"Tentunya untuk menemui seseorang yang sangat penting. Mari ikut aku!” ajak Tuan Bell.
Lucius menatap Tuan Bell dengan heran. “Siapa yang kau maksud?”Tuan Bell tersenyum dan menjawab, “Seorang saksi mata yang mungkin bisa membantumu dalam menyelidiki kasus ini. Namanya Nyonya Agnes dari keluarga Rupert. Ya, dia adalah seorang nenek yang tinggal di dekat pemakaman itu. Dia menyaksikan sesuatu pada malam kejadian yang mungkin bisa membantumu.”Lucius mengangguk dan mengikuti Tuan Bell keluar dari ruangan. Mereka pergi ke mobil Tuan Bell dan pergi ke rumah Nyonya Agnes dari keluarga terpandang, Rupert.Nyonya Rupert sedang menyiram tanaman anggrek pemberian menantunya yang beberapa kali mengunjunginya sebelum kejadian makam kuno itu terjadi. Suara bel pintu terdengar hingga salah satu cucunya membuka pintu.Lucius terperanjat dengan sesosok anak kecil yang berumur 5 tahun itu. Dengan sopan, Lucius bertanya pada sang anak,”Nak, apakah ini tempat Nyonya Agnes dari keluarga Rupert?”Anak kecil itu menatap keduanya dengan tatapan polos dan berkata,“Iya, Paman siapa? Dan mengapa Paman mencari nenek saya?” tanya anak dengan nada suara yang cukup dimengerti Lucius.Dia menatap atasannya dan kembali meminta ijin pada anak itu untuk bertemu neneknya,”Apakah Paman boleh bertemu dengan nenekmu? Paman ingin menanyakan kabarnya.”Anak itu mengerti bahwa kedua orang di depannya adalah seorang yang baik,”Mari masuk, Paman. Neneeeek, ada yang ingin bertemu Nenek.” panggil anak itu.Nyonya Agnes yang sedang asyik menyiram anggrek kesayangannya tersadar bahwa hari di mana dia menelepon polisi kini akhirnya terjawab sudah.“Neneeeek…” panggil anak kecil itu lebih keras. Nyonya Rupert kemudian meletakkan keran air yang ia gunakan untuk menyiram seluruh tanaman anggreknya lalu menyambut panggilan sang cucu kesayangan.“Stephanie sayang, Nenek mendengar-” Nyonya Agnes terkejut dan ternganga melihat kedatangan dua orang yang memakai atribut resmi kepolisian. Lucius dan Tuan Bell kembali bertatapan satu sama lain dan menyapa Nyonya Rupert dengan sopan,"Halo, Nyonya Rupert. Kami dari Tim Penyelidikan bermaksud kemari untuk mengetahui kesaksian Anda. Bisakah kita berbicara sebentar?"“Anda berdua…”“Kami dari Kepolisian Diagon Alley, Nyonya Rupert.” kata Tuan Bell sambil menunjukkan identitas resminya sebagai Kepala Unit."Dan ini anak buah saya, Lucius Damien." Tuan Bell memperkenalkan Lucius pada Nyonya Rupert."Senang bertemu dengan Anda, Tuan Bell dan Tuan Damien." Wanita itu mengganggukkan kepalanya sambil memberi kesempatan pada para Tuan Polisi itu duduk,”Silakan duduk dulu. Anda berdua menyukai teh? Kopi? Atau secangkir rosella?”“Ah, kami tidak akan lama, Nyonya Rupert. Kedatangan kami ke sini untuk menanyakan sesuatu pada Anda terkait masuknya laporan atas nama Anda ke Saluran Siaga kami beberapa waktu lalu.” kata Lucius sopan.“Ah, aku ingat bahwa tuan rumah harus menjamu para tamunya dengan ramah dan jamuan hangat jadi biarkan aku membuatkan teh rosella hangat untuk kedua tamuku yang terhormat.”“Ah, Anda sangat baik sekali pada kami, Nyonya. Tidak usah sungkan-sungkan.”“Itu bukan sebuah masalah, Tuan. Baik, teh sudah siap.” Nyonya Rupert meletakkan nampan berisi dua teh rosella yang harum.“Silakan diminum, Tuan-tuan.” Tuan Bell dan Lucius merasa tidak enak hati untuk menembak Nyonya Rupert pada point pembicaraan sehingga mereka mengambil momen sejenak untuk menenangkan pikiran mereka yang sedikit mengeras karena kasus makam kuno itu. Setelah meminum sedikit teh buatan Nyonya Rupert, Tuan Bell membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan interogasi ringan.“Jadi, bisakah Nyonya menceritakan pada kami tentang apa yang Nyonya lihat pada waktu kemarin?” tanya Tuan Bell pelan.Nyonya Rupert mencoba membuka kembali ingatannya kala itu lalu membuka kesaksian,“Aku sedang jalan-jalan di makam kuno di wilayah itu kemarin siang. Aku melihat dua orang pria yang berbicara di dekat makam yang sudah lama tidak terpakai itu. Aku tidak merasa curiga pada saat itu. Namun, ketika saya ingin pergi, mereka pergi ke arah yang sama denganku. Aku berjalan lebih cepat untuk meninggalkan mereka, tapi mereka terus mengikutiku hingga ke luar pintu masuk makam,” cerita Nyonya Rupert dengan wajah yang terlihat cemas.“Apakah mereka mencoba melakukan sesuatu terhadap Anda, Nyonya?” tanya Tuan Bell.“Tidak, tapi saya yakin mereka memiliki niat jahat. Mereka tampak sangat mencurigakan dan terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu,” jawab Nyonya Rupert.“Lalu di mana Anda ketika saksi mata lain melihat kejadian setelahnya?” tanya Tuan Bell lagi.“Kejadian apa?” tanya Nyonya Rupert dengan ekspresi bingungnya. Lucius dan Tuan Bell berpandangan satu sama lain."Kami juga mendapatkan laporan bahwa ada tubuh tak bernyawa dengan dua titik luka di lehernya." jelas Lucius sambil menunjukkan foto bukti penyelidikan forensik.Nyonya Rupert tampak terkejut dan mengatupkan mulutnya dengan tangan kanannya,"Ini sungguh mengerikan, Tuan. Saya bahkan belum pernah melihat korban. Tampaknya korban bukanlah orang yang tinggal di daerah kami." katanya sambil menyerahkan lagi gambar bukti forensik pada Lucius."Itulah yang ingin kami tanyakan pada Anda, apakah Anda melihat ada sosok lain yang membunuh rekan tersangka setelah Anda memasuki rumah?" tanya Tuan Bell lagi pada wanita lansia itu.“Tidak, Tuan. Sesaat setelah aku melihat dua orang itu, aku memutuskan untuk tidak berlama di area dekat makam kuno." tandas sang empunya rumah.Lucius mulai merasakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya dari apa yang dikatakan oleh Nyonya Rupert kemudian mencoba membujuk Nyonya itu memberikan informasi yang lebih detail,”Apa yang sebenarnya terjadi, Nyonya? Apakah Anda mengetahui sesuatu terkait makam kuno itu?”“Karena…aku pernah mendengar bahwa makam itu cukup mengerikan. Selain itu... ” Nyonya Rupert tampak gamang untuk melanjutkan kata-katanya.Nyonya Agnes Rupert adalah seorang wanita yang sudah berusia lansia dan memiliki penglihatan yang buruk. Tapi meskipun begitu, dia tetap ingat betul apa yang terjadi pada malam kejadian.Dia menceritakan bahwa dia melihat dua orang yang mencurigakan di sekitar pemakaman pada malam kejadian. Salah satu dari mereka tampaknya sedang menggali kuburan, sementara yang lainnya berdiri menjaga.Nyonya Rupert terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ceritanya. “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi saat itu aku merasa ada yang tidak beres. Aku melihat kedua orang itu membawa beberapa barang yang terlihat berharga, dan aku merasa mereka bukanlah turis biasa yang hanya berkunjung untuk melihat-lihat.”Lucius mencatat informasi tersebut di dalam catatannya dan bertanya lagi, “Apakah Anda bisa mengingat tampilan atau ciri-ciri dari kedua orang itu, Nyonya?”Nyonya Rupert berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Mereka berdua berpakaian hitam dan memakai topeng. Aku tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas, tapi aku ingat salah satu dari mereka cukup tinggi dan kurus.”Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu