Share

Part 4

Ucapan frontal dari Farrel membuat kedua orang di depannya tampak terkejut. Farrel kembali tersenyum miring sekilas, pemuda bertubuh jangkung itu kembali bersuara dengan nada penuh penekanan. "Jangan asal fitnah, kalau kalian sendiri nggak ingin difitnah. Pak Bintang datang ke desa ini bukan atas kemauan sendiri. Dan Bapak, walaupun kalian nggak bekerja dengannya lagi, masih banyak yang bekerja untuk Bapak."

Keduanya masih terdiam dengan salah tingkah lalu meninggalkan Farrel. Farrel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi otak dangkal orang-orang tersebut.

*

Sejak kejadian pemakaman Pak Duki, yang diwarnai desas-desus jika kematian Pak Duki akibat menjadi tumbal pesugihan, maka Desa Karanglor seolah menjadi desa mati. Setiap ba'da isya para penduduk desa yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi, kini mereka memilih di dalam rumah masing-masing.

Warung Bu Siti tak seramai dulu, kini hanya anak-anak muda yang masih setia nongkrong di sana. Seperti biasa, tidak di dalam warung, melainkan duduk di atas motor dan bangku panjang di depan warung. Di dalam warung hanya ada dua orang laki-laki yang asyik dengan rokok dan kopi mereka.

"Sekarang anaknya Fitri panas, dia sering menangis. Katanya melihat Kang Duki diikat anak kecil-kecil kakinya."

"Halah, namanya juga anak-anak Kang, pasti dia tengah berhalusinasi."

"Tapi masa iya sampai panas badannya to Pakdhe?" tanya Bu Siti menimpali pembicaraan kedua tamu di warungnya.

Belum sempat mereka menjawab, sebuah motor berhenti di halaman warung. Sontak sang pemilik warung dengan bergegas menyingkirkan dagangannya ke dalam.

"Assalamu'alaikum, sudah mau tutup nggih, Budhe? Masih ada gorengannya?"

"Em, su-sudah habis, Mas Bin. Itu tadi tinggal pesanan orang, ngapunten nggih." Bu Siti menjawab dengan gugup.

Bintang hanya mengangguk dan tersenyum kaku. Dia sempat melihat ke arah meja lain di mana masih banyak dagangan milik Bu Siti. Tak ingin berprasangka buruk, laki-laki itupun segera pamit.

"Oh, ya sudah Budhe, assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, Mas Bin. Monggo."

Bintang kembali ke motornya dengan hati sedikit kecewa. Iya, dia selalu menyempatkan membeli gorengan berupa pisang goreng dan bakwan yang menjadi kesukaan sang istri di rumah.

"Lha nggak jadi beli Pak?" tanya Farrel yang baru saja memarkirkan motor besarnya di samping motor Bintang.

Bintang menggeleng sembari mengenakan helm full facenya. "Sudah habis Mas Rel, tinggal pesanan orang. Duluan, Mas Rel," pamitnya.

Farrel mengangguk sopan. "Monggo Pak," jawabnya.

Sebelum bergabung bersama teman-temannya, Farrel melongok ke arah dalam warung. Kening pemuda itu berkerut melihat masih banyak jajanan yang dijual di atas meja.

"Budhe, kopi. Lho, itu masih banyak kok, katanya habis, tadi Pak Bintang mau beli?"

"Em, itu Rel, tadi ada yang pesan tapi tiba-tiba nggak jadi diambil!" jawabnya gugup, tetapi Farrel hanya menanggapi dengan ucapan ''oh'' saja.

Walaupun mata pemuda itu melihat jelas kegugupan di wajah Bu Siti.

Beberapa saat kemudian, warung pun terlihat sepi. Setelah menghabiskan kopi dan sedikit gorengan, Farrel dan teman-temannya segera pergi dari situ.

Bu Siti juga terpaksa menutup warungnya lebih cepat, padahal baru jam 11 malam. Biasanya, warung kopi itu tutup sampai jam 2 dini hari. Walaupun masih banyak dagangan yang belum habis, Bu Siti tak mau sendirian di warung pojok desa yang agak jauh dari rumah penduduk.

Depan warung hanya ada lapangan sepakbola yang ramai jika siang hari saja. Juga hamparan sawah yang luas.

Terdengar suara serak dari samping Bu Siti. "Yu, kok wes tutup, ( Mbak, kok sudah tutup), haus Mbak, mau ngopi."

Bu Siti yang hendak menutup pintu warung, menoleh ke sumber suara. Suara laki-laki yang sangat familiar karena memang menjadi pelanggan warungnya. Tetapi, itu dulu.

Sekarang laki-laki itu...

Sudah meninggal beberapa hari yang lalu.

Mata Bu Siti membulat sempurna mendapati laki-laki yang berdiri di depan warungnya dengan wajah pucat pasi. Bibir laki-laki berpakaian lusuh, layaknya orang yang bekerja di kebun itu tersenyum kaku. Bibir pucat dan dengan sorot mata kosong, mata laki-laki berbadan kurus itu memerah.

"Kang ... Kang ... Du-Kiii, to-toloongg!"

Bersamaan dengan itu, tubuh tambun Bu Siti ambruk di teras warungnya.

Laki-laki kurus yang berdiri tak jauh dari Bu Siti yang pingsan hanya tersenyum penuh arti.

*

"Woi gerimis, pulang woi!"

"Tungguin dong Rell, aku suruh jalan begitu?" protes pemuda seumuran Farrel.

Farrel hanya tertawa yang hampir melupakan temannya. Pemuda yang masih memakai seragam salah satu perguruan pencak silat itu menggaruk rambut nyentriknya. Dia menunggu temannya yang memang satu arah dengan rumahnya dengan sabar.

Setelah itu, mereka pamit pada teman-temannya yang lain, yang juga bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Gerimis dari langit menjadi rintikan kecil.

Sebuah motor lain melaju pelan di kawasan persawahan menuju ke Desa Karanglor. Sambil bersenandung, pemuda itu mengendarai motornya untuk mengusir udara dingin akibat gerimis kecil.

Seragam silat yang dipakainya tak cukup menghangatkan badan. Sesekali dia menyilangkan tangan kirinya di depan dada, sedangkan tangan kanannya mengendalikan stang motor.

"Siapa tuh, jam segini mondar-mandir di tepi sawah, apa orang nyari kodok? Tapi, kok nggak bawa senter?" tanyanya retoris.

Pemuda itu melambatkan motornya begitu mendapati laki-laki paruh baya tersebut duduk di pematang sawah tepat di pinggir jalan.

"Pak, lagi ngairi sawah ya?" tanyanya sopan. Laki-laki tersebut mendongak dan membuat pemuda yang berada di atas motor tersebut terkejut. "Lha, Pak Duki? Oh, setaaann!" teriaknya langsung melesatkan motornya dengan kecepatan tinggi.

Dia mengumpat berulang kali sambil terus melajukan motornya menuju ke rumahnya. Pemuda itu sedikit bernafas lega saat motor yang dikendarainya telah memasuki perkampungan penduduk. Diapun memelankan laju motornya begitu telah sampai di gang kecil. Gang yang biasa dia lewati setiap pulang pergi berlatih pencak silat.

"Sialan, kempes lagi bannya," umpatnya untuk kesekian kali.

Sambil menuntun motornya dia merutuk dalam hati. Sudah gerimis, bertemu hantu dan ban motornya kempes. Sedangkan, jarak rumahnya masih beberapa ratus meter lagi.

"Sialan benar malam ini," umpatnya lagi sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

Pukul 02.15 WIB.

Dia berhenti sejenak dan menyeka dahinya yang basah oleh keringat bercampur air hujan. Saat itulah, tanpa sengaja tatapan matanya menatap sesuatu yang janggal.

Di halaman luas rumah bergaya joglo, seorang perempuan duduk di bawah pohon. Pemuda itu menajamkan penglihatannya dan matanya semakin membulat sempurna, begitu mengamati dengan seksama apa yang dilakukan perempuan tersebut di sana.

Sangat tidak masuk akal, menjelang dini hari, dalam keadaan gerimis ada perempuan duduk di bawah pohon. Perempuan itu tampak menoleh kanan kiri memastikan situasi saat itu aman. Dan setelah itu, dia seperti merangkul dua makhluk kecil, makhluk seperti anak kecil dengan kepala tanpa rambut.

Kedua anak itu tampak lahap menyusu, selayaknya bayi yang tengah menyusu pada ibunya. Dan ini bukan bayi biasa, karena tidak mungkin juga jika anak manusia dibiarkan telanjang begitu saja di tengah gerimis. Apalagi, menyusui anaknya di halaman malam-malam begini. Kecuali orang gila.

Pemuda itu bergumam lirih, "Astaghfirullah hal adzim, menyusui tuyul?" Kemudian, dia memutuskan berbalik arah.

Dia tidak peduli tubuhnya yang lelah basah oleh keringat dan air hujan. Langkahnya dipercepat sembari mendorong motornya.

"Rel, assalamu'alaikum, Rel buka pintunya!"

"Apaan sih, Nyet?" tanya Farrel dengan langkah gontai sambil membuka pintu.

"Rel, aku ti-tidur, di ..."

Bruk. Pemuda itu pun ambruk di ambang pintu rumah Pak Haji Imran.

"Danang, woi bangun! Danang, hei monyet bangun woi!" Farrel mengguncang tubuh temannya dengan panik.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status