Share

Empat

MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (4)

****

Andaru jatuh, tungkai kakinya lemas. Matanya tak dapat berpindah dari sosok yang sekilas mirip Antika. Saat ia mengedipkan mata, sosok itu sudah tidak ada. Dada lelaki itu berdegup kencang, napasnya tak beraturan.

"Tanya pada bidan, siapa yang membersihkan darah, Tika, Pak!"

Andaru mendengar suara Darsinah dari dalam ruang praktek. Ia memegang dada yang terasa sakit, lalu berusaha bangkit dan berdiri. Apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya?

Rahman keluar dengan wajah sendu, ia menatap Andaru lekat. "Duduk saja, Le. Nanti kami akan ceritakan semua, Bapak harap kamu bisa menerima meskipun Bapak sendiri masih tidak percaya." ucapnya, lalu meninggalkan Andaru sendirian.

Lelaki itu berjalan tertatih, ia menemukan Darsinah duduk di atas lantai sambil memukul dadanya sendiri.

"Bu, katakan sebenarnya ada apa? Antika kenapa?"

Darsinah menoleh, tampak matanya sembap karena habis menangis.

Andaru berlutut, ia kembali menangis saat membayangkan wajah Antika. Kemarin pagi, ia bahkan masih sempat melakukan panggilan video. Ia tak menyangka jika itu adalah kali terakhirnya melihat senyuman manis, dan mendengar tutur kata lembut dari sang istri.

"Berjanjilah untuk tetap diam, Ndaru. Ibu akan mengatakan segalanya, asal kamu bisa menjaga mulutmu."

Terkejut, itu adalah hal pertama yang Andaru rasakan. Darsinah adalah sosok Ibu mertua yang sempurna dimatanya. Sifat keibuannya, serta lemah lembutnya membuat Andaru sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri. Ia tak menyangka jika perempuan itu bisa mengucapkan hal seperti itu padanya.

"Antika meninggal karena terkena santet." lirihnya.

Andaru terduduk, ia menatap tak percaya.

"Apa yang Ibu maksud?" tanyanya cepat.

Darsinah memalingkan wajahnya, "Di kamar ini, Antika meregang nyawa. Perutnya membesar seperti orang hamil tua. Itu terjadi hanya dalam waktu sebentar, dia menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu pikir dia sakit biasa, tapi nyatanya ... perutnya meletus. Dan dia meninggal."

Suara isak tangis Darsinah memecah keheningan. Andaru sendiri tak bisa berkata-kata. Otaknya masih memproses semua ucapan Ibu mertuanya.

"Bu, Ndaru tau Ibu kehilangan. Tapi tolong jangan membuat cerita macam-macam. Mana mungkin perempuan sebaik Antika meninggal dengan cara seperti itu." sangkal Andaru. Ia mengusap wajahnya kasar.

Darsinah bergeming, ia menatap ubin yang terasa dingin.

"Istigfar, Bu. Sabar-"

"Diam kamu! Jangan meminta saya untuk bersabar. Kamu tidak tau arti sabar yang sesungguhnya! Antika itu darah daging saya! Saya bertaruh nyawa demi mengandung, dan membesarkannya sepenuh hati. Kamu pikir saya mengarang cerita seperti ini? Kamu pikir saya ikhlas kehilangan Antika? Atau jangan-jangan ... kamu tau sesuatu?" mata Darsinah menatap tajam ke arah menantunya.

Lelaki itu tergagap, punggungnya menabrak pintu kamar sehingga benda itu berderit.

"Astaghfirullah! Nyebut, Bu! Saya mencintai Antika. Saya suaminya, mana mungkin saya melakukan hal sekeji itu. Ya Allah,"

Andaru menekan dadanya, ia sungguh tak menyangka jika pernikahan dengan wanita yang ia damba menjadi Ibu dari anak-anaknya, akan berakhir seperti ini. Darsinah sendiri kembali membisu. Ia menerka-nerka, siapa saja yang mungkin bisa menjadi pelaku utama yang menyebabkan putrinya meninggal.

Rahman datang sendirian, ia kaget melihat istri dan menantunya terduduk di atas lantai.

"Bidan itu bilang tidak ada orang yang masuk kemari, Bu. Dia sendiri tidak berani. Kita pulang saja. Tenangkan hati Ibu di rumah. Bapak juga baru mendapat pesan kalau keluarga Andaru sudah sampai. Ayo, Bu." Rahman mengusap lembut pundak Darsinah.

"Ayo, Le, kamu juga pasti lelah." Rahman juga menepuk bahu Andaru.

Darsinah hanya diam saat Rahman berusaha memapahnya, dalam benaknya muncul ribuan pertanyaan. Siapa yang membunuh Antika? Siapa yang tega menyakiti anaknya dengan cara sesadis itu? Siapa? Siapa?!

Ketiga orang itu berjalan dengan kepala tertunduk. Mereka tak menyadari jika sang bidan tengah mengintip dari balik gorden. Wajahnya pucat pasi, sedang ujung tangan dan kakinya terasa dingin.

"Cepat kunci ruangan itu, Mbok. Saya tidak tahan dengan aroma amis yang menyeruak keluar." perintahnya.

Wanita tua yang bekerja untuknya mengangguk, ia segera melakukan apa yang diperintahkan. Sesaat sebelum pintu kamar tertutup, mata tuanya bisa menangkap sesosok perempuan yang tengah membelakanginya. Tak mengindahkan, ia segera menutup dan mengunci kamar praktek itu rapat-rapat, tanpa berusaha mencaritahu siapa sosok itu sebenarnya.

****

Andaru merasa kesepian meski tengah dikelilingi oleh keluarganya. Rasanya masih tak percaya jika kini Antika telah tiada. Ia baru saja mengecap manisnya hidup berumahtangga, dan kini takdir maut telah memisahkan mereka.

"Saya tidak bisa, saya selalu membayangkan seringai perempuan itu. Bahkan setelah perutnya meletus, ia masih sempat tersenyum--"

Ucapan bidan tadi masih terngiang-ngiang ditelinga Andaru. Bagaimana bisa perut Antika meletus? Kalaupun memang istrinya terkena ilmu hitam, siapa gerangan orang yang tega melakukannya? Ia tak punya musuh, pun dengan Antika. Perempuan itu sangat baik, bahkan semua orang yang pernah bertemu dengannya meski hanya sekali, akan langsung jatuh hati kepadanya.

Lalu, sosok di rumah bidan? Apa hubungannya dengan Antika?

Ia melirik ke arah Darsinah yang terisak sambil membacakan surah Yasin. Ibu mertuanya itu pasti sangat terpukul. Tak jauh dari mereka, dua adik Antika juga dalam keadaan yang sama.

"Istrimu sakit apa, Ru? Ibu tanya ke mertuamu, tapi mereka cuma bilang kalau, Tika, sakit." tanya Muliana, berbisik.

Andaru menoleh dan mendapati Ibunya tengah menatapnya. Mata perempuan itu juga bengkak karena menangis sejak tadi. Lelaki itu memilih diam. Kepalanya terasa sakit, ia lalu memejamkan mata yang terasa berat.

****

Suasana rumah sudah sepi meski masih ada keluarga yang terjaga. Setelah berdebat dengan Darsinah, Andaru akhirnya diizinkan untuk tidur di dalam kamar Antika. Ia memeluk baju terakhir yang digunakan oleh perempuan itu. Dalam diam, ia menangis menyebut nama istrinya.

"Mas Ndaru,"

Andaru membuka mata, dalam keremangan ia bisa mendengar jika ada yang baru saja memanggil dirinya. Suara itu sangat familiar di telinganya.

"Tika? Itu kamu, Sayang?"

Ia bangun dan duduk di tepi ranjang. Penerangan hanya berasal dari lampu tidur yang sengaja tidak dimatikan. Matanya menyapu ruangan.

"Tika ... jawab! Mas disini, Sayang. Mas sudah pulang."

Andaru kembali mencari meski logikanya mengatakan jika tidak mungkin yang baru saja ia dengar adalah suara Antika. Ia kembali menangis saat menyadari dirinya dan Antika sudah dipisahkan oleh kematian.

"Mas ...,"

Dengan cepat Andaru mengangkat kepala, ia bisa melihat jendela kamar Antika telah terbuka lebar. Tirai tipis yang menutupinya berkibar tertiup angin malam. Sosok Antika berdiri di depannya.

"Sayang? Tunggu, Mas! Jangan pergi!" serunya sambil berusaha untuk bangkit. Andaru terjatuh, kakinya tersandung sesuatu.

"Tolong, Tika, Mas ... tolong, Tika. Sakit sekali! Perut Tika, sakiiit!" jerit Antika.

Perempuan itu melayang menembus tembok kamar, ia memegangi perutnya yang membuncit dan seperti orang hamil tua. Tubuh Andaru bagai dipaku ke bumi, ia tak bisa bergerak sama sekali.

"Sakit, Mas! Sakiiit! Hu ... hu ... hu,"

Antika menangis, wajahnya seputih mayat.

Andaru ingin berteriak, namun bibirnya terasa kelu.

Sosok mirip Antika itu berhenti tepat di depan Andaru. Aroma kemenyan tercium. Perut Antika bergerak tak beraturan, menonjol dan membuatnya sangat kesakitan. Mata Antika melotot, bersamaan dengan itu perutnya meletus bagaikan balon yang diisi air.

Amis, lengket, dan hangat. Cairan itu membasahi wajah Andaru. Tangan-tangan tanpa tubuh bergerak di atas lantai. Menggelepar bagaikan ikan yang dilepaskan ke atas tanah. Kuku-kuku setajam silet mengkilat terkena cahaya dari lampu dan darah yang membasahinya.

Andaru merasakan sakit teramat sangat di kepalanya, ia ingin berteriak, namun kegelapan telah menguasai kesadarannya. Sebelum ia benar-benar jatuh tidak sadarkan diri, jauh dibelakang tubuh Antika ... ia bisa melihat seseorang yang tengah berdiri sambil membawa sebuah wadah berisi dupa yang masih menyala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status