Share

MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA
MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA
Author: Ayraki96

1

MELETUSNYA PERUT ANTIKA RANDU

****

"Aduh, Bu! Perutku sakit sekali." Seorang perempuan muda datang bersama Ibunya ke rumah seorang Bidan Desa. Ia terus merintih sambil memegang perut buncitnya yang bergerak tak beraturan.

Bidan itu menautkan alis, ia heran sebab gerakan perut perempuan tersebut sangatlah tidak normal. Ia bahkan sudah memasang infus untuk berjaga-jaga jika pasien mengalami keadaan gawat darurat.

"Tu-tunggu sebentar, saya teleponkan Dokter kandungan yang saya kenal." ia gelagapan mencari telepon genggam yang entah terselip dimana.

Perempuan itu mulai meracau tidak jelas, keringat sebesar biji jagung meleleh dari dahinya.

"Oh, ya Allah. Ya Rabbi, sakit sekali!" pekik perempuan itu. Wajahnya memerah sebab menahan sakit.

Bidan itu akhirnya menemukan teleponnya, tak mau membuang waktu ia segera menelepon seseorang. Darsinah, melihat sang Bidan berjalan menjauhi mereka.

"Bu, apa Bidannya nggak bisa keluarin ini dari perutku? Minimal, dilihat dulu ini isinya apa. Antika nggak hamil." rintihnya sambil menahan perut yang bergerak ke kiri-kanan secara terus menerus.

"Sabar, Nduk. Mungkin Bidan mau kasih yang terbaik buat kamu. Tunggu, ya, Istighfar." ia berusaha menenangkan putrinya.

Antika kembali mengaduh, baju yang ia gunakan tersingkap hingga Darsinah bisa melihat permukaan kulit perut anaknya memar dan juga lebam di beberapa bagian. Ia mengelus perut Antika, dan bisa merasakan sesuatu bergerak di dalam sana.

"Ambulans akan segera datang, maaf, saya nggak bisa menangani anak Ibu. Ini keadaan darurat, Bu, Mbak, saya takut sesuatu terjadi pada Ibu dan bayi-"

"Saya tidak hamil, Bu, Demi Allah." potong Antika dengan napas tersengal.

"Apa?" Bidan itu terkejut.

Darsinah mengangguk, malam tadi perut anaknya baik-baik saja. Ia bahkan masih sempat membantu Antika memijat punggungnya yang katanya terasa sangat pegal.

"Anak saya benar, Bu. Tadi malam, perutnya rata. Tidak begini." ia berusaha meyakinkan.

Bidan itu menelan ludah, "Banyak kemungkinan, Bu, mungkin anak Ibu tidak merasa hamil. Sudah tepat jika kita memeriksakannya langsung ke rumah sakit. Disana peralatannya lebih lengkap. Nanti, kita akan tau keadaan yang sebenarnya."

Antika memalingkan kepalanya, ia menangis tersedu-sedan. Rasa sakit yang menyiksa berpusat pada perut dan punggungnya. Ia bahkan kesulitan bernapas. Saat bertarung melawan rasa sakit, ia melihat alat ultrasonografi.

"Bidan, tolong USG saya. Saya benar-benar tidak hamil. Setidaknya, lihat sekali saja." Antika memohon.

Bidan itu tampak ragu, namun melihat Antika yang sangat kesakitan membuatnya merasa kasihan. Ia sejujurnya yakin jika Antika itu tengah berbadan dua, namun dirinya tidak menyadarinya.

Ia segera mendekat, membantu Antika melepaskan celana agar bisa bergerak leluasa. Ia mengecek bagian bawah perempuan itu, berusaha mencari tau apa sudah terjadi pembukaan. Nihil, tak ada tanda-tanda pada orang yang akan melahirkan. Ia lantas mengambil sebuah benda berbentuk kecil dengan ujung lebar. Setelah mengoleskan gel pada permukaan perut Antika, ia lalu mulai memeriksa.

Gerakan di dalam perut semakin menggila, Antika berteriak karena rasa sakit yang teramat sangat. Bidan itu kembali menautkan alis saat melihat layar monitor, ia benar-benar tidak menemukan janin. Ia menatap perut Antika dan layar monitor secara bergantian.

"Tidak ada bayi, kan, Bu. Saya tidak hamil." Antika kembali berucap.

Bidan itu meletakkan alat USG, ia kemudian menekan bagian perut yang bergerak dan menonjol. Ia bisa merasakan jika apapun yang ada di dalam sana, memanglah bukan bayi. Gerakannya terasa kuat, ia seolah tengah menyentuh lengan manusia dewasa.

Suara ambulans terdengar, beberapa menit kemudian dua orang perawat laki-laki sudah berdiri di depan kamar yang biasa ia gunakan untuk praktek.

"Ada kursi roda? Pasien tidak bisa berjalan sendiri." ucap Bidan itu.

Satu lelaki mengangguk, lalu keluar untuk mengambil kursi roda. Antika yang terbaring di atas kasur menjerit, ia bahkan menghentak-hentakan kakinya.

"Allah, Allaaah!" pekiknya.

Perut Antika perlahan bertambah besar, Darsinah menjerit histeris sebab urat-urat kemerahan muncul di permukaan kulit.

"La ilaaha illallah!" Bidan itu membekap mulutnya.

Rasa takut menyelimuti siapapun yang melihat keadaan Antika, perempuan itu kejang-kejang dengan mulut mengeluarkan busa kemerahan. Ujung jari tangan dan kakinya membiru. Wajahnya seputih mayat.

"Cepat! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" teriak sang Bidan.

Dua lelaki itu berusaha mendekati Antika, dengan keadaan seperti itu mereka memilih akan menggendongnya saja. Perut pasien terus membesar dengan gerakan yang sangat mengerikan.

Tonjolan-tonjolan muncul dan berpindah-pindah dari sisi kiri ke kanan, lalu ke atas dan bawah. Mereka melihat selang infus yang berubah menjadi merah, seolah darah pasien naik dan mulai bercampur dengan air infus. Semuanya panik, Darsinah menepuk pipi Antika yang kini tak bergerak lagi.

"Bangun, Nak, bangun!" pekiknya.

Mata Antika terbuka, ia melotot lebar tak lama perempuan muda itu menggeram. Satu di antara perawat pria berusaha mengangkat kepala Antika, namun perempuan itu menyemburkan darah dari mulutnya. Semua orang kembali terkejut.

"Allahu Akbar!"

Suasana semakin genting ketika perut Antika berhenti bergerak. Perempuan itu menatap sang Ibu, tak lama air mata meleleh di pipinya. Darsinah mendekatinya dan berusaha mengangkat kepala putrinya.

Tangan Antika terulur, bibirnya bergerak kaku menyunggingkan senyuman yang terasa aneh.

"I-bu, to-long!" rintih Antika.

Terdengar suara dengungan dari perutnya, lalu ....

PLASSS!

Perut Antika meledak seperti balon yang meletus karena terlalu banyak diisi air. Aroma amis menguar, cairan kental berwarna merah itu mengenai seisi ruangan termasuk semua orang yang ada di dalam sana. Bidan yang berdiri di ambang pintu menjerit histeris, sedang Darsinah jatuh tak sadarkan diri di sebelah ranjang. Dua perawat laki-laki yang juga ikut melihat kejadian itu muntah-muntah, lalu tak lama ikut jatuh pingsan.

"A-apa ini?"

Bidan itu mundur perlahan, ia menelan ludah sedangkan pandangannya tak mampu beralih dari Antika yang terlentang di atas kasur. Perut perempuan itu robek, sedang isinya berhamburan keluar. Aroma anyir memenuhi penciumannya. Ia akan lari namun langkahnya terhenti saat melihat wajah Antika.

Dengan tubuh bersimbah darah, perempuan yang perutnya baru saja meletus itu tiba-tiba menyeringai ke arahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status