Abigail mengangguk, setengah tersenyum,“Maaf, aku hanya penasaran saja. Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok!" ucapnya buru-buru. Ia mengambil tas tangannya dan bersiap untuk pergi namun suara Noah menghentikannya.“Aku dan Beatrice tidak sedang menjalin hubungan, maksudku, aku akan berada di sisinya kapan pun dia membutuhkanku untuk urusan kehamilan, tapi kami…” dia berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam membuat Abigail menunggu dengan tidak sabar. “Maksudku semuanya tidak lagi sama antara aku dan dia,” dia menyelesaikan perkataannya lalu merasa bodoh setelah itu karena dia tidak tahu kenapa dia merasa perlu menjelaskannya kepada Abigail.Abigail hanya mengangguk dua kali, dia harus tetap tenang agar Noah tetap penasaran padanya. "Menurutku itu keputusan yang sangat bagus," jawabnya memberi semangat kemudian melanjutkan langkahnya berjalan menuju lift."Tentang kesepakatan kita!" teriak Noah yang kembali menghentikan langkah Abigail dan membuatnya berbalik. "Ya?"Belum
Mereka berjalan beriringan di lorong, menuju ke dalam lift yang akan membawa mereka ke kamar presiden suite. Abigail menelan ludahnya dengan gugup. Walaupun semuanya adalah bagian dari rencana tapi kenapa dia merasakan perutnya mual dan jantungnya berdebar kencang, bahkan telapak tangannya berkeringat dan dia yakin Noah juga bisa merasakan kegugupannya.Noah tidak mengatakan apa pun tetapi rahangnya yang mengeras mengatakan segalanya, dia pasti sangat marah pada Beatrice karena dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka telah sampai di kamar, Noah membuka pintu dan mengajak Abigail masuk. Saat pintu tertutup, Noah menyudutkannya ke dinding membuatnya semakin gugup. Abigail tahu seharusnya ia tidak gugup, kata orang bijak, gugup berarti peduli. "Untuk apa kau peduli? Jangan bilang kau menganggap serius hubungan tanpa status yang sedang kalian jalani? Itu kan hanya alat untuk memuluskan rencana balas dendammu! Ayolah, jangan terbawa suasana!" Abigail menggelengkan kepalanya,
"Karena hidup terkadang tidak adil! Kau tahu apa? Aku tidak ingin membicarakannya lagi," ucap Abigail, dia tidak ingin Noah menggali lebih dalam kehidupannya. Dia mengambil pakaiannya dan membawanya ke kamar mandi, beberapa menit kemudian dia kembali ke kamar dan sudah berpakaian lengkap.“Kita harus kembali ke kantor, banyak sekali yang harus diselesaikan,” ucapnya tegas, dia ingin Noah melihat bahwa dia bisa melakukan semuanya dengan profesional.Noah mengangguk, tidak membantah sama sekali. Dia mengambil pakaiannya lalu berganti pakaian dengan cepat. Dia bahkan tidak repot-repot bersembunyi dari Abigail yang berpura-pura fokus menatap ponselnya. "Panggil Paul!" ucap Noah sambil memakai sepatunya."Ya Tuan!" ucap Abigail yang membuat Noah mendengus, "Sudah kubilang panggil aku Noah kalau kita berada di luar kantor," ucapnya, intonasi bicaranya yang lembut entah mengapa membuat Abigail merasa nyaman. Sebelumnya dia meremehkan kemampuan Noah untuk membuatnya jatuh cinta padanya. Tern
Abigail tahu sebenarnya itulah yang dia inginkan untuk terjadi, melihat Noah Zimmerman jatuh cinta kepadanya. Melihat cara Noah memperlakukannya, sepertinya tujuan itu akan menjadi kenyataan. Tapi masalahnya, Abigail mulai merasakan hal yang sama, dia merasakan percikan aneh itu di hatinya setiap kali Noah berada di dekatnya dan itu tidak boleh terjadi. Perasaan itu hanya akan menghalanginya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, membalaskan dendam orang tuanya."Hei, Aby! Abigail!" panggil Noah membangunkannya dari pemikiran panjangnya. "Ya?" dia berbalik karena terkejut. "Jadi yang mana? Kau sudah menemukan koper yang kau inginkan?" tanya Noah sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya, dia baru saja selesai berbicara dengan ayahnya. Abigail mengangguk, “Ya, yang itu!” Dia mengarahkan jarinya ke sebuah koper hitam yang harganya tidak terlalu mahal, setidaknya seseorang yang bekerja sebagai sekretaris seperti dia masih mampu membelinya. Yah, walaupun sebenar
Ponsel Noah berdering tepat sebelum mereka naik ke pesawat, panggilan dari ibunya. Dia mengabaikan panggilan itu dan langsung menuju tempat duduknya, Abigail menelan ludah dengan gugup, jika Laura memaksa putranya untuk memecatnya, maka dia harus mencari cara lain untuk masuk ke rumah mereka untuk mendapatkan bukti.“Duduklah di sini,” kata Noah sambil menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Abigail memasang wajah kesal dan menjatuhkan diri di atas kursi tersebut."Kenapa kau memasang wajah seperti itu?" goda Noah sambil memasang sabuk pengamannya.Abigail hanya menghela nafas panjang, dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Orang-orang pasti akan mengira mereka sedang menjalin hubungan bahkan sebelum dia bisa membuktikan dirinya memiliki kemampuan bisnis. Dia membutuhkan pengakuan itu untuk mengesankan orang tua Noah dan kesempatan itu mungkin tidak lagi sama setelah ciuman Noah yang mendarat tiba-tiba dibibirnya tadi."Ada apa?” tanya Noah.Abigail menoleh ke arahnya, mengira Noah sedan
"Apa maksudmu sakit?" tanya Abigail sambil melotot heran. Maria menghela nafas panjang, "Dia menderita kanker, kanker payudara, stadium 3," ucapnya ragu-ragu.Abigail merasa dunia berputar terlalu cepat sehingga dia bisa merasakannya, keringat dingin mengalir dari belakang leher hingga ke punggungnya."Ya Tuhan, tunggu sebentar," kata Abigail sambil membungkuk dengan mata tertutup rapat membuat Maria menatapnya dengan cemas."Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Maria dengan lembut. Abigail menegakkan punggungnya dan mengangguk, "Ya, aku hanya, kau tahu aku masih berusaha memprosesnya..." ucapnya sambil menatap kosong ke arah rumput hijau di sekitar koridor.Maria mendekat, dan menepuk punggungnya dengan lembut, "Mau pergi menemuinya?""Iya, tentu! Kurasa karena itulah aku ada di sini, untuk menemuinya," dia tercekat kemudian berjalan berdampingan dengan Maria menuju ruangan tempat ibunya dirawat selama ini."Helena, lihat siapa yang datang!" ucap Maria enteng sambil memasukkan PIN unt
Abigail menahan nafasnya, dan menatap Zach dengan mata melotot, dia benar-benar tidak menyangka Zach akan menanyakan pertanyaan itu. Tiba-tiba dia mendengar Noah menghela nafas panjang, "Entah dari mana kamu mendengar rumor itu, tapi aku bisa memastikan kalau itu tidak benar, aku sudah memastikannya," ucapnya terdengar tidak yakin.Abigail mendengus, menyebabkan Noah menoleh ke arahnya dengan heran. "Maaf, ada sesuatu di hidungku," ucapnya sambil mengusap hidungnya beberapa kali. Seharusnya dia bisa lebih menahan diri, bagaimana jika Noah curiga?"Bagaimana kau bisa begitu yakin padahal aku yakin saat itu kau pasti hanyalah seorang remaja yang tidak mengerti apa-apa tentang bisnis," ucap Zach mencoba mematahkan argumen Noah. Abigail menyipitkan mata, bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan Zach di kepalanya.Noah mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu di dalamnya lalu segera menunjukkan layar ponselnya kepada Zach.“Orang itu adalah Direktur Teknik yang meninggal dan orang di s
"Kau sudah siap?" tanya Noah melalui interkom. “Ya beri aku waktu lima menit aku akan segera keluar,” kata Abigail cepat. “Oke, aku akan menunggu di lobi,” ucap Noah kemudian mengakhiri panggilannya. Dengan tergesa-gesa, Abigail memasangkan anting di telinganya dan mengikat rambutnya menjadi messy bun yang menawan. Tepat lima menit kemudian stiletto miliknya bergema di lorong hotel, melangkah dengan cepat.Di ruang tunggu Lobby, Abigail bisa melihat Noah yang sedang duduk menunggu sambil menatap ponselnya. Seolah digerakkan oleh kekuatan tak terlihat, Noah tiba-tiba mendongak dan matanya bertemu dengan mata Abigail yang sedang menatapnya dengan saksama. Noah langsung terpesona seketika, kecantikan Abigail benar-benar membuatnya gugup hingga ia tak bisa memahami perasaannya sendiri."Shall we?" kata Abigail, berhenti tepat di depan Noah."Ya, ayo pergi!" ucap Noah seraya bangkit berdiri, mereka berjalan berdampingan menuju lobi hotel. Saat Noah menerima kunci dari Vallet, Abigail m