Jakarta, Indonesia.
Jelita merasa syok saat banyak akun yang men-tag namanya di kolom komentar instagram Matheo. Merasa penasaran pun membuat Jelita membuka itu. Hatinya langsung berdenyut nyeri melihat postingan yang diunggah oleh Matheo. Dia—ciuman dengan seorang perempuan di sana. Jelita langsung menangis dan menutup akun instagramnya.
“Ta, meja nomor 14 cappucinno late 1,” teriak teman kerja Jelita.
Tak ingin diketahui oleh orang lain membuat Jelita buru-buru memasukan ponselnya di kantong celemek. Ia pun segera membuat pesanan untuk meja nomor 14 itu.
“Lita! Astaga!” pekik salah satu rekannya. “Lo lagi kenapa, sih? Itu meluber airnya,” serunya dengan kesal dan segera mengambil alih pekerjaan Jelita.
"Maaf, maaf," lirih Jelita tak enak.
Merasa tidak konsen bekerja membuat Jelita langsung berjalan mundur. Ia pun segera pergi menuju ke belakang bangunan kafe yang sepi. Jelita merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. Ia segera membuka laman instagram milik Matheo dan melihat foto kekasihnya itu. Jelita langsung menangis dan memegang dadanya yang terasa nyesak.
“Lo jahat banget, sih, Mat. Tega banget lo ciuman sama cewek lain dan diposting di sosial media gini,” ujarnya mengesah dalam.
Sudah tahu sakit melihat foto itu, namun Jelita tetap saja melakukannya. Menatap lekat-lekat foto Matheo yang mencium mesra perempuan berparas cantik itu.
Mata yang penuh linangan air mata mengedip pelan hingga lelehan itu mulai berjatuhan dengan sempurna.
“Mungkin bagi lo hubungan ini tidak terlalu penting.” Jelita langsung menerawang di masa SMA-nya dulu. Mungkin inilah yang dialami Shelka saat diabaikan oleh Matheo. Sakit. Pedih. Nyeri.
Sedang merasa bingung, tiba-tiba ponselnya bergetar yang menampilkan nama Bagus di layar utama yang sedang memanggil.
Dengan gerakan kasar, Jelita mengusap pipinya dan berdeham pelan sebelum mengangkat panggilan itu.
“Halo.”
“Ta, lo—“
“—gue udah lihat kok,” potongnya cepat. Gimanapun Jelita tahu arah pembicaraan Bagus. Jelita bukan perempuan yang bodoh.
“Lo sabar, ya.”
“Hm.”
“Lo pulang jam berapa? Gue jemput, ya.”
“Enggak usah, gue udah sering ngerepotin lo, Gus.”
“Ta, kitakan teman. Gue jemput lo sekarang kalau gitu.”
“Makasih, Gus.”
Panggilan mereka pun terputus, Jelita langsung mendongak dan menatap awan sambil membayangkan Matheo yang tengah berciuman dengan perempuan lain di Los Angeles sana.
Air matanya kini kembali menetes, bibirnya mengukir senyum tipis. Senyum kepedihan. “Padahal malam ini bintangnya indah banget. Entah kenapa hidup gue nggak pernah merasa indah. Bokap lebih memilih pergi dan hidup bersama istri mudanya, dan kini Matheo berselingkuh secara terang-terangan begitu.”
Lagi dan lagi, Jelita tertawa miris—menertawakan dirinya sendiri.
Tak ingin membuat Bagus menunggu terlalu lama pun membuat Jelita segera bergegas dan berganti pakaian. Ia sengaja tidak menunggu sampai closing kafe karena merasa sudah berangkat lebih awal tadi siang.
Sebelum keluar kafe melalui pintu khusus karyawan, Jelita mencuci mukanya terlebih dulu dan menatap pantulan wajahnya di cermin.
Jelita mengusap dan memegang lembut dagunya. Kilasan foto Matheo dengan perempuan itu kembali terbesit mengawang di kepalanya. Jelita mulai membandingkan dirinya dengan perempuan itu.
Bibirnya menyunggingkan senyum miring. “Cantik. Dia jauh lebih cantik,” gumamnya. Hati Jelita mulai insecure dengan penampilan dirinya dengan perempuan yang dicium Matheo.
Merasa ponselnya bergetar membuat Jelita melirik sekilas, dan segera bergegas keluar toilet—menuju parkiran.
Melihat Bagus yang sudah sampai dan menunggu di sana, Jelita langsung menyodorkan sebuah kantung plastik berlogo nama kafe milik Gilang itu.
“Apa?” tanya Bagus bingung.
“Buat lo.”
“Buat nyemil lo di kosan.”
“Gue udah bosan. Masa gue makan hasil masakan sendiri, sih.” Bibir Jelita memberenggut kesal. Ekspresinya langsung berubah kala Bagus menerima kantung itu. “Gitu dong, dimakan, ya. Itu gue yang buat lho.”
“Pasti gue makan. Thanks, ya.”
Jelita mengangguk.
Bagus langsung menaruh plastik itu di cantelan depan motor. Ia juga memberikan helm kepada Jelita untuk dikenakan gadis itu.
Merasa Jelita sudah membonceng motornya, Bagus segera menarik gas motor itu untuk membelah jalanan kota Jakarta di malam hari.
Angin malam membuat tulang-tulang Jelita merasa tertusuk oleh hawa dinginnya. Terlebih jalanan Jakarta yang terkenal macet kini tampak lenggang membuat motor yang diboncengnya melaju dengan lancar.
“Lo udah makan, Ta?”
Mendengar Bagus bertanya, namun tidak terlalu jelas di telinganya membuat Jelita memajukan kepala ke depan hingga menempel di tubuh Bagus. “Lo tanya apa?”
“Lo udah makan?” ulang Bagus.
“Udah.”
“Makan nasi, udah?”
“Nasi belum, tadi makan pudding doang.”
“Makan dulu, ya, sebelum sampai kos lo.”
“Ta—“
“Pamali nolak rejeki, Ta,” sergah Bagus cepat saat tahu Jelita akan menolak diajak makan olehnya.
Jelita yang tidak bisa menolak pun hanya pasrah. Menurut. Dan pada akhirnya mereka tiba di salah satu penjual makanan kaki lima—penjual lamongan—Bagus dan Jelita segera turun dari motor. Mereka pun langsung masuk ke tenda berwarna putih yang terdapat gambar lele, ayam, dan berbagai macam tumisan.
“Lo mau pesan apa, Ta?” tanya Bagus saat sudah mendaratkan bokongnya di bangku plastik berwarna hijau toska itu.
Jelita masih berpikir akan makan apa malam ini. Apalagi sosok Matheo masih berhasil menyita sebagian memori otaknya. “Pecel ayam aja kayaknya,” balas Jelita.
Bagus mengangguk dan langsung mengatakan kepada penjual. “Pecel ayam dua porsi, Pak.”
Penjual itu mengangguk. “Minumnya apa?”
Bagus langsung menatap Jelita sebagai pertanyaan yang dilontarkan oleh Bapak penjual itu meski tak mengucapkannya secara langsung Jelita paham. “Gue teh tawar hangat aja,” ceplos Jelita, tersenyum tipis.
Bagus mengangguk dan dia langsung kembali menatap ke penjual untuk menyampaikan pesanan minumannya.
Wajah Bagus kembali menatap ke arah Jelita yang tampak murung kembali. “Mau gue tanyain sama Matheo?” celetuk Bagus tiba-tiba.
Jelita langsung mendongak kaget. “Enggak usah. Biarkan aja dia begitu.”
“Mau sampai kapan lo ngalah terus, Ta. Meski gue sahabatan sama Matheo, tapi kalau cara dia begitu rasanya tangan gue pengin melayang buat kasih tonjokkan tahu nggak.” Bagus merasa kesal sendiri saat melihat foto laman instagram Matheo yang tengah berciuman dengan perempuan lain. “Apa dia nggak mikirin perasaan lo?” dumel Bagus selanjutnya masih dengan kekesalan yang mendalam.
Jelita hanya diam saja dan tampak matanya langsung berkaca-kaca. Rasanya ia sudah tidak kuat untuk menahan beban ini sendirian karena terlalu berat juga menyakitkan.
“Entah, Gus. Mungkin cewek itu bisa buat Mamat bahagia di sana. Aku mah apa, cewek biasa aja. Enggak punya kelebihan apapun.”
“Taa ….”
“Gapapa, wajar kan kalau pacaran jarak jauh emang gini. Pasti Mamat di sana merasa kesepian dan butuh seseorang yang selalu ada di sampingnya. Tapi sayangnya itu bukan gue,” ujar Jelita, tertawa miris.
Bagus yang melihat Jelita seperti ini justru semakin tidak tega. Bagus yakin sekali jika hati Jelita kini sangat terluka parah.
“Lo yang sabar, ya, Ta. Gue yakin nanti Tuhan akan kasih lo kebahagiaan.”
Jelita tersenyum tipis dan menyakini apa yang dikatakan Bagus itu nanti akan menjadi kenyataan. Bukankah apa yang dikatakan manusia itu semuanya sebuah doa? Maka dari itu Jelita mau mengaminkan segala doa baik untuknya.
Tak lama pesanan mereka datang. Bagus dan Jelita langsung menyantap dengan lahap. Ya, meski hanya Bagus saja yang makan lahap dan Jelita lebih memilih diam sambil menatap pecel ayam di depannya.
Menyadari jika Jelita tak makan membuat Bagus mendongak. “Taa ...,” lirih Bagus. Ia menjadi tak berselera makan karena melihat Jelita yang tiba-tiba menangis.
Bagus pun akhirnya mengambil tisu gulung yang memang disediakan oleh si penjual. Bagus memberikan kepada Jelita.
“Gue salah apa, sih? Kayaknya Mamat tega banget nyakitin gue bertubi-tubi. Padahal gue di sini setia menunggu kedatangan dia sampai selesai kuliah, tapi dia? Dia selingkuh di sana, Gus. Salahkah kalau gue minta putus? Hati gue sakit digantung dan enggak dihargai begini.” Jelita terus meluapkan segala unek-uneknya kepada Bagus.
“Lo nggak salah minta putus. Dia aja yang nggak bersukur udah punya lo tapi main di belakang sama cewek lain. Biar gue telepon Matheo sekarang, Ta. Biar gue maki-maki tuh orang,” tekan Bagus dengan tegas.
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m