Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”
“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”
“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.
Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.
“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”
Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”
Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.
“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang langsung berjalan menuju ke arah pintu dan segera membukanya.
Ceklek.
“Eh Kak Bagus,” sapa Sasha dengan ceria. “Bawa apa tuh?” tanya Shasa penasaran.
“Jus sama makanan. Lo udah makan juga, Sha?”
“Belum.”
“Yaudah makan bareng aja yuk, mumpung bawa tiga porsi nih.” Bagus langsung berjalan masuk dan menuju ke meja nakas untuk menaruh makanan yang dibawanya, tak lupa juga ia mengeluarkan segala makanan yang dibawa satu persatu. “Kirain Prita masih di sini makanya beli tiga. Pas dia kasih kabar gue udah di jalan ke sini, telat banget tuh bocah kasih tahu,” tuturnya.
“Yaudah kan ada Shasa. Kita bisa makan bersama,” sambar Jelita.
“Mau, Sha?” tawar Bagus sekali lagi.
“Mau dong,” sahut Shasa antusias.
Dan akhirnya mereka bertiga makan bersama—sesekali Shasa berceloteh tentang kisah di sekolah SMA-nya. Apalagi dia masih baru menjadi anak yang berseragam putih abu-abu itu.
Saat sedang fokus mendengarkan cerita Shasa, tiba-tiba ponsel milik Bagus berdering lumayan kencang sampai membuat Shasa menghentikan ceritanya.
“Sorry tadi lupa silent, lanjutin aja.” Bagus langsung berdiri dan mengambil ponsel miliknya yang memang diletakkan di atas nakas. Keningnya mengerut kala melihat nama Rendi tengah menelepon.
Tak enak dengan kedua perempuan yang berada di sana, Bagus langsung pamit keluar sebentar untuk mengangkat telepon dari Rendi.
“Guys, gue keluar duluan, ya. Rendi telepon.”
Jelita mengangguk dan kembali fokus makan sambil mendengarkan cerita Shasa yang terus berlanjut. Soal dia yang menembak cowok duluan hingga memutuskan secara sepihak.
Merasa aman untuk mengangkat telepon, Bagus langsung menggeser tombol icon berwarna hijau ke samping.
“Halo, Ren.”
“Di mana lo?’”
“Kos-an Lita.”
“Ciye … betah juga lo di kos-an dia.”
“Lita lagi sakit makanya gue ke sini.”
Rendi berdeham pelan dan tersenyum lebar meski Bagus tak melihatnya. “Sikatlah, Gus. Lo udah suka dari SMA juga. Soal Matheo gampanglah.”
“Ngaco lo. Meski gue sayang sama Lita, tapi enggak semestinya ngerusak hubungan mereka.”
“Hahaha, kacau lo, Gus! Cinta itu butuh pengorbanan, Gus.”
“Iya gue tahu, Ren. Tapikan enggak harus merusak hubungan orang, ‘kan?”
“Iya, sih. Tapi feeling gue si Matheo di L.A juga udah ada cewek lagi. Lo lihat feed IG dia kan? Anjing banget kan dia? Kasihan Lita itu, Gus.”
Mendengar penuturan Rendi ada benarnya juga. Apalagi melihat Jelita menangis sewaktu itu dan memohon kepadanya agar tidak menghubungi dan mengatakan apapun kepada Matheo. Baginya Matheo laki-laki tolol yang pernah ia kenal. Bisa-bisanya menyia-nyiakan cewek sebaik Jelita.
“Benar ucapan lo, Ren. Matheo enggak bakalan setia sama Lita. Gue kasihan sama Lita yang disakiti terus.”
“Nah, saatnya lo maju. Matheo jauh bro, sikat aja secepatnya. Cewek kalau dipepet terus dan dikasih perhatian pasti akan klepek-klepek dan luluh. Apalagi Matheo gampang nyakitin Lita, beeuhh … gampang dilupain deh nanti. Gue jamin!”
Bagus mengangguk-angguk setuju.
“Eh, udah dulu, Gus. Si Dita teriak-teriak minta dianterin ke rumah Shelka nih. Bye.”
Akhirnya Bagus kembali ke dalam kamar kos Jelita dan ikut bergabung bersama Shasa. Mereka bertiga bahkan kembali mengobrol untuk menghibur Jelita yang tampak sedih juga murung meski tak mengatakannya.
***
Los Angeles, California, Amerika Serikat.
12.00 waktu setempat.
Matheo yang memang hidupnya berubah 1800 dari kehidupannya di Jakarta dulu, Kini sedang asyik duduk-duduk bersama teman kuliahnya di salah satu coffe shop. Yang awalnya dulu tidak suka nongkrong sekarang kebalikannya. Yang awalnya tidak kenal alkohol justru sekarang sudah menjadi orang yang sangat adiktif. Untuk urusan seks? Matheo belum coba.
Lagi dan lagi telepon dari Rendi membuatnya kesal. Apalagi Rendi mengatakan jika kedekatan Jelita dan Bagus tidak bisa ditoleransi sama sekali.
“Jadi Bagus sering ke kos-an Lita?” tanya Matheo dengan rahang yang mengetat kuat. Jessie yang duduk di sebelahnya pun langsung diam dan memperhatikan temannya yang sedang mengobrol itu. Meski Jessie tidak tahu bahasa Indonesia, tapi dia paham jika kondisi Matheo sedang marah.
“Iya, bayangin aja lha, Mat. Cewek cowok satu kamar bisa-bisa kan setan masuk. Gue sih enggak mau menduga-duga,” kelakar Rendi sambil terkekeh ringan.
“Enggak usah dijelasin gue paham kok.”
“Iya, itu aja sih yang gue tahu. Mereka sering berdua di kamar kos Lita!” tambahnya yang membuat Matheo semakin merasa sesak mendengarnya. Dadanya terasa nyeri. Sakit.
“Oke, thanks, Ren.”
“Hm, sebaiknya putus aja. Buat kebaikan lo berdua juga.”
“Nanti gue pikir-pikir lagi.”
“Yaudah dulu, ya. Di sini udah jam dua pagi dan gue belum tidur demi telepon lo doang nih,” dengkus Rendi, pura-pura kesal.
“Sorry, nanti gue ganti waktu istirahat lo sama hadiah.”
“Whoa, thanks banget lho, Mat.”
“Sama-sama.”
Matheo langsung memutuskan sambungan teleponnya. Matanya menyorot tajam ke depan dengan rahang yang terus mengetat kuat hingga terdengar suara gemeletuk gigi. Kepalan tangannya yang kuat pun membuat buku-buku jarinya memutih.
“What happen?”
“Nothing. I have go to home.”
Jessie hanya mengangguk sebagai jawaban—meski hatinya penasaran. Lain hal dengan Matheo yang berjalan cepat menuju parkiran dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Jarum spidometernya pun sampai menukik tajam.
Rasa sesak yang dialami membuat pikiran dalam otaknya tak bisa bekerja dengan waras. Pikirannya pun membayangkan Jelita bercumbu mesra dengan Bagus di kamar kos.
“Shit! Shit! Shit!”
Matheo memukul kuat setir mobilnya, dan memilih berhenti di bahu jalan karena merasa kesal luar biasa. Tiba-tiba Matheo langsung mengambil ponselnya yang memang diletakkan di dalam dasboar.
Rasa ingin memarahi Jelita pun benar-benar mendominasi perasaan Matheo saat ini. Bahkan Matheo langsung menghubungi nomor Jelita tanpa ampun.
“Angkat, Ta! Gue enggak peduli di sana tengah malam!”
Terdengar suara gemeresak di seberang telepon yang membuat Matheo mendesah lega. Tak ingin hilang kesempatan pun Matheo buru-buru membuka suaranya.
“Maksud lo apa, Ta, tidur sama Bagus, hah!” bentak Matheo lantang.
“Hah, maksudnya?”
Matheo memejamkan mata sambil menahan hawa kesalnya yang sudah di puncak ubun-ubun kepala. Matheo tahu kalau Jelita masih belum sadar seratus persen karena dari cara bicaranya saja masih tampak menggerunyam.
“Jawab, Ta! Ini cara lo biar putus sama gue, hah? Lo kalau mau selingkuh jangan sama Bagus! Dia itu sahabat gue. Lo harusnya tahu dong, Ta! Kalau begini lo sama aja kayak jalang tahu nggak! Nyesel gue kenal lo!”
“Mat ….”
“Kita putus!” seru Matheo lantang. Napasnya menderu hebat karena merasa sakit hati luar biasa. Bahkan setelah mengatakan kalimat terakhir itu hatinya masih terasa nyesak. “Cewek tukang selingkuh cocoknya sama cowok pengkhianat! Dan itu emang cocok untuk lo berdua,” ujar Matheo untuk menenangkan hatinya sendiri—kalau yang diucapkannya itu memang sudah tepat.
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Saat ini Jelita tengah difokuskan dengan pembukaan kafe baru di kawasan Kemang. Jelita yang mendapat kepercayaan dari Gilang tidak ingin mengecewakan laki-laki itu sedikit pun meski dulunya mereka berdua pernah menjalin kedekatan.Jelita tampak sibuk membantu membuat minuman di counter depan. Karena ia tidak menyangka akan serame ini pengunjung yang datang.Di saat sedang membuat kopi expresso matanya terkejut dengan kedatangan Sasha yang memasuki kafe, dan memilih duduk di meja paling pojokan yang terhalang pilar. Jelita pun segera menyelesaikan dan menyuruh pelayan untuk mengantar ke nomor meja yang memesannya. Jelita langsung segera berjalan menuju ke arah Sasha yang tampak tersenyum semringah.“Sha, kamu sendirian aja ke sini?” tanya Jelita saat sampai di depan meja Sasha.Gadis itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. “Tadi ke Dharmawangsa, dan tanya orang sana kalau Kak Lita dipindah ke sini.”Jelita terseny