Share

Part 3

last update Last Updated: 2022-10-14 17:28:52

"Dulu, desa ini aman Yuu, aman. Nggak ada kejadian aneh-aneh seperti ini. Tapi, kenapa sejak kedatangan kedua orang itu jadi banyak kejadian aneh ... ? Hu... huuu, benar-benar bawa sial. Bukan hanya sering ada duit yang hilang, tapi nyawa suamiku juga ikut hilang. Tadi pagi masih segar bugar, Buu ..." 

Racau seorang perempuan berusia 30 tahunan meratapi kepergian sang suami yang tiba-tiba. Kedua matanya bengkak memerah. Di sebelahnya, seorang anak perempuan remaja juga menangis sesenggukan.

"Sepertinya benar mereka punya pesugihan. Kemarin malam, warung Yu Siti habis didatangi orang itu, paginya kehilangan uang. Terus tadi pagi bertemu orang itu juga, eeh ... Kang Duki jatuh dari pohon cengkeh. Katanya, waktu mereka bertemu, orang itu sempat bilang suruh hati-hati karena pohon licin. Seolah sudah tahu bakalan terjadi," timpal ibu lain sambil melirik-lirik ke arah Alisha yang datang bersama Bu Halimah.

Ucapan mereka yang tidak menyebut nama dan menggantinya dengan kata 'orang itu', tetapi lirikan sinisnya tertuju pada Alisha, jelas membuat Alisha harus menahan kesabaran yang berlipat. Dia menoleh, saat Bu Halimah yang mengusap-usap lengannya mengisyaratkan untuk selalu bersabar.

Perhatian para tetangga yang berkumpul di rumah almarhum Pak Duki, tertuju ke sebuah mobil ambulance yang berhenti di halaman rumah bergaya joglo itu.

Beberapa petugas dari rumah sakit turun dari ambulance dan membawa jenazah Pak Duki untuk dibacakan Yaasin sebelum dishalatkan.

"Mama, Mama! Kenapa tubuh Pakdhe Duki hijau seperti pohon pisang, Mama?" tanya seorang bocah berusia sekitar 4 tahun dengan polos. 

Ucapan bocah laki-laki yang sedang memakan camilan itu, sontak membuat semua mata orang dewasa memandangnya. Ada beberapa diantaranya mengusap tengkuk dan lengannya yang meremang.

Pak Haji Imran selagi yang punya pohon cengkeh juga berada di antara mereka. Dia juga bertugas sebagai imam shalat. Kejadian yang menimpa Pak Duki memang murni kecelakaan, setelah dilakukan olah TKP dan mengumpulkan keterangan, dari beberapa teman Pak Duki yang bekerja bersama laki-laki nahas tersebut. Pak Haji Imran juga bertanggung jawab penuh atas musibah tersebut.

"Mama ayo pulang, aku takut. Itu kasihan Pakdhe Duki menangis di sana Ma, dia diikat sama anak kecil-kecil," racau bocah lugu tersebut sambil menunjuk ke sebuah arah. 

Bu Halimah segera mendekati dan mengusap kepala bocah laki-laki yang mulai menangis ketakutan. "Fit, ajak pulang Rafli. Rafli pulang dulu ya, Nak. Main saja di rumah Budhe Imah, ada Dedek Sofi di sana." 

Bocah itu mengangguk. "Ayo Mama ke rumah Dedek Sofi," rengeknya.

Fitri, ibu si bocah bernama Rafli itu mengangguk lalu menggendong anaknya. Rafli masih terus menoleh menatap takut-takut pada jenazah Pak Duki yang terbujur kaku di ruang tamu. Sesekali bocah itu menggedikkan bahu mengekspresikan kengerian. 

Setelah membacakan Yaasin pada almarhum Pak Duki, kini jenazah dishalatkan dipimpin oleh Haji Imran.

Entah mengapa sejak menjadi imam shalat dan sering mengurus jenazah, baru kali ini Pak Imran juga merasakan hal aneh.

Sepanjang menjadi imam shalat bulu kuduknya meremang, yang membuatnya hampir kehilangan konsentrasi.

Bahkan, hal itu terjadi ketika prosesi pemakaman. Tubuh Pak Duki yang tergolong kecil untuk ukuran laki-laki juga terasa begitu berat, saat dimasukkan ke liang lahat. Prosesi pemakaman pun selesai. Tak berapa lama, mereka meninggalkan area pemakaman.

"Turut berduka cita Bu, semoga Pak Duki dilapangkan kuburnya dan di ..." Ucapan Bintang yang baru datang dari kantor dan langsung ke pemakaman, terhenti saat terdengar ucapan sinis dari istri Pak Duki.

"Pak Bintang nggak perlu pura-pura berbelasungkawa, Pak," sahutnya ketus dan melengos begitu saja. Kemudian berlalu bersama ibu-ibu yang lain.

"Astaghfirullah," ucap Bintang lirih sambil menggelengkan kepala samar.

"Ya, dimaklumi Pak Bin, namanya orang berduka. Apalagi, tadi pagi suaminya masih sehat, pulang tinggal jadi mayat."

"Dan anehnya, tadi si Duki sebelum jatuh sempat teriak, katanya ada anak kecil menarik-narik kakinya," celetuk laki-laki lain menimpali.

Bintang menatap dua orang yang baru saja berbicara itu. Dia ingat, laki-laki itu yang tadi pagi berboncengan hendak memetik cengkeh. Tetapi, Bintang tidak tahu namanya, yang Bintang ingat hanya Pak Rahmat yang tadi pagi sempat berbincang-bincang sebentar sebelum keempat temannya datang. 

Ucapan laki-laki bertubuh kurus itu memancing perhatian para laki-laki yang hendak pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Pak Haji Imran dan yang lainnya.

"Sepertinya memang, kampung kita ini ada yang cari pesugihan."

Bintang menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyahut. "Pak, saya tidak percaya dengan apa itu pesugihan! Saya hanya percaya jika rejeki yang Allah kasih pada setiap hamba-Nya itu, tidak akan salah alamat."

"Lho, aku kan nggak bilang Mas Bin punya pesugihan, kenapa Mas Bintang sensi?" tanyanya dengan senyum mengejek.

"Saya tidak sensi Pak, tapi saya sudah muak dengan semua sindiran warga setiap kali bertemu istri saya. Kalau hal ini terus berlanjut, saya sebagai suami tidak tinggal diam Pak!" sahut Bintang lagi dengan tegas.

"Mas Bintang mau tuntut kami? Hoho, silakan Mas. Kami tahu Mas Bin punya kuasa untuk itu."

Bintang memejamkan mata menahan amarah. Dia beristighfar berkali-kali dalam hati menghadapi kengeyelan orang-orang seperti di depannya. 

"Mau tuntut, tapi kalau nggak ada bukti Mas Bin yang pergi dari kampung sini, betul nggak?" tanya laki-laki kurus itu meminta persetujuan temannya.

Pak Haji Imran yang sudah tidak tahan, akhirnya bersuara, "Sudah cukup Bapak-Bapak! Kenapa di saat berduka seperti ini malah sibuk mencari kambing hitam? Kematian itu pasti dan mutlak kuasa Allah!" 

"Tapi, Pak Haji, kematian Kang Duki nggak wajar."

"Bagaimana Bapak bisa mengatakan itu kematian tidak wajar? Bukankah pihak rumah sakit yang melakukan autopsi dan pihak kami yang melakukan olah TKP murni itu kecelakaan?" sahut Bintang dengan tatapan mata tajam.

Kedua orang di depannya saling pandang dan masih mencoba mencari pembenaran. "Ya, ya tadi kan ... kan, Kang Duki sempat teriak-teriak di pohon cengkeh, Mas. Lalu, tadi pagi bertemu Mas Bintang. Semalam warung Yu Siti juga kehilangan uang setelah Mas Bintang mampir!" asumsinya tanpa berpikir panjang.

"Ck, astaghfirullah," lirih Bintang dengan dada naik turun.

"Pak Narso sudah, berhenti suudzon. Mas Bin, sudah Mas. Nggak ada ujungnya kalau diladeni terus."

Bintang menatap Pak Imran lalu mengangguk pelan. Dia segera bergegas meninggalkan kedua orang yang masih menatap sinis padanya.

"Aku jadi takut kerja ikut Pak Haji. Kalau bukan Mas Bintang, masa iya Pak Haji yang punya pesugihan?" gumamnya yang langsung mendapatkan sentakan umpatan dari arah belakang.

"Bangsat ya kalian! Bapak sudah memberikan kalian pekerjaan malah berpikir Bapak punya pesugihan?"

Umpatan Farrel yang ternyata sudah ada dibelakang mereka membuat keduanya kaget.

"Farrel sudah, astaghfirullah!" sahut Pak Haji Imran sedikit berteriak pada anaknya.

Pemuda dengan wajah memerah menahan amarah itu tersenyum sinis. "Jangan-jangan justru salah satu dari kalian yang punya pesugihan, atau malah kalian berdua?" tanya Farrel sinis dengan tatapan menyelidik.

* * *

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENYUSUI TUYUL    Part 75 End

    Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan

  • MENYUSUI TUYUL    Part 74

    "Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men

  • MENYUSUI TUYUL    Part 73

    Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta

  • MENYUSUI TUYUL    Part 72

    Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia

  • MENYUSUI TUYUL    Part 71

    Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t

  • MENYUSUI TUYUL    Part 70

    "Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam

  • MENYUSUI TUYUL    Part 69

    Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak

  • MENYUSUI TUYUL    Part 68

    Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da

  • MENYUSUI TUYUL    Part 67

    Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status