"Dulu, desa ini aman Yuu, aman. Nggak ada kejadian aneh-aneh seperti ini. Tapi, kenapa sejak kedatangan kedua orang itu jadi banyak kejadian aneh ... ? Hu... huuu, benar-benar bawa sial. Bukan hanya sering ada duit yang hilang, tapi nyawa suamiku juga ikut hilang. Tadi pagi masih segar bugar, Buu ..."
Racau seorang perempuan berusia 30 tahunan meratapi kepergian sang suami yang tiba-tiba. Kedua matanya bengkak memerah. Di sebelahnya, seorang anak perempuan remaja juga menangis sesenggukan."Sepertinya benar mereka punya pesugihan. Kemarin malam, warung Yu Siti habis didatangi orang itu, paginya kehilangan uang. Terus tadi pagi bertemu orang itu juga, eeh ... Kang Duki jatuh dari pohon cengkeh. Katanya, waktu mereka bertemu, orang itu sempat bilang suruh hati-hati karena pohon licin. Seolah sudah tahu bakalan terjadi," timpal ibu lain sambil melirik-lirik ke arah Alisha yang datang bersama Bu Halimah.Ucapan mereka yang tidak menyebut nama dan menggantinya dengan kata 'orang itu', tetapi lirikan sinisnya tertuju pada Alisha, jelas membuat Alisha harus menahan kesabaran yang berlipat. Dia menoleh, saat Bu Halimah yang mengusap-usap lengannya mengisyaratkan untuk selalu bersabar.Perhatian para tetangga yang berkumpul di rumah almarhum Pak Duki, tertuju ke sebuah mobil ambulance yang berhenti di halaman rumah bergaya joglo itu.Beberapa petugas dari rumah sakit turun dari ambulance dan membawa jenazah Pak Duki untuk dibacakan Yaasin sebelum dishalatkan."Mama, Mama! Kenapa tubuh Pakdhe Duki hijau seperti pohon pisang, Mama?" tanya seorang bocah berusia sekitar 4 tahun dengan polos. Ucapan bocah laki-laki yang sedang memakan camilan itu, sontak membuat semua mata orang dewasa memandangnya. Ada beberapa diantaranya mengusap tengkuk dan lengannya yang meremang.Pak Haji Imran selagi yang punya pohon cengkeh juga berada di antara mereka. Dia juga bertugas sebagai imam shalat. Kejadian yang menimpa Pak Duki memang murni kecelakaan, setelah dilakukan olah TKP dan mengumpulkan keterangan, dari beberapa teman Pak Duki yang bekerja bersama laki-laki nahas tersebut. Pak Haji Imran juga bertanggung jawab penuh atas musibah tersebut."Mama ayo pulang, aku takut. Itu kasihan Pakdhe Duki menangis di sana Ma, dia diikat sama anak kecil-kecil," racau bocah lugu tersebut sambil menunjuk ke sebuah arah. Bu Halimah segera mendekati dan mengusap kepala bocah laki-laki yang mulai menangis ketakutan. "Fit, ajak pulang Rafli. Rafli pulang dulu ya, Nak. Main saja di rumah Budhe Imah, ada Dedek Sofi di sana." Bocah itu mengangguk. "Ayo Mama ke rumah Dedek Sofi," rengeknya.Fitri, ibu si bocah bernama Rafli itu mengangguk lalu menggendong anaknya. Rafli masih terus menoleh menatap takut-takut pada jenazah Pak Duki yang terbujur kaku di ruang tamu. Sesekali bocah itu menggedikkan bahu mengekspresikan kengerian. Setelah membacakan Yaasin pada almarhum Pak Duki, kini jenazah dishalatkan dipimpin oleh Haji Imran.Entah mengapa sejak menjadi imam shalat dan sering mengurus jenazah, baru kali ini Pak Imran juga merasakan hal aneh.Sepanjang menjadi imam shalat bulu kuduknya meremang, yang membuatnya hampir kehilangan konsentrasi.Bahkan, hal itu terjadi ketika prosesi pemakaman. Tubuh Pak Duki yang tergolong kecil untuk ukuran laki-laki juga terasa begitu berat, saat dimasukkan ke liang lahat. Prosesi pemakaman pun selesai. Tak berapa lama, mereka meninggalkan area pemakaman."Turut berduka cita Bu, semoga Pak Duki dilapangkan kuburnya dan di ..." Ucapan Bintang yang baru datang dari kantor dan langsung ke pemakaman, terhenti saat terdengar ucapan sinis dari istri Pak Duki."Pak Bintang nggak perlu pura-pura berbelasungkawa, Pak," sahutnya ketus dan melengos begitu saja. Kemudian berlalu bersama ibu-ibu yang lain."Astaghfirullah," ucap Bintang lirih sambil menggelengkan kepala samar."Ya, dimaklumi Pak Bin, namanya orang berduka. Apalagi, tadi pagi suaminya masih sehat, pulang tinggal jadi mayat.""Dan anehnya, tadi si Duki sebelum jatuh sempat teriak, katanya ada anak kecil menarik-narik kakinya," celetuk laki-laki lain menimpali.Bintang menatap dua orang yang baru saja berbicara itu. Dia ingat, laki-laki itu yang tadi pagi berboncengan hendak memetik cengkeh. Tetapi, Bintang tidak tahu namanya, yang Bintang ingat hanya Pak Rahmat yang tadi pagi sempat berbincang-bincang sebentar sebelum keempat temannya datang. Ucapan laki-laki bertubuh kurus itu memancing perhatian para laki-laki yang hendak pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Pak Haji Imran dan yang lainnya."Sepertinya memang, kampung kita ini ada yang cari pesugihan."Bintang menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyahut. "Pak, saya tidak percaya dengan apa itu pesugihan! Saya hanya percaya jika rejeki yang Allah kasih pada setiap hamba-Nya itu, tidak akan salah alamat.""Lho, aku kan nggak bilang Mas Bin punya pesugihan, kenapa Mas Bintang sensi?" tanyanya dengan senyum mengejek."Saya tidak sensi Pak, tapi saya sudah muak dengan semua sindiran warga setiap kali bertemu istri saya. Kalau hal ini terus berlanjut, saya sebagai suami tidak tinggal diam Pak!" sahut Bintang lagi dengan tegas."Mas Bintang mau tuntut kami? Hoho, silakan Mas. Kami tahu Mas Bin punya kuasa untuk itu."Bintang memejamkan mata menahan amarah. Dia beristighfar berkali-kali dalam hati menghadapi kengeyelan orang-orang seperti di depannya. "Mau tuntut, tapi kalau nggak ada bukti Mas Bin yang pergi dari kampung sini, betul nggak?" tanya laki-laki kurus itu meminta persetujuan temannya.Pak Haji Imran yang sudah tidak tahan, akhirnya bersuara, "Sudah cukup Bapak-Bapak! Kenapa di saat berduka seperti ini malah sibuk mencari kambing hitam? Kematian itu pasti dan mutlak kuasa Allah!" "Tapi, Pak Haji, kematian Kang Duki nggak wajar.""Bagaimana Bapak bisa mengatakan itu kematian tidak wajar? Bukankah pihak rumah sakit yang melakukan autopsi dan pihak kami yang melakukan olah TKP murni itu kecelakaan?" sahut Bintang dengan tatapan mata tajam.Kedua orang di depannya saling pandang dan masih mencoba mencari pembenaran. "Ya, ya tadi kan ... kan, Kang Duki sempat teriak-teriak di pohon cengkeh, Mas. Lalu, tadi pagi bertemu Mas Bintang. Semalam warung Yu Siti juga kehilangan uang setelah Mas Bintang mampir!" asumsinya tanpa berpikir panjang."Ck, astaghfirullah," lirih Bintang dengan dada naik turun."Pak Narso sudah, berhenti suudzon. Mas Bin, sudah Mas. Nggak ada ujungnya kalau diladeni terus."Bintang menatap Pak Imran lalu mengangguk pelan. Dia segera bergegas meninggalkan kedua orang yang masih menatap sinis padanya."Aku jadi takut kerja ikut Pak Haji. Kalau bukan Mas Bintang, masa iya Pak Haji yang punya pesugihan?" gumamnya yang langsung mendapatkan sentakan umpatan dari arah belakang."Bangsat ya kalian! Bapak sudah memberikan kalian pekerjaan malah berpikir Bapak punya pesugihan?"Umpatan Farrel yang ternyata sudah ada dibelakang mereka membuat keduanya kaget."Farrel sudah, astaghfirullah!" sahut Pak Haji Imran sedikit berteriak pada anaknya.Pemuda dengan wajah memerah menahan amarah itu tersenyum sinis. "Jangan-jangan justru salah satu dari kalian yang punya pesugihan, atau malah kalian berdua?" tanya Farrel sinis dengan tatapan menyelidik.* * *Ucapan frontal dari Farrel membuat kedua orang di depannya tampak terkejut. Farrel kembali tersenyum miring sekilas, pemuda bertubuh jangkung itu kembali bersuara dengan nada penuh penekanan. "Jangan asal fitnah, kalau kalian sendiri nggak ingin difitnah. Pak Bintang datang ke desa ini bukan atas kemauan sendiri. Dan Bapak, walaupun kalian nggak bekerja dengannya lagi, masih banyak yang bekerja untuk Bapak."Keduanya masih terdiam dengan salah tingkah lalu meninggalkan Farrel. Farrel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi otak dangkal orang-orang tersebut.*Sejak kejadian pemakaman Pak Duki, yang diwarnai desas-desus jika kematian Pak Duki akibat menjadi tumbal pesugihan, maka Desa Karanglor seolah menjadi desa mati. Setiap ba'da isya para penduduk desa yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi, kini mereka memilih di dalam rumah masing-masing. Warung Bu Siti tak seramai dulu, kini hanya anak-anak muda yang masih setia nongkrong di sana. Seperti biasa, t
Farrel terus mengguncang tubuh Danang, tetapi pemuda sebayanya itu tidak juga membuka mata. Bu Halimah dan Pak Haji Imran yang terbangun hendak shalat tahajud saling pandang, saat mendengar suara anaknya dari arah depan."Nyet, bangun Nyet. Kamu kenapa kok pingsan begini Nyet, siapa yang sudah nyakitin kamu?" tanya Farrel panik."Rel, kamu kenapa to, Le, malam-malam bukannya tidur malah rame sendiri. Mana ada monyet?" tanya Bu Halimah sambil mengusap-usap matanya."Pak, Buk. Tolong, ini Danang tiba-tiba ambruk," jawabnya tanpa menoleh dan masih menepuk-nepuk pipi Danang. Pak Haji Imran dan Bu Halimah bergegas mendekat. Mereka mengamati tubuh pemuda yang terlihat memprihatinkan di depannya. Lalu, Pak Haji Imran dan Farrel segera menggotong tubuh Danang dan menidurkannya di sofa."Ambilkan air, Bu," titah Pak Haji Imran pada sang istri.Farrel segera mengganti baju Danang yang basah dengan baju miliknya. Setelah itu, Pak Imran meminta Farrel menunggu Danang, sementara dirinya shalat tah
"Farrel lagi, Farrel lagi! Bagaimana caranya menyingkirkan bocah ingusan itu? Apa Bintang tahu kalau kamu yang melakukan ini?" tanya laki-laki paruh baya itu dengan nada geram mendengar kegagalan yang dilakukan anak buahnya untuk memfitnah Bintang."Tidak Pak, mereka tidak tahu. Tapi, Farrel bisa saja buka mulut dan tahu siapa saya.""Goblok kamu, kenapa kamu mesti meladeni bocah itu? Dia itu jago beladiri!" bentaknya dengan suara menggelegar. Laki-laki di depannya sempat berjingkat kaget. Dia tak berani menatap wajah pria yang punya kuasa seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk. "Baiklah, kamu boleh pulang. Untuk sementara jangan muncul di desa ini dulu," ujarnya dengan intonasi suara lebih rendah.Laki-laki bayaran tadi mengangguk sekali lagi dan mengambil amplop coklat yang diberikan pria di depannya. Setelah itu dia undur diri."Farrel dan Bintang adalah batu yang harus disingkirkan. Tetapi, menyingkirkan Bintang sama saja aku cari mati. Farrel, iya ..., bagaimana ka
Farrel mengusap rambutnya kasar dengan perasaan tidak karuan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskan pelan sebelum memutuskan menerima panggilan telepon dari tetangga baru yang mengontrak rumah orang tuanya itu."Assalamu'alaikum," sapanya sopan. Walaupun slengekan, pemuda itu tidak melupakan tata krama. Pemuda yang menjadi alumni dari sebuah universitas tinggi di kota Malang itu memang masih tersesat, jauh dari agama, tetapi tidak pernah melupakan sopan santun.Kedua orang tua Farrel yang notabene orang dengan latar belakang agama yang kuat tidak bisa memaksa sang anak untuk mengikuti jejak mereka. Walaupun sebenarnya mereka tidak pernah lelah dan bosan menasihati putera semata wayangnya untuk kembali pada jalan Allah.Akan tetapi, jika hati sang anak masih tertutup maka tidak ada seorang pun yang bisa memaksanya sebelum hidayah itu benar-benar menyentuhnya. Suara baritone milik Bintang menyentak Farrel dari lamunannya. "Waalaikumsalam Mas Farrel, ini Bintang. Mas Farrel di man
Mendengar jawaban Bintang, sontak Alisha membekap mulutnya dengan mata membulat. "Hah, miring gimana Mas?" tanyanya dengan berbisik.Bintang memejamkan mata sejenak, kemudian kembali menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok makhluk aneh di luar sana."Mulutnya memanjang ke atas. Nggak kayak kita," bisiknya.Alisha mengusap lengannya yang meremang. Wanita cantik itu juga beringsut, merapatkan tubuhnya pada tubuh sang suami. Sedangkan Bintang masih di posisi yang sama. Yakni, mengawasi gerak-gerik bocah kecil di pekarangan belakang rumah tetangganya.Bibir laki-laki itu tampak bergerak-gerak, dia sedang menggumamkan do'a. Ayam-ayam dan binatang peliharaan tetangga mereka tampak gaduh, bahkan beberapa ayam mengeluarkan suara-suara seperti rintihan. Bintang terus membaca do'a kemudian diikuti oleh sang istri. "Sudah pergi, Dik. Ayo kita shalat tahajud dulu sekalian nunggu shalat subuh," ajaknya."Aku takut Mas." Mendengar ucapan istrinya, Bintang tertawa lirih sambil mengusap p
"Sudah ya, Ibu-Ibu, saya duluan. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, terima kasih Pak Bin, Mbak Alisha sudah belanja," ucap Pak Tukang Sayur dengan senang karena Alisha membeli banyak dagangannya.Bu Sayuti melirik ke arah Alisha dengan tatapan sinis. Jangankan membalas salam Alisha, melihat saja seolah enggan. Entah mengapa, dirinya tidak menyukai Alisha yang menurutnya orang yang sangat menyebalkan.Padahal, selama tinggal di Desa Karanglor, baik Bintang maupun Alisha tidak pernah mengusik kehidupan mereka. Tetapi, apa pun alasannya jika di dalam dasar hati sudah tertanam rasa iri dengki maka apa pun yang dilakukan orang lain akan selalu salah di matanya.Tanpa sadar Bu Sayuti menarik napas kasar. Semenjak desas-desus Bintang dan Alisha akan membeli rumah baru, Bu Sayuti seperti terlihat ''kepanasan'' maka dia bertekad tidak mau kalah dari Alisha. Lagi, dia tersenyum satu sudut, namun hanya dalam satu detik. "Sudah diludahi belum Kang, itu duit dari Alisha? Jangan sampai lho uangmu
Selama 29 tahun hidupnya, Bintang kembali harus menghadapi kenyataan yang menurutnya konyol. Ide dari sang istri yang memintanya mencari kepiting atau yuyu adalah tantangan tersendiri baginya. Dia tadinya berpikir, jika ide dari wanita yang menjadi istrinya sejak setahun lalu itu, adalah dengan cara menggunakan alat digital. Namun, nyatanya jauh di luar dugaan Bintang.Laki-laki bertubuh tegap itu kembali menggaruk rambutnya. "Kamu yakin ini berhasil, Dik?" tanyanya memastikan.Alisha mengangguk pelan," InshaAllah Mas," jawabnya lirih. Alisha pernah mendengar cerita dari orang-orang kampung dulu, juga dari neneknya. Maka dia ingin mencoba menerapkan sendiri. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Jika berhasil maka seperti keinginan Bintang, dia juga ingin tahu siapa pemilik makhluk tak kasat mata tersebut."Terus bagaimana caranya?" tanya Bintang lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya."Ya, kata Eyang dan orang-orang sih, tuh baskom dikasih air terus kepiting atau yuyu taruh saja di si
Setengah berlari, Alisha menghampiri kerumunan. Dia membekap mulutnya dengan tatapan mata nanar melihat pemandangan di depannya."Innalilahi wa innailaihi roji'uun!" pekiknya.Perempuan paruh baya yang beberapa menit yang lalu masih tampak segar bugar, ketika bertemu dengannya di dalam supermarket.Kini dia tergeletak bersimbah darah, tubuh kurusnya meringkuk di dekat trotoar. Jilbab simpel yang dikenakannya sudah berlumuran darah. Sedangkan tak jauh darinya, sekotak susu formula tergeletak mengenaskan di antara belanjaan perempuan tersebut yang berhamburan di atas aspal.Terbayang jelas, bagaimana tadi dia sangat senang bisa membeli susu untuk cucunya. Dan melihat dari penampilannya, sepertinya dia bukanlah orang yang berkecukupan. Sehingga mungkin menemukan uang yang jumlahnya seratus ribu saja membuatnya begitu bahagia. Beberapa saat kemudian, petugas kepolisian datang mengevakusi tubuh perempuan tersebut yang mungkin sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dengan dibantu beberapa ora