Share

Part 3

"Dulu, desa ini aman Yuu, aman. Nggak ada kejadian aneh-aneh seperti ini. Tapi, kenapa sejak kedatangan kedua orang itu jadi banyak kejadian aneh ... ? Hu... huuu, benar-benar bawa sial. Bukan hanya sering ada duit yang hilang, tapi nyawa suamiku juga ikut hilang. Tadi pagi masih segar bugar, Buu ..." 

Racau seorang perempuan berusia 30 tahunan meratapi kepergian sang suami yang tiba-tiba. Kedua matanya bengkak memerah. Di sebelahnya, seorang anak perempuan remaja juga menangis sesenggukan.

"Sepertinya benar mereka punya pesugihan. Kemarin malam, warung Yu Siti habis didatangi orang itu, paginya kehilangan uang. Terus tadi pagi bertemu orang itu juga, eeh ... Kang Duki jatuh dari pohon cengkeh. Katanya, waktu mereka bertemu, orang itu sempat bilang suruh hati-hati karena pohon licin. Seolah sudah tahu bakalan terjadi," timpal ibu lain sambil melirik-lirik ke arah Alisha yang datang bersama Bu Halimah.

Ucapan mereka yang tidak menyebut nama dan menggantinya dengan kata 'orang itu', tetapi lirikan sinisnya tertuju pada Alisha, jelas membuat Alisha harus menahan kesabaran yang berlipat. Dia menoleh, saat Bu Halimah yang mengusap-usap lengannya mengisyaratkan untuk selalu bersabar.

Perhatian para tetangga yang berkumpul di rumah almarhum Pak Duki, tertuju ke sebuah mobil ambulance yang berhenti di halaman rumah bergaya joglo itu.

Beberapa petugas dari rumah sakit turun dari ambulance dan membawa jenazah Pak Duki untuk dibacakan Yaasin sebelum dishalatkan.

"Mama, Mama! Kenapa tubuh Pakdhe Duki hijau seperti pohon pisang, Mama?" tanya seorang bocah berusia sekitar 4 tahun dengan polos. 

Ucapan bocah laki-laki yang sedang memakan camilan itu, sontak membuat semua mata orang dewasa memandangnya. Ada beberapa diantaranya mengusap tengkuk dan lengannya yang meremang.

Pak Haji Imran selagi yang punya pohon cengkeh juga berada di antara mereka. Dia juga bertugas sebagai imam shalat. Kejadian yang menimpa Pak Duki memang murni kecelakaan, setelah dilakukan olah TKP dan mengumpulkan keterangan, dari beberapa teman Pak Duki yang bekerja bersama laki-laki nahas tersebut. Pak Haji Imran juga bertanggung jawab penuh atas musibah tersebut.

"Mama ayo pulang, aku takut. Itu kasihan Pakdhe Duki menangis di sana Ma, dia diikat sama anak kecil-kecil," racau bocah lugu tersebut sambil menunjuk ke sebuah arah. 

Bu Halimah segera mendekati dan mengusap kepala bocah laki-laki yang mulai menangis ketakutan. "Fit, ajak pulang Rafli. Rafli pulang dulu ya, Nak. Main saja di rumah Budhe Imah, ada Dedek Sofi di sana." 

Bocah itu mengangguk. "Ayo Mama ke rumah Dedek Sofi," rengeknya.

Fitri, ibu si bocah bernama Rafli itu mengangguk lalu menggendong anaknya. Rafli masih terus menoleh menatap takut-takut pada jenazah Pak Duki yang terbujur kaku di ruang tamu. Sesekali bocah itu menggedikkan bahu mengekspresikan kengerian. 

Setelah membacakan Yaasin pada almarhum Pak Duki, kini jenazah dishalatkan dipimpin oleh Haji Imran.

Entah mengapa sejak menjadi imam shalat dan sering mengurus jenazah, baru kali ini Pak Imran juga merasakan hal aneh.

Sepanjang menjadi imam shalat bulu kuduknya meremang, yang membuatnya hampir kehilangan konsentrasi.

Bahkan, hal itu terjadi ketika prosesi pemakaman. Tubuh Pak Duki yang tergolong kecil untuk ukuran laki-laki juga terasa begitu berat, saat dimasukkan ke liang lahat. Prosesi pemakaman pun selesai. Tak berapa lama, mereka meninggalkan area pemakaman.

"Turut berduka cita Bu, semoga Pak Duki dilapangkan kuburnya dan di ..." Ucapan Bintang yang baru datang dari kantor dan langsung ke pemakaman, terhenti saat terdengar ucapan sinis dari istri Pak Duki.

"Pak Bintang nggak perlu pura-pura berbelasungkawa, Pak," sahutnya ketus dan melengos begitu saja. Kemudian berlalu bersama ibu-ibu yang lain.

"Astaghfirullah," ucap Bintang lirih sambil menggelengkan kepala samar.

"Ya, dimaklumi Pak Bin, namanya orang berduka. Apalagi, tadi pagi suaminya masih sehat, pulang tinggal jadi mayat."

"Dan anehnya, tadi si Duki sebelum jatuh sempat teriak, katanya ada anak kecil menarik-narik kakinya," celetuk laki-laki lain menimpali.

Bintang menatap dua orang yang baru saja berbicara itu. Dia ingat, laki-laki itu yang tadi pagi berboncengan hendak memetik cengkeh. Tetapi, Bintang tidak tahu namanya, yang Bintang ingat hanya Pak Rahmat yang tadi pagi sempat berbincang-bincang sebentar sebelum keempat temannya datang. 

Ucapan laki-laki bertubuh kurus itu memancing perhatian para laki-laki yang hendak pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Pak Haji Imran dan yang lainnya.

"Sepertinya memang, kampung kita ini ada yang cari pesugihan."

Bintang menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyahut. "Pak, saya tidak percaya dengan apa itu pesugihan! Saya hanya percaya jika rejeki yang Allah kasih pada setiap hamba-Nya itu, tidak akan salah alamat."

"Lho, aku kan nggak bilang Mas Bin punya pesugihan, kenapa Mas Bintang sensi?" tanyanya dengan senyum mengejek.

"Saya tidak sensi Pak, tapi saya sudah muak dengan semua sindiran warga setiap kali bertemu istri saya. Kalau hal ini terus berlanjut, saya sebagai suami tidak tinggal diam Pak!" sahut Bintang lagi dengan tegas.

"Mas Bintang mau tuntut kami? Hoho, silakan Mas. Kami tahu Mas Bin punya kuasa untuk itu."

Bintang memejamkan mata menahan amarah. Dia beristighfar berkali-kali dalam hati menghadapi kengeyelan orang-orang seperti di depannya. 

"Mau tuntut, tapi kalau nggak ada bukti Mas Bin yang pergi dari kampung sini, betul nggak?" tanya laki-laki kurus itu meminta persetujuan temannya.

Pak Haji Imran yang sudah tidak tahan, akhirnya bersuara, "Sudah cukup Bapak-Bapak! Kenapa di saat berduka seperti ini malah sibuk mencari kambing hitam? Kematian itu pasti dan mutlak kuasa Allah!" 

"Tapi, Pak Haji, kematian Kang Duki nggak wajar."

"Bagaimana Bapak bisa mengatakan itu kematian tidak wajar? Bukankah pihak rumah sakit yang melakukan autopsi dan pihak kami yang melakukan olah TKP murni itu kecelakaan?" sahut Bintang dengan tatapan mata tajam.

Kedua orang di depannya saling pandang dan masih mencoba mencari pembenaran. "Ya, ya tadi kan ... kan, Kang Duki sempat teriak-teriak di pohon cengkeh, Mas. Lalu, tadi pagi bertemu Mas Bintang. Semalam warung Yu Siti juga kehilangan uang setelah Mas Bintang mampir!" asumsinya tanpa berpikir panjang.

"Ck, astaghfirullah," lirih Bintang dengan dada naik turun.

"Pak Narso sudah, berhenti suudzon. Mas Bin, sudah Mas. Nggak ada ujungnya kalau diladeni terus."

Bintang menatap Pak Imran lalu mengangguk pelan. Dia segera bergegas meninggalkan kedua orang yang masih menatap sinis padanya.

"Aku jadi takut kerja ikut Pak Haji. Kalau bukan Mas Bintang, masa iya Pak Haji yang punya pesugihan?" gumamnya yang langsung mendapatkan sentakan umpatan dari arah belakang.

"Bangsat ya kalian! Bapak sudah memberikan kalian pekerjaan malah berpikir Bapak punya pesugihan?"

Umpatan Farrel yang ternyata sudah ada dibelakang mereka membuat keduanya kaget.

"Farrel sudah, astaghfirullah!" sahut Pak Haji Imran sedikit berteriak pada anaknya.

Pemuda dengan wajah memerah menahan amarah itu tersenyum sinis. "Jangan-jangan justru salah satu dari kalian yang punya pesugihan, atau malah kalian berdua?" tanya Farrel sinis dengan tatapan menyelidik.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status