Allah memang Maha Besar. Pertempuran yang tetap tidak seimbang itu, akhirnya dimenangkan oleh ustadz Yusuf dan sang pemuda asing, meski ustadz Yusuf harus terluka.
“Kita istirahat di sana dulu, Kek,” ajak pemuda itu. Dibimbingnya ustadz Yusuf ke sebuah gubug yang tak jauh dari tempat mereka bertempur. Setelah mendudukkan ustadz Yusuh disebuah balai bambu, pemuda itu bergegas mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai obat.
“Terima kasih, anak muda. Tapi, kalau boleh tahu, kamu ini siapa dan darimana? Terus, kenapa kamu bisa ada di hutan ini?” cecar ustadz Yusuf ketika pemuda itu tengah mengobati lukanya akibat cakaran dari makhluk mengerikan yang menjadi lawannya.
Pemuda itu mengulas senyum tipis sebelum menjawab pertanyaan ustadz Yusuf.
“Saya, Bakhtiar Alfarizi, Kek. Kakek, bisa panggil saya, Bakhtiar. Kebetulan, saya memang sedang menunggu Kakek,” jawab
Hai, apa kabar? maaf lama author lama menghilang. Tapi, sekarang author telah kembali untuk mengantarkan si kembar. Terima kasih untuk yang telah setia menunggu
Meninggalkan padepokan kiai Ummar, jauh di desa Damai, tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik. Dengan dandanan bak orang kota, wanita itu tengah memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menghancurkan sebuah kedai kecil. “Cepat, hancurkan tempat ini!” teriaknya. Rambut panjang wanita itu dibiarkan tergerai dan berkibar tertiup angin. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. Desa Damai tak lagi sedamai namanya. Kehancuran dan bencana terjadi sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya sejak awal kedatangan wanita itu. Siapakah wanita itu? Wanita itu adalah Watina, biasa disapa Wati. Putri tunggal Sarina dan Suryaman, sepupu dari Mayasari, bibi dari si kembar. Dialah yang telah menghasut warga hingga mereka tega membakar keluarga Mayasari. Sejak tragedi sepuluh tahun lalu, Wati yang telah kehilangan sel
“Paman,” sapa Wati sesopan mungkin. “Ayo, ke pondok, bibimu sudah menunggu di dalam,” ajak Widarta. Wati mengikuti langkah Widarta menuju pondok. Pria itu meminta Wati langsung masuk ke dalam pondok setelah mereka sampai. “Duduklah,” ujar Haruni meminta Wati untuk duduk. Setelah duduk, wanita itu baru menyadari sesuatu. Ia pun menatap bergantian kepada Haruni dan Widarta. ‘Wajah mereka ... kenapa bisa berubah. Bibi, menjadi sangat cantik dan paman, dia ... tampan sekali berbeda dengan saat bertemu di luar tadi’ monolog Wati dalam hati. Haruni yang menyadari hal itu hanya tersenyum miring. ‘Anak ini pasti terkejut dengan perubahan kami’ batin wanita paruh baya yang kini terlihat sangat cantik itu. “Ekheem ... Ada apa Bibi ingin aku datang ke sini?
Setelah para warga pulang ke rumah masing-masing, ustadz Yusuf diikuti kedua putranya dan Bakhtiar memilih masuk untuk melaksanakan salat isya terlebih dahulu sebelum melaksanakan upacara pernikahan. “Nak Tiar, kenalkan, ini putra sulung kakek, Azzam, kamu bisa memanggilnya paman Azzam. Sedangkan yang di sebelahnya, adalah paman Fikri, putra kedua kakek,” ujar ustadz Yusuf memperkenalkan kedua putranya pada Bakhtiar. Dengan takzim, Bakhtiar menyalami mereka berdua. “Senang bisa berkenalan dengan Paman berdua,” ujar Bakhtiar. “Kami, juga senang bisa berkenalan denganmu. Besar harapan kami agar kamu bisa menyelamatkan Dara dan Diandra. Seperti yang kamu tahu, mereka bukanlah keluarga kandung kami, tetapi bagi kami, mereka adalah keluarga kami,” tutur Azzam mewakili Fikri. “Tentu, Paman. Saya akan
“Dia, masih hidup. Aku harus segera mencari bantuan,” gumam pemuda itu. Ia kemudian mengayuh sepedanya dengan cepat kembali desa untuk mencari pertolongan. “Tolong! Tolong!” teriak pemuda itu sambil mengayuh sepedanya. “Dik! Didik!” pemuda itu menghentikan sepedanya saat sayup-sayup mendengar ada yang memanggil namanya. Dilihatnya seorang pria tengah berjalan mendekatinya. “Kenapa kamu teriak-teriak begitu, Dik?” tanya pria itu. “I-Itu Pak Sigit, ada ... ada korban kejahatan yang dibuang ke desa kita. Di-dia ada di bawah pohon besar di ujung jalan. Denyut nadinya sangat lemah tetapi dia masih hidup,” terang pemuda bernama Didik itu. “Jangan menyebar berita yang tidak benar, Dik. Jika warga mendengar ini, bisa menimbulkan keresahan. Kau tahu,
Melihat Ustadz Yusuf yang masih terdiam, membuat rasa penasaran dalam diri kedua gadis kembar itu semakin besar. “Kek, ayolah, ceritakan lagi pada kami,” rengek Dara sambil bergelayut di bahu kiri ustadz Yusuf. “Iya, Kek, Andra juga penasaran lho,” kali ini, Diandra yang membujuk ustadz Yusuf. Pria tua itu, merasa semakin dilema tetapi dia harus melakukan sesuatu agar kedua gadis kembar itu tak lagi merengek padanya. “Baiklah, kakek akan cerita, tetapi tidak sekarang,” tukas ustadz Yusuf. “Yaa, Kakek, kok gitu!” seru mereka kompak. “Ada apa, ini? Ramai sekali,” ujar Halimah yang tiba-tiba hadir di sana. “Oh, itu Nek, kami sedang menonton berita kejahatan yang lagi ramai saat ini,” jawab ustadz Yusuf yang tak sepenu
Beberapa hari kemudian, ustadz Yusuf memanggil Dara dan Diandra ke ruang pribadinya. Sesuai janjinya, hari ini ia akan menceritakan semuanya kepada kedua gadis kembar itu. Dilema yang dialaminya menghilang sudah setelah ia teringat ucapan kiai Ummar. Ia juga sudah menghubungi Bakhtiar dan meminta pemuda itu untuk bersiap jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu. “Hari ini, kakek sudah siap menceritakan semuanya pada kalian. Apa, kalian yakin, ingin mendengar keseluruhan ceritanya?” tanya ustadz Yusuf pada kedua gadis kembar itu. “Iya, Kek,” jawab mereka serempak. Ustadz Yusuf tampak menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum kakek mulai bercerita, bisakah kalian ceritakan kembali mimpi yang kalian alami kepada kakek?” pancing ustadz Yusuf. “Iya, Kek. Waktu itu, Dara seperti dibawa ke r
Tubuh kedua gadis kembar itu tampak limbung dan jatuh ke tanah begitu mereka memasuki halaman rumah yang sepuluh tahun ini mereka tempati. Tampak asap tebal membubung tinggi pada salah satu tubuh gadis itu. Bakhtiar, yang mengawasi dari dalam rumah bergegas keluar saat melihat asap tebal itu semakin menipis dan menghilang. Kini, hanya ada satu tubuh gadis yang tergeletak di halaman rumah itu. Bakhtiar membopong tubuh gadis yang telah dinikahinya secara gaib beberapa hari lalu ke dalam rumah. Dibaringkannya tubuh itu ke atas ranjang. Setelah menyelimuti gadis itu, Bakhtiar keluar dari kamar menuju dapur. Pemuda itu tampak sedang menyeduh teh hangat. Ditiupkannya do’a pada minuman itu, lalu dibawanya ke kamar dimana isterinya terbaring. Dipandanginya wajah gadis itu. Terngiang ucapan sang kakek sehari sebelum dia mengikuti ustadz Yusuf. ‘Tiar, setelah ikrar pernikahan itu, jika terjadi sesuatu pada kedu
“Kalian, tinggallah sebentar di sini, saat ini aku ada perlu keluar. Tidak lama, hanya satu atau dua jam saja,” ujar Bakhtiar. Kedua gadis kembar itu saling tatap, seolah saling menanyakan pendapat. “Bagaimana? Bisa, kan, kalian tinggal di sini dulu. Hanya sampai aku kembali,” ujar pemuda itu. “Baiklah, Mas, tapi tolong kabari kakek jika kami ada di sini,” sahut Dara. “Tentu, aku akan mengabari beliau,” jawab Bakhtiar. Setelah mengabari ustadz Yusuf sesuai permintaan Dara, Bakhtiar pun bergegas pergi. Dia sengaja mengendarai motornya tetapi dia langsung bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumah itu. Tanpa disadari kedua gadis itu, bersamaan dengan dirinya keluar dari rumah, Bakhtiar telah membuka kembali sebagian ingatan mereka tetang kejadian sebelum mereka tiba di rumah ini. Dengan