Afura menyeka air matanya yang menetes. Membayangkan masa-masa berat saat kehilangan anak pertamanya. Rasa sakit itu masih terasa jelas dan dia menanggung semuanya sendiri.
Sudah jam setengah dua belas malam tapi suaminya tidak kunjung pulang. Bahkan makanan di atas meja itu sudah dingin.
“Jangan-jangan Mas Abizar nggak tidur di rumah. Kukira hubungan kita sudah membaik. Tapi nyatanya...” menahan kegetiran di dada.
Tap!
Lampu seketika mati yang membuat Afura terkejut. Buru-buru mencari ponselnya yang di letakkan di atas meja. Dengan gerakan absurd Afura menyalakan lampu. Menyoroti seisi ruangan dengan tangan mengigil. Dia paling tidak bisa di tinggal sendiri dalam ke gelapan. Membuat seluruh sarafnya menegang. Dengan panik Afura berlari ngos-ngosan keluar dari dalam rumah. Karena saking paniknya, dia tidak bisa melihat batu besar di depannya. Membuat kakinya tersandung dan jatuh menggelinding di rerumputan.
“Hiks…hiks…” Afura menangis ketakutan.
Bapak-bapak tukang roda pun menemukan Afura. Lalu Membawanya ke pos kampling. Mencoba menghubungi Umi Ima karena ponsel milik Abizar tidak bisa di hubungi.
Umi Ima sangat marah saat mengetahui menantunya terlantar di jalanan. Sesaat kemudian putranya menyusul.
“Kamu dari mana aja Abizar?” tanya Umi dengan suara meninggi.
“Tadi ada urusan di pondok putra Umi.”
“Alasan, bilang saja kamu tidak mau tinggal dengan Afura. Kamu tahu, istrimu ini takut sendirian di gelap. Dan lihat kondisinya sekarang!” Menunjuk Afura yang terlihat mulai merapikan bajunya yang kotor.
“Maafin Abizar Umi.”
“Jaga Afura dengan baik! Kamu ini suaminya, awas sampai kejadian ini terulang lagi.”
Abizar kembali ke rumahnya dengan amarah yang tertahankan. Karena Afura dia harus menerima omelan dari uminya untuk sekian kali. Kenapa tadi tidak telefon dirinya saja. Masalahnya menjadi besar karena Uminya langsung tahu. Jangan-jangan dia sengaja berulah untuk mencuri perhatiannya.
Gadis dengan baju kumal itu terlihat canggung . Mengikuti Abizar dari belakang seperti anak ayam. “Maaf Mas!”
Sesampainya di rumah, listrik sudah kembali menyala. Abizar menutup pintu rapat-rapat. “Kamu sengaja membuat saya di marahi Umi?”
“Nggak, sama sekali nggak Mas!”
Derap langkah Abizar cepat memasuki kamarnya. Menutup pintu agak keras. Membuat badan Afura seperti tersengat listrik saking kagetnya.
“Mas nggak mau makan dulu.”
“Saya sudah kenyang.”
***
Keesokan paginya, saat Afura bangun sudah ada bubur di atas meja makan. Hatinya benar-benar berbunga-bunga. “Pasti dari Mas Abizar. Kelihatannya cuek padahal perhatian banget.” Senyum menggembang di bibir Afura. “Berarti aku harus lebih berjuang untuk membuatnya mengingatku kembali.”
Setelah makan, Mbah Njah yang kemarin memijat Afura kembali datang. Mungkin semua ini perlakuan manis suaminya. Yang sepertinya mengkhawatirkannya yang terjatuh kemarin. Selesai di pijat Afura sibuk membersihkan rumah yang semakin berdebu.
“Assalamualaikum!” panggilan salam menggema. Tapi karena sibuk Afura tidak mendengar kalau ada orang yang baru masuk rumah. “Wajib bagi seorang muslim menjawab salam.”
“Walaikumsalam. Maaf, Mas tadi sibuk bersih-bersih.” Afura tertunduk dan baru ingat hadiah yang dia berikan pada suaminya. “Termakasih buat tadi.”
“Biasa, Cuma manggilin tukang pijet.”
“Tapi tetap aja makasih. Oh, iya sebagai ucapan terimakasih aku bikini ayam bakar dengan sambal nanas kesukaan kamu.” Afura menunjukan hidangan di atas meja yang mengepul-ngepul.
Abizar melirik sedikit, menelan ludah. “Nggak perlu.” Pria itu masih ingat ulah Afura tadi malam yang membuat Umi Ima kesal. Dan akhirnya dialah yang di marahi Umi Ima. Padahal wanita tua itu jarang sekali
“Tapi tetap harus makan.” Afura menunjukan senyum lebar. Kemudian menarik suaminya ke kursi. Mengambilkan nasi dan lauk pauk.
“Kita bukan muhrim.”
“Kita sudah nikah, Mas! Walaupun Mas Abizar belum mengingat aku. Tapi kita sudah sah di mata agama.”
Afura hendak menyuapi suaminya. “Gimana Mas?"
“Saya bisa sendiri. Jangan karena Umi ada di pihakmu kamu bisa melakukan apa-apa sesukamu.” Abizar bangun dari kursi.
“Makasih juga buat buburnya.”
“Aku nggak ngasih bubur ke kamu.”
“Terus bubur yang di atas meja?”
“Gak tahu!”
“Ih, judesnya nggak hilang,” batin Afura melihat suaminya kembali masuk dalam kamar. “Mas, kalau nggak cepatan di makan nanti aku buang loh.” Ancam Afura kemudian merapikan lauk-lauk di meja dan masuk kamar untuk salat. Karena menunggu Abizar, sampai lupa dia belum menunaikan salat Isya’.
“Assalamualaikum warahmatullah.” Afura mengakhiri salat. Kemudian meraup wajahnya dengan ke dua tangan.
Kalimat dzikir keluar dari mulutnya berulang-ulang. Tiba-tiba gendang telinganya menangkap suara benda jatuh di luar. Buru buru dia bangkit dari atas sajadah dan membuka pintu sedikit. Mengintip ada apa di luar. Jangan-jangan pencuri masuk ke dalam rumah.
Mata Afura menyapu sekitar, mencari benda yang bisa di gunakan untuk bertahan. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar Abizar. Tapi niat itu terurungkan karena melihat sikap Abizar tadi. Afura berjalan dengan mengendap-ngendap, agar langkahnya tidak menimbulkan suara.
Tiba-tiba muncul kepala orang yang di bungkus kain sarung. “Ya Allah, lindungi hamba,” batin Afura di dalam hati.
Afura memukul asal dengan sisa kekuatannya. “Pergi kau pencuri! Kamu nggak tahu, mencuri itu dosa tau.” Teriak Afura.
“Stop! Stop!”
Prak!
Piring berisi nasi dan ayam itu jatuh di lantai. Membuat kedua orang itu saling memandang satu sama lain. Apalagi Afura yang terkejut karena yang di depannya adalh suaminya sendiri. “Mas Abizar?”
“Sakit,” pekik Abizar memungut kembali nasi dan lauk yang bercecer di lantai.
“Maaf….”
“Makanya, jangan asal pukul orang.”
“Aku kira pencuri,” ujar Afura dengan sedikit menyesal. “Aku ngambilin nasi lagi ya? Itu nggak usah di ambil.” Gadis itu bergegas ke dapur. Mengambil piring di rak piring. Kemudian mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
“Ini loh Mas!” Afura menukar piring Abizar dengan piring yang ada di tangan. Menyuruh suaminya untuk duduk di sofa.
Pria itu lasung memakan dengan lahap makanan yang diambilkan istrinya.
“Makanya, kalau mau makan tinggal makan. Nggak usah diam-diam kayak pencuri. Kan, aku jadi beburuk sangka dengan Mas Abizar. Apalagi rumah kita kan nggak ada pagar.”
“Kamu juga jangan main hakim sendiri. Kepala saya sampai luka.”
“Beneran, mana Mas?” Afura langsung berdiri, meraba-raba rambut cepak Abizar. Lupa bahwa lelaki itu masih belum menerimanya. Membuat Abizar langsung menarik tangannya dan mendorong menjauh. “Jangan pegang-pegang.”
“Maaf.” Wajah Afura langsung merenggut dan kembali duduk di samping suaminya. Menyaksikan sang suami makan dengan lahap sudah membuat dadanya berdebar hebatnya. Moment-momen seperti ini yang dulu hilang mungkin akan kembali.
“Ya Allah, andai waktu bisa berhenti. Aku ingin tetap seperti ini.”
Abizar membanting piring kosong ke atas meja. “Matamu jatuh kalau lihat saya terus.” Pria itu langsung masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Afura sendirian di ruang tamu.
Afura meraih piring kotor dengan senyum mengembang. "Apa Mas Abizar mulai membuka hatinya?"
Satu tahun lalu Gadis berkerudung itu keluar kamar. Matanya terbelalak melihat sang suami meletakkan kepalanya di atas meja. Membuatnya menghelai nafas panjang. Hafal dengan kelakuan suaminya satu ini. “Ngapain tidur di meja?”Pria itu mengangkat miring kepalanya. Membuat satu matanya memandang Afura. “Laper!”“Kalau lapar, ya makan dong!” Abizar memonyongkan bibir seperti ada satu permintaan tidak tersirat. “Yaudah, aku ngambilin.” Afura dengan cekatan mengambil piring di rak dapur. Menuangkan nasi dan lauk pauk di atasnya. “Ini di makan.” “Suapin.” “Suamiku manjang banget,” omel Afura tapi tetap menyuapi suaminya. Melihat tingkah pria itu membuatnya gemas. Saat Istrinya menyuapi sesendok nasi dan lauk. Pria itu mengeluarkan ponsel. Membuka WA ataupun Ig. Lalu Afura mengambil ponselnya. Mengatakan bahwa tidak bagus makan sambil main ponsel. “Iya, Habibii.” Kata sayang dalam bahasa Arab. “G
Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka. “Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan. “Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan. Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.” “Baik-baik saja Bah!” “Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.” “Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.” “Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.” “Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku ke
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb
“Diam! Kepala pusing mendengar ocehanmu.” “Mas, awas!” Afura mendorong kuat lengan Abizar membuat pria itu terpental. Bruk! Satu batang bambu yang di gunakan untuk menyanggah bangun jatuh tepat di atas kaki Afura. Untung saja, gadis itu segera mendorong Abizar. Sehingga pria itu terhindar dari bahaya. Sayangnya, kaki Afura yang menjadi penggantinya. “Aw..aw...” Afura mengigit ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit di kakinya. Melihat Hal itu, membuat Abizar panik. Dia segera mengangkat bambu menjauh dari atas kaki Afura. “Kamu bodoh, ngapain pakai ngorbanin diri.” “Yang penting, Mas Abizar nggak kenapa-kenapa.” “Dasar bodoh, aku baru melihat gadis sebodoh dia,” batin Abizar. “Bentar, aku panggilan santri untuk membawamu ke rumah.” “Jangan Mas, takutnya masalah ini tambah heboh. Kemarin aja ada tukang yang jatuh wali santri heboh. Mereka berniat mencabut anak mereka dari pondok. Apalagi para donator, yang mengatak
3 tahun lalu…. Wanita berkerudung panjang dengan kerutan di dahi itu merasa pusing memikirkan anaknya yang tidak mau kuliah. Entah, setan apa yang menghasutnya. Jangan-jangan ini semua atas hasutan teman-teman nongrkongnya yang ada di dekat pasar itu. “Assalamualaikum!” suara parau Salman yang baru pulang. “Dari mana saja kamu?” “Dari berdakwah Umi.” “Berdakwah apa? Orang kerjaanmu duduk di dekat pasar sana!” “Umi, aku hanya ingin dekat ke warga agar tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Juga sebagian dari mereka adalah temanku sd.”” “Omong kosong! Lebih baik kamu lanjutkan kuliahmu sana!” “Umi, aku ingin fokus berdakwah. Lihat! Aku sampai bikin chanel youtube bareng masyarakat. Kami bahkan mencoba untuk berdakwah di tempat balapan liar.” “Astaga! Kamua sampai masuk ke tempat kotor itu. Mending kamu fokus kejar masa depanmu. Janga