Share

7 - Cemburu Buta; Hilang Logika

Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”

“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”

“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.

Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.

“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”

Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”

Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.

“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang langsung berjalan menuju ke arah pintu dan segera membukanya.

Ceklek.

“Eh Kak Bagus,” sapa Sasha dengan ceria. “Bawa apa tuh?” tanya Shasa penasaran.

“Jus sama makanan. Lo udah makan juga, Sha?”

“Belum.”

“Yaudah makan bareng aja yuk, mumpung bawa tiga porsi nih.” Bagus langsung berjalan masuk dan menuju ke meja nakas untuk menaruh makanan yang dibawanya, tak lupa juga ia mengeluarkan segala makanan yang dibawa satu persatu. “Kirain Prita masih di sini makanya beli tiga. Pas dia kasih kabar gue udah di jalan ke sini, telat banget tuh bocah kasih tahu,” tuturnya.

“Yaudah kan ada Shasa. Kita bisa makan bersama,” sambar Jelita.

“Mau, Sha?” tawar Bagus sekali lagi.

“Mau dong,” sahut Shasa antusias.

Dan akhirnya mereka bertiga makan bersama—sesekali Shasa berceloteh tentang kisah di sekolah SMA-nya. Apalagi dia masih baru menjadi anak yang berseragam putih abu-abu itu.

Saat sedang fokus mendengarkan cerita Shasa, tiba-tiba ponsel milik Bagus berdering lumayan kencang sampai membuat Shasa menghentikan ceritanya.

“Sorry tadi lupa silent, lanjutin aja.” Bagus langsung berdiri dan mengambil ponsel miliknya yang memang diletakkan di atas nakas. Keningnya mengerut kala melihat nama Rendi tengah menelepon.

Tak enak dengan kedua perempuan yang berada di sana, Bagus langsung pamit keluar sebentar untuk mengangkat telepon dari Rendi.

“Guys, gue keluar duluan, ya. Rendi telepon.”

Jelita mengangguk dan kembali fokus makan sambil mendengarkan cerita Shasa yang terus berlanjut. Soal dia yang menembak cowok duluan hingga memutuskan secara sepihak.

Merasa aman untuk mengangkat telepon, Bagus langsung menggeser tombol icon berwarna hijau ke samping.

“Halo, Ren.”

“Di mana lo?’”

“Kos-an Lita.”

“Ciye … betah juga lo di kos-an dia.”

“Lita lagi sakit makanya gue ke sini.”

Rendi berdeham pelan dan tersenyum lebar meski Bagus tak melihatnya. “Sikatlah, Gus. Lo udah suka dari SMA juga. Soal Matheo gampanglah.”

“Ngaco lo. Meski gue sayang sama Lita, tapi enggak semestinya ngerusak hubungan mereka.”

“Hahaha, kacau lo, Gus! Cinta itu butuh pengorbanan, Gus.”

“Iya gue tahu, Ren. Tapikan enggak harus merusak hubungan orang, ‘kan?”

“Iya, sih. Tapi feeling gue si Matheo di L.A juga udah ada cewek lagi. Lo lihat feed IG dia kan? Anjing banget kan dia? Kasihan Lita itu, Gus.”

Mendengar penuturan Rendi ada benarnya juga. Apalagi melihat Jelita menangis sewaktu itu dan memohon kepadanya agar tidak menghubungi dan mengatakan apapun kepada Matheo. Baginya Matheo laki-laki tolol yang pernah ia kenal. Bisa-bisanya menyia-nyiakan cewek sebaik Jelita.

“Benar ucapan lo, Ren. Matheo enggak bakalan setia sama Lita. Gue kasihan sama Lita yang disakiti terus.”

“Nah, saatnya lo maju. Matheo jauh bro, sikat aja secepatnya. Cewek kalau dipepet terus dan dikasih perhatian pasti akan klepek-klepek dan luluh. Apalagi Matheo gampang nyakitin Lita, beeuhh … gampang dilupain deh nanti. Gue jamin!”

Bagus mengangguk-angguk setuju.

“Eh, udah dulu, Gus. Si Dita teriak-teriak minta dianterin ke rumah Shelka nih. Bye.”

Akhirnya Bagus kembali ke dalam kamar kos Jelita dan ikut bergabung bersama Shasa. Mereka bertiga bahkan kembali mengobrol untuk menghibur Jelita yang tampak sedih juga murung meski tak mengatakannya.

***

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

12.00 waktu setempat.

Matheo yang memang hidupnya berubah 1800 dari kehidupannya di Jakarta dulu, Kini sedang asyik duduk-duduk bersama teman kuliahnya di salah satu coffe shop. Yang awalnya dulu tidak suka nongkrong sekarang kebalikannya. Yang awalnya tidak kenal alkohol justru sekarang sudah menjadi orang yang sangat adiktif. Untuk urusan seks? Matheo belum coba.

Lagi dan lagi telepon dari Rendi membuatnya kesal. Apalagi Rendi mengatakan jika kedekatan Jelita dan Bagus tidak bisa ditoleransi sama sekali.

“Jadi Bagus sering ke kos-an Lita?” tanya Matheo dengan rahang yang mengetat kuat. Jessie yang duduk di sebelahnya pun langsung diam dan memperhatikan temannya yang sedang mengobrol itu. Meski Jessie tidak tahu bahasa Indonesia, tapi dia paham jika kondisi Matheo sedang marah.

“Iya, bayangin aja lha, Mat. Cewek cowok satu kamar bisa-bisa kan setan masuk. Gue sih enggak mau menduga-duga,” kelakar Rendi sambil terkekeh ringan.

“Enggak usah dijelasin gue paham kok.”

“Iya, itu aja sih yang gue tahu. Mereka sering berdua di kamar kos Lita!” tambahnya yang membuat Matheo semakin merasa sesak mendengarnya. Dadanya terasa nyeri. Sakit.

“Oke, thanks, Ren.”

“Hm, sebaiknya putus aja. Buat kebaikan lo berdua juga.”

“Nanti gue pikir-pikir lagi.”

“Yaudah dulu, ya. Di sini udah jam dua pagi dan gue belum tidur demi telepon lo doang nih,” dengkus Rendi, pura-pura kesal.

“Sorry, nanti gue ganti waktu istirahat lo sama hadiah.”

“Whoa, thanks banget lho, Mat.”

“Sama-sama.”

Matheo langsung memutuskan sambungan teleponnya. Matanya menyorot tajam ke depan dengan rahang yang terus mengetat kuat hingga terdengar suara gemeletuk gigi. Kepalan tangannya yang kuat pun membuat buku-buku jarinya memutih.

“What happen?”

“Nothing. I have go to home.”

Jessie hanya mengangguk sebagai jawaban—meski hatinya penasaran. Lain hal dengan Matheo yang berjalan cepat menuju parkiran dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Jarum spidometernya pun sampai menukik tajam.

Rasa sesak yang dialami membuat pikiran dalam otaknya tak bisa bekerja dengan waras. Pikirannya pun membayangkan Jelita bercumbu mesra dengan Bagus di kamar kos.

“Shit! Shit! Shit!”

Matheo memukul kuat setir mobilnya, dan memilih berhenti di bahu jalan karena merasa kesal luar biasa. Tiba-tiba Matheo langsung mengambil ponselnya yang memang diletakkan di dalam dasboar.

Rasa ingin memarahi Jelita pun benar-benar mendominasi perasaan Matheo saat ini. Bahkan Matheo langsung menghubungi nomor Jelita tanpa ampun.

“Angkat, Ta! Gue enggak peduli di sana tengah malam!”

Terdengar suara gemeresak di seberang telepon yang membuat Matheo mendesah lega. Tak ingin hilang kesempatan pun Matheo buru-buru membuka suaranya.

“Maksud lo apa, Ta, tidur sama Bagus, hah!” bentak Matheo lantang.

“Hah, maksudnya?”

Matheo memejamkan mata sambil menahan hawa kesalnya yang sudah di puncak ubun-ubun kepala. Matheo tahu kalau Jelita masih belum sadar seratus persen karena dari cara bicaranya saja masih tampak menggerunyam.

“Jawab, Ta! Ini cara lo biar putus sama gue, hah? Lo kalau mau selingkuh jangan sama Bagus! Dia itu sahabat gue. Lo harusnya tahu dong, Ta! Kalau begini lo sama aja kayak jalang tahu nggak! Nyesel gue kenal lo!”

“Mat ….”

“Kita putus!” seru Matheo lantang. Napasnya menderu hebat karena merasa sakit hati luar biasa. Bahkan setelah mengatakan kalimat terakhir itu hatinya masih terasa nyesak. “Cewek tukang selingkuh cocoknya sama cowok pengkhianat! Dan itu emang cocok untuk lo berdua,” ujar Matheo untuk menenangkan hatinya sendiri—kalau yang diucapkannya itu memang sudah tepat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Titi Qodariah
ngeselin banget ya mateo g mrasa bersalah.. terlebih yg jahat tuch rendy..dia ngadu domba mamat sm bagus..sdh gitu mamat cm percaya sm dia.. sengaja bngtt spy mamat balik sm shelka..smoga jelita kuat n buktikan kl rendy yg jahat..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status