Share

6 - Devinisi Teman; Menusuk, memanasi

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

Satu minggu kemudian.

Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.

Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.

Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.

“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.

Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.

“Halo.”

“Ren.”

“Ada apa, Mat? Tumben sering telepon.”

“Gue lagi ada masalah sama Lita,” adu Matheo. Pikirannya sudah entah kemana tak karuan—yang diingat hanya Jelitanya—gadisnya.

“Kenapa lagi lo? Lita bikin ulah, ya? Dia minta putus?”

Matheo diam. Ia sengaja tak langsung menjawab semua pertanyaan Rendi. Matheo lebih memilih mengembuskan napas panjang sebelum menceritakan semuanya.

“Jadi kemarin tuh gue habis main TOD, lo tahu, ‘kan?”

“Ya, gue tahu.”

“Nah pas gue kena tuh dapat tantangan buat ciuman sama teman kampus. Ya, gue sebagai laki-laki sejati enggak mungkin nolak atau alasan, kan?”

“Iya jelas dong. Laki-laki sejati itu akan menerima apapun tantangan yang diberikan. Apalagi yang kasih tantangan cewek, beuuuh … tengsin lah gue.”

“Nah iya gitu, Ren. Jadi gue itu enggak salah dong melakukan ciuman.”

“Enggak lah, Mat. Lo bener. Lita otaknya aja yang kurang dewasa!” Rendi terus membela apa yang Matheo lakukan hingga Matheo merasa apa yang dilakukan itu benar. “Putus aja, lah. Cari bule yang pikirannya terbuka gitu. Kalau sama Lita entar galau mulu,” imbuhnya.

Matheo diam.

Entah kenapa terkadang hati kecilnya ingin memutuskan hubungan ini karena seringnya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Jelita.

Namun, di satu sisi ia tidak rela jika Jelita bahagia bersama laki-laki lain. Matheo ingin hidup bersama Jelita selama-lamanya.

“Enggak bisa, gue sayang banget sama dia,” balas Matheo.

Rendi langsung berdecih. “Bukan enggak bisa, tapi lo belum menemukan cewek yang pas dan lebih dari Lita. Kalau gue boleh jujur nih, ya, lo sama Lita itu enggak cocok. Lo begini karena sejak SMP udah sama dia makanya susah pisah. Nah ini kesempatan buat mencoba melupakan.”

Matheo diam, berpikir usulan Rendi.

“Lagian Lita kayaknya suka sama Bagus deh,” celetuk Rendi, menduga-duga.

Mendengar nama ‘Bagus’ disebut membuat hati Matheo merasa terbakar api cemburu. Apalagi hubungan dengan Bagus sudah sedikit menjauh dan renggang semenjak kelulusan.

“Lo serius? Jangan bohong sama gue.”

“Ya elah sumpah, Mat. Gue sebenarnya kasihan sama lo tahu. Gue sering lihat si Bagus antar jemput Lita ke kafe. Bayangin aja deh. Malam-malam jemput Lita hampir setiap hari. Kalau gue sih ogah banget, ya, apalagi enggak ada bayarannya. Feeling gue Lita bayar si Bagus yang enak-enak deh.”

“Maksudnya?”

“Ah masa lo enggak tahu, sih.” Terdengar suara kekehan Rendi di seberang telepon sana. “Cium atau bisa lebih lah. Mana mungkin laki-laki rela antar jemput kalau enggak dikasih yang enak-enak.”

Matheo diam dan merasa ucapan yang dikatakan oleh Rendi memang ada benarnya. Jelita pasti sudah main belakang dengan Bagus. Apalagi udah satu minggu nomornya susah dihubungi.

“Ren, gue minta tolong dong. Awasin Jelita. Gue telepon dia tapi enggak pernah diangkat sudah semingguan lebih.”

“Nah, udah fix Lita ada main sama Bagus.”

“Yaudah gue minta tolong awasin dan kabarin gue kalau mereka ada apa-apa.”

“Sip! Pasti gue kirimin buktinya ke lo.”

“Oke, thanks, ya, Ren.”

“Santai aja kali, Mat. Inikan gunanya sahabat.”

Dan akhirnya panggilan telepon mereka berdua berakhir. Matheo langsung menggenggam erat ponselnya kuat-kuat. Rahangnya mulai mengeras dan tatapan bola matanya sangat berkilat tajam.

“Dasar cewek murahan!” gumam Matheo mengesah dalam.

***

Jakarta, Indonesia.

“Ta, ke dokter aja, yuk.”

“Enggak mau, Prit.”

“Lo udah seminggu sakit begini. Lagian lo tahan-tahan hubungan toxic ini, sih. Lo juga kan yang kena imbasnya. Sayang hati lo. Sayang tubuh lo.”

Jelita masih enggan untuk memeriksakan diri saat ini. Sehabis makan pecel ayam seminggu lalu bersama Bagus, keesokan harinya ia langsung demam tinggi. Pikirannya terasa sakit memikirkan sesuatu yang membuat hatinya terluka.

“Tapi kalau sampai besok masih sakit pokoknya kita ke dokter!” tegas Prita.

Jelita tersenyum tipis melihat sikap sahabatnya yang memang pemaksa dan keras kepala itu.

“Iya, lagian nanti sore juga udah sembuh. Ini gue terlalu capek aja kayaknya.”

“Iya lo tuh capek hati dan pikiran.”

Jelita lagi-lagi hanya membalas ucapan Prita dengan senyuman saja. Pikirannya kembali berpusat kepada Matheo.

Sudah seminggu ini ia sengaja mengabaikan telepon, dan pesan chat dari kekasihnya itu. Jelita enggak mau kalau Matheo tahu dirinya sedang sakit. Jelita takut membuat Matheo khawatir.

“Yaudah gue balik duluan. Gue tadi chat Bagus buat ke sini bawain makanan sama jus buat lo. Dimakan.”

“Iya, bawel.”

Jelita terkekeh kecil melihat Prita berdecih di depannya. Apalagi gaya tomboy Prita yang sering membuat orang takut. Padahal perempuan itu sama saja seperti dirinya yang gampang menangis jika sedang ada masalah.

Merasa sudah sendirian, kini Jelita kembali termenung. Menatap langit-langit kamar kos-nya sendirian. Buliran Kristal pun mulai mengaliri ke pipi mulusnya. Pikirannya kini terbagi menjadi dua. Teringat dengan mama-nya yang di Yogyakarta dan Matheo yang berada di Los Angeles. Semuanya jauh. Jelita suka sedih jika sakit seperti ini tidak ada orang-orang yang disayanginya.

Sambil menunggu Bagus datang ke kos-nya untuk mengantar makanan pun membuat Jelita memilih untuk memejamkan mata sejenak.

Belum lama terpejam perutnya terasa mual yang membuatnya segera bangun dan lari ke toilet. Jelita merasa perutnya sakit luar biasa, dan tubuhnya terasa semakin meriyang.

“Ya Tuhan, ternyata begini rasanya sakit pas jauh dari orangtua,” lirih Jelita, sedih.

Tok. Tok. Tok.

Mendengar pintu kamar kos ada yang mengetuk membuat Jelita mencoba untuk menguatkan diri untuk berdiri. Jelita merasa tatapan matanya mendadak kunang-kunang. Namun, sebisa mungkin Jelita paksa karena yakin sekali yang mengetuk pintu itu Bagus.

Ceklek.

“Kak Lita!”

“Shasa.”

“Kak Lita, kenapa?”

“Kakak gapapa. Lagi enggak enak badan aja.”

“Pasti gara-gara Kak Mamat, ya,” tebak Shasa, tepat sasaran. Shasa langsung masuk ke kamar kos Jelita sambil membawa beberapa kantung plastik berisi makanan. “Mommy nitip makanan ini buat Kak Lita,” tuturnya.

Jelita yang merasa tak bertenaga pun hanya tersenyum tipis dan memilih langsung duduk di pinggiran ranjang.

“Tante Kaila repot-repot banget, sih.”

“Mommy khawatir sama Kak Lita katanya.”

Jelita tersenyum kembali. “Bilangin makasih sama Tante Kaila kalau gitu.”

“Hm, Kak Lita udah ke dokter?”

“Udah kok,” jawab Jelita bohong.

“Sukur deh, Kak Mamat tahu kalau Kak Lita sakit?”

Jelita diam. Ia bingung harus menjawab jujur atau berbohong kepada Shasa. Jelita tidak mau kalau Matheo dan Shasa nanti berantem soal dirinya. Jelita tahu betul kalau Shasa akan mengomeli Matheo jika tahu.

“Jangan bilang Kak Lita enggak kasih tahu sama Kak Mamat!” tebak Shasa dengan mata yang terus menelisik untuk mencari kebenaran. “Ck! Benar kan kalau Kak Mamat enggak tahu? Biar aku kasih tahu kalau gitu,” ujarnya sambil merogoh ponsel di tas kecil yang dibawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status