Share

Tiga

MISTERI MELETUSNYA PERUT ANTIKA (3)

****

Darsinah terduduk di atas kasur. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Lemari, meja rias, baju yang tergantung dibelakang pintu, make-up, dan semua barang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Mukena berwarna putih susu dengan hiasan renda berwarna biru muda kesayangan Antika, bahkan masih ada di atas tempat tidurnya bersama dengan piyama yang ia gunakan sebelum keduanya berangkat menuju ke rumah Bidan.

Ia pikir, Antika hanya sakit perut biasa. Putrinya memang sering mengeluh sakit ketika akan kedatangan tamu bulanan. Bukan tidak pernah, Darsinah sudah sering mengajak Antika untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan, demi mencaritahu apa penyebab yang membuatnya selalu kesakitan. Sayang, anak itu selalu menolak, berkata jika dirinya baik-baik saja.

Bulir air mata mulai menetes di pipi tua Darsinah, tak menyangka jika dirinyalah yang akan ditinggal pergi terlebih dahulu. Dalam bayangan Darsinah, dirinyalah yang akan meninggal lebih dulu, atau mungkin suaminya. Tak pernah sekalipun terbersit dalam benaknya jika Antika yang pergi dengan cara yang begitu tragis.

"Nduk, katakan pada Ibu ... siapa yang menyakitimu?"

Ia bertanya pada diri sendiri. Tangannya meremas seprai, erat. Sakit! Sakiiit yang benar-benar tak bisa ia gambarkan. Kalau saja, Antika meninggal karena sakit, atau mungkin kecelakaan, Darsinah masih bisa mengikhlaskannya walaupun berat. Tapi yang terjadi, putri sulungnya meregang nyawa dengan cara yang tidak wajar.

Suara rintihan Antika, dan aroma amis darah seolah masih bisa ia rasakan. Membuat perempuan itu semakin marah. Jika seorang anak ditinggal orang tua disebut yatim-piatu, maka apa sebutan bagi seorang Ibu yang kehilangan buah hatinya? Didepan mata dengan kondisi seperti Antika?

Pintu kamar terbuka, Darsinah segera memalingkan wajah saat Rahman mulai mendekat. Ia menyalakan lampu sebab hari sudah semakin sore.

"Bu, mari keluar sebentar. Menantu kita sudah datang. Kasihan dia," ajak Rahman.

Lelaki itu mengusap air mata yang seolah tak ingin berhenti keluar. Darsinah bergeming, ia justru mengambil pakaian terakhir yang digunakan Antika dan memeluknya erat-erat.

"Bapak tau Ibu kehilangan, Bapak juga sama. Tapi, bagaimanapun, bukan hanya kita yang kehilangan sosok Tika, Andaru juga. Ingat, dia suami Antika ... dia juga anak kita, Bu." kini lelaki itu bersimpuh di depan sang istri.

Darsinah menghela napas, ia berusaha menahan air mata yang mulai membayang di kelopak matanya. Dari dalam kamar, Darsinah bisa mendengarkan suara Andaru, lelaki itu meraung-raung memanggil nama kekasih hati yang bahkan tak sempat ia lihat untuk terakhir kalinya.

"Tikaaa ... Tikaaa, Mas pulang, Sayang. Antikaaa,"

Hancur sudah. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya luruh juga. Darsinah tak mampu menahan kesedihannya. Ia pikir, dirinya kuat. Namun ternyata, ia hanya menunggu hingga tembok pertahanan yang ia bangun hancur disaat yang tepat. Rahman membantu Darsinah yang beringsut dari kasur. Kedua orang tua yang baru kehilangan anak itu berjalan beriringan.

Saat hampir sampai ke ruang tamu, Andaru segera berlari, bersimpuh di kaki Darsinah sambil menangis bagai anak kecil.

"Ibu, kenapa tidak menunggu? Saya ingin melihat Tika, saya ingin mencium dan memeluk tubuhnya. Saya bahkan belum bisa membahagiakan dia seperti janji saya, kenapa Bu? Kenaapaa?!" pekik Andaru.

Darsinah merosot, ia membiarkan tubuh tuanya dipeluk oleh Andaru. Keduanya menangis bersama, saling menguatkan satu sama lain. Situasi begitu emosional, semua larut dalam kesedihan mendalam. Baru kemarin rumah itu menjadi saksi bisu dimana dua orang anak manusia menjadi satu dalam sakralnya ikatan pernikahan. Kini, rumah tersebut juga menjadi saksi kedukaan dimana maut telah merenggut kebahagiaan itu.

****

Andaru terus diam, matanya menatap kosong ke depan. Mobil yang dikendarai Rahman berhenti tepat di depan rumah sederhana yang bertuliskan klinik bersalin. Hanya ia, Darsinah dan Andaru. Istrinya tak mengizinkan adik-adik Antika ikut dengan alasan harus ada keluarga inti yang menyambut kedatangan keluarga Andaru.

Tempat itu sepi, tampaknya tutup sebab pagar besi setinggi dada orang dewasa yang biasa dibuka lebar, menutupi halaman depan. Darsinah melirik ke sebuah pintu tempat dimana anaknya meninggal dunia. Seorang perempuan tua keluar, ia membuka pagar besi dan mempersilahkan tamunya masuk.

"Ibu ada di dalam, sakit." ucapnya pada Darsinah yang terlebih dahulu masuk.

Mereka menunggu sebentar hingga seorang perempuan lain yang lebih muda keluar dengan wajah pucat. Kantong matanya berwarna hitam, tanda ia kurang istirahat.

"Kami datang untuk menunaikan janji kami. Apakah ini cukup?"

Rahman mengeluarkan setumpuk uang. Perempuan itu hanya diam.

"Saya tidak butuh uang kalian." jawabnya lirih.

Darsinah berdiri, "Izinkan saya masuk kesana, saya sendiri yang akan membersihkan sisa darah Antika." ucapnya meminta persetujuan.

Andaru yang mendengar, mengerutkan alis. "Darah? Apa Tika mengalami pendarahan?"

Bidan itu menelan ludah, "Silahkan saja, Bu. Tapi ruangan itu sudah bersih. Tak ada sedikitpun darah sama sekali, tapi Demi Allah, bukan saya yang membersihkannya. Setelah kejadian itu, saya tak berani masuk ke sana, seringai putri Ibu membuat saya ketakutan setengah mati."

"Seringai apa?!" bentak Darsinah.

"Antika mati setelah perutnya--"

Ia tergugu, tak mampu melanjutkan ucapannya.

"Tunggu, ada apa ini, Bu? Apa yang terjadi pada istri saya?" tanya Andaru sekali lagi.

Bidan itu melirik Andaru, "Istri? Saya kira dia masih lajang. Itu sebabnya saya tidak berani ketika diminta memeriksakan kehamilannya, melihat kondisinya yang kepayahan membuat saya memilih untuk merujuknya ke rumah sakit. Ada larangan bagi kami, para bidan untuk melakukan pemeriksaan pada perempuan yang belum menikah. Namun, karena kasihan maka saya menyetujuinya. Saya tidak menyangka jika kejadiannya akan jadi begitu mengerikan. Saya ...,"

Perempuan itu menutup mulut, ia tampak ingin muntah mengingat apa yang sudah terjadi pada Antika.

"Bukankah Bu bidan sempat menelepon dokter? Apa yang bidan katakan padanya?!" Darsinah panik, takut jika perempuan dihadapannya tak bisa menjaga ucapan. Ia tidak mau, berita kematian Antika yang tak wajar tersebar, lalu menjadi fitnah pada putrinya.

"Saya mengatakan jika pasien meninggal dunia, dan pihak keluarga tak ingin memperpanjang masalah. Beruntung dokter mengerti." jawabnya dengan suara parau.

"Saya mau melihat kamarnya, tolong izinkan saya masuk." pinta Darsinah lagi.

Bidan itu mengangguk, ia mengambil kunci dan menyerahkannya pada Darsinah. Perempuan itu langsung keluar dan diikuti oleh suaminya. Sedangkan Andaru terdiam mendengar pembicaraan yang tak ia mengerti.

"Tolong katakan pada saya, apa yang sudah terjadi." ia memohon.

Bidan itu menghapus air mata, "Saya tidak bisa, saya selalu membayangkan seringai perempuan itu. Bahkan setelah perutnya meletus, ia masih sempat tersenyum--"

"Apa yang bidan coba katakan? Apa maksudnya perut Tika meletus?!" Andaru menatap bidan tersebut dengan tatapan mengintimidasi.

Ia menyeka air mata dengan kasar, "Apa bidan mau bilang istri saya kena santet?!"

Bidan itu menunduk, "Saya juga tidak tau, tapi saya bersumpah melihat istri Bapak sempat tersenyum."

Andaru segera bangkit, ia berdiri dan meninggalkan sang bidan yang menutup wajahnya dengan tangan. Lelaki itu melangkah menuju ke kamar yang dimaksud oleh Ibu mertuanya. Namun, kaki lelaki itu terhenti saat matanya menangkap sosok perempuan dengan tubuh bersimbah darah tengah berdiri di ambang pintu. Sosok itu menangis, namun bibirnya menyunggingkan senyuman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status