yang masih asyik membicarakan tuyul dan pesugihan atau sejenisnya, mendadak bungkam. Mereka saling melirik ke arah motor yang semakin mendekati teras warung.

Sedangkan, Farrel dan teman-temannya yang seperti umumnya anak muda, tak terpengaruh dengan isu mistis. Mereka memilih melanjutkan pembicaraan mengenai klub sepakbola favorit masing-masing yang tengah minim prestasi.

"Anjir, memang pelatihnya sampah, makanya jeblok."

"Begitulah, klub kalau berisi mafia," ejek salah satu dari mereka.

"Sok tahu!" seru Farrel tak terima.

"Ngomongin apa to Mas Din, Mas Farrel, serius banget?" tanya laki-laki yang turun dari motor maticnya sambil melepaskan helm. 

"He he he biasa Pak Bin, si Farrel lagi PMS," jawab Dino yang dibalas tinjuan gemas dari Farrel.

"Sialan, mulutmu!"

Laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu pun, melangkah menuju ke pintu warung setelah menepuk pelan pundak Farrel yang mengangguk sopan padanya.

Tatapan beberapa orang yang tadi membicarakan pesugihan dan sejenisnya, langsung tertuju pada laki-laki berwajah rupawan bernama Bintang yang berdiri di pintu warung.

"Assalamu'alaikum, Budhe. Masih ada gorengannya?" tanyanya santun.

"Waalaikumsalam, masih Mas. Mau apa ya, Mas?"

"Bakwan sama pisang goreng saja, Budhe."

"Ngopi, Pak Bin." 

"Monggo, Pak."

Setelah membayar gorengan yang dibelinya, laki-laki itu pun pergi diiringi tatapan curiga beberapa pengunjung warung. Bahkan, ada yang mencebikkan bibir dan mengayunkan telapak tangan pada pemilik warung, yang hendak meletakkan uang dari Bintang ke dalam kaleng.

"Mbak, diludahi dulu uangnya biar nggak diambil lagi sama tuyulnya," bisiknya sambil melirik ke arah motor Bintang yang menjauh.

"Budhe aku bayar, tuh sama kopinya monyet-monyet tiga. Iih, tapi kembaliannya jangan uang itu kena air liur!" seru Farrel tanpa basa-basi.

Pemilik warung yang kepergok meludahi uang dari Bintang hanya bisa salah tingkah menghadapi ucapan Farrel. Sedangkan laki-laki bertubuh kurus yang memberikan saran pada pemilik warung menatap tak suka pada sikap Farrel.

Tetapi, bukan Farrel si ketua geng desa namanya kalau tidak bersikap acuh.

**

Bintang memelankan laju motornya, ketika memasuki gang menuju ke rumahnya. Mata lelaki itu menyipit, saat melihat seorang perempuan paruh baya bertubuh agak tambun mondar-mandir di halaman rumah.

Bintang membunyikan klakson lirih sambil mengangguk sopan, yang dibalas dengan anggukan kepala dari perempuan tersebut.

"Baru pulang, Mas Bin?"

"Nggih Bu, olahraga to Bu?"

"Iya Mas, di dalam gerah."

"Oh iya, monggo, Bu.

"Mari, Mas Bin."

Bintang hanya menggeleng samar. Udara di desa ini memang terkadang cukup panas jika di saat musim kemarau atau mendekati musim penghujan. Tetapi, untuk malam ini, udara di Desa Karanglor tidaklah dikategorikan panas. Justru cenderung dingin karena seharian tadi diguyur hujan deras.

"Assalamu'alaikum," ucap Bintang sambil membuka pintu depan rumahnya setelah mencabut kembali kunci cadangan yang selalu dia bawa.

"Waalaikumsalam, Mas."

"Belum tidur, Dik?" tanyanya sambil menatap wajah ayu di depannya. 

Wanita itu menggeleng pelan kemudian meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan laki-laki bertubuh tegap itu. Bintang membalasnya dengan mencium kening sang istri.

Setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, Bintang mendekat ke arah Alisha, istrinya. Tatapan mata lelaki itu tertuju ke layar laptop yang masih menyala di atas meja ruang keluarga.

"Sudah malam jangan begadang, dilanjutkan besok saja."

"Besok katanya mau ajak aku jalan-jalan, Mas," sahutnya sambil menyiapkan makan malam sang suami.

Bintang hanya tersenyum dan mengangguk. Rasanya, memenuhi keinginan istrinya untuk jalan-jalan, merupakan hal yang sangat menyenangkan. Walaupun hanya ke danau atau makan nasi pecel di pinggir danau. Mengingat kesibukannya, menjadi abdi negara yang tidak mempunyai waktu libur tetap.

Alisha mengambil sepotong pisang goreng kesukaannya dan mengunyah sambil kembali menatap layar laptop. Sedangkan Bintang duduk di sampingnya tengah menikmati makan malam sederhana buatan sang istri.

"Tadi sewaktu arisan di rumah Bu RT, ramai bicara duit ilang, duit ilang begitu, Mas."

Bintang menghentikan kunyahannya. Perhatian laki-laki itu dari layar televisi kini berganti pada Alisha yang masih fokus ke layar laptop.

"Duit ilang?" tanyanya dengan kening berkerut.

Alisha mengangguk lemah. "Hmm, katanya di desa ini ada yang melihara pesugihan, Mas. Dan sepertinya, mereka ada yang curiga sama kita," jawab Alisha dengan raut wajah sedih.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
La Bianconera
Ojo ditiruin bahasaku...
goodnovel comment avatar
La Bianconera
Terima kasih, Kak.
goodnovel comment avatar
Dewi Anggorowati
monyet2 tiga ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MENYUSUI TUYUL    Part 75 End

    Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan

  • MENYUSUI TUYUL    Part 74

    "Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men

  • MENYUSUI TUYUL    Part 73

    Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta

  • MENYUSUI TUYUL    Part 72

    Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia

  • MENYUSUI TUYUL    Part 71

    Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t

  • MENYUSUI TUYUL    Part 70

    "Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam

  • MENYUSUI TUYUL    Part 69

    Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak

  • MENYUSUI TUYUL    Part 68

    Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da

  • MENYUSUI TUYUL    Part 67

    Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status