Share

Bayi yang Malang

      "Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. 

        Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. 

      "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. 

       "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. 

      "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. 

      "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. 

      "Iya,  Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi. 

      "Sini coba biar Abi yang gendong," pintanya. Umi segera menyerahkan padanya. 

       Abi mulai menimang-nimang, sang bayi mulai diam. Kemudian Kyai Sholeh mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dihafal, lelah berdiri, ia duduk di sofa. Tangan kirinya mengelus kening bayi yang mulai tertidur dalam dekapannya. 

       Setelah bacaannya mencapai satu juz kira-kira 30 menitan,  ia mulai meletakkan bayinya di dalam kamar. Namun baru 5 menit bacaan Al-Qur'an berhenti kembali anak perempuan itu menangis histeris. Abi kembali melantunkan Al-Qur'an, anaknya terdiam dan mulai tertidur. 

       "Apa mungkin jin yang bulan lalu kuusir mengganggu bayi ini. Jika seperti ini, besok bayi ini harus segera dibawa pergi," pikir Kyai Sholeh. 

         Emak mulai tidur di atas dipan kayu jati. Matanya terpejam namun tubuhya sangat gelisah,  dalam mimpinya siluet asap keluar dari bawah dipan membentuk rupa si makhluk jelaga.

      Saat makhluk itu hendak menduduki dadanya, Emak spontan  mengigau keras. 

      "E, copot,  copot, copot! Astaghfirullah! Innalilahi wa innailahi roji'un!" Teriakkan refleknya dalam tidur membuat Abi dan Umi terperanjat.

        Abi mengetuk pintu kamar di samping, kemudian menggerakkan gagang pintu. Melihat Emak tidur dengan pejaman gelisah mereka segera membangunkannya. 

       "Copot!  Copot! Copot!  Astaghfirullah! Makhluk apa itu tadi. Kok,  ngeri men!" ucap Emak saat matanya terbuka. 

       "Emak mimpi?" tanya Abi. 

      "Iya, Aku didatangi makhluk gede, hitam legam kayak arang. Awalnya seperti asap hitam tipis dari bawah dipan, eh, lha, kok, makin besar," ceritanya menggebu-gebu penuh keheranan dengan mimpinya. 

      Lantas kepalanya melongok ke bawah dipan buat memastikan di sana tidak ada apa-apa. 

    "Emak kira tadi itu bukan mimpi, lho, Le! Waktu kamu bangunkan baru Emak sadar kalau tertidur tadi," ceritanya.

     "Emak tidur sama Umi saja, ya! Saya biar tidur di ruang tamu," kata Abi. Emak mengangguk. 

       "Jangan lupa wudhu dan baca ayat kursi serta mu'awidatain* sebelum tidur!"  saran Abi. 

      "Ya,  Le!" jawab Emak. 

     "Besok pagi kita berangkat ke rumah Emak, biar Umi tinggal di sana sementara." Abi memberitahu rencananya besok. 

       Makhluk pekat itu gusar, Kyai Sholeh melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an sepanjang malam, hingga akhirnya ia memutuskan malam ini berhenti mengganggu bayi. 

      Suara azan sepertiga malam terakhir membangunkan orang untuk melakukan shalat tahajud. Begitupun Kyai Shaleh dan Umar, mereka shalat berjamaah empat rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir pada ruang keluarga. 

      Setelah selesai bersama,  Umar teringat sesuatu. 

      "Oh,  ya,  Abi. Tadi pagi Umar lihat sepasang mata merah di antara rerimbunan daun belimbing, sepertinya di sana tempat persemayamannya," cerita Umar. 

     "Kapan kejadiannya?" tanya Abi. 

      "Tepat setelah Abi dan Umi meninggalkan rumah,  terjadi angin ribut hanya di sekitar sini. Umar melihat ke bawah,  tidak sengaja terlihat olehnya. Sampai-sampai dahan belimbing patah. Apa besok ditebang saja, ya,  Bi?" jelas umar,  sambil menanyakan pendapat Abi mengenai Usulny. 

       "Seharusnya ditebang saja, tapi ini bukan rumah kita. Mana berhak merusak tanaman pemiliknya," ucap Abi. 

       "Kita pergi saja dari sini,  kasihan adikmu tidak bisa tidur kalau tidak dibacakan ayat-ayat Allah. Rupanya jin blimbing itu memasuki alam mimpinya," kata Abi. 

        "Jadi sekarang kita beres-beres,  Bi?" tanya Umar memastikan. Abi menjawab dengan anggukan. 

        "Baiklah," Umar segera beranjak dari tempat duduknya menuju kamarnya. Sedangkan Abi beedzikir menunggu azan subuh. 

      Saat azan subuh berkumandang,  Kyai Sholeh dan Umar pergi ke masjid. Sang bayi mulai lagi menangis. 

       Emak bingung tidak biasanya bayi menangis histeris padahal sudah diberi ASI,  popok masih kering. Apa penyebabnya?

        "Mak, cobalah baca ayat yang Mak hafal seperti yang dilakukan Ayahnya anak-anak semalam," pinta Umi. 

      "Iya,  ya, Nduk! Yo,  wes, kubacakan surat Al-Fatehah sama surat pendek lainnya," Akhirnya sang bayi tenang. 

        Demi melihatnya tertidur dalam bedongan, Emak yang sedari tadi menahan buang air kecil meletakkannya di sofa dengan pendampingan bantal di pinggirnya. 

       Jin hitam tahu si bayi tidak dalam penjagaan. Ia sudah berada dalam ruangan tatkala Abi dan Umar keluar rumah menuju masjid. Dengan menyeret kaki sebelah ia menggapai bantal yang mendampingi bayi, membekapnya lalu ia jatuhkan dengan posisi tertelungkup. 

      "Copot! Copot! Copot! Astaghfirullah. Genduk*, kenapa kamu bisa sampai jatuh!" Umi yang dari tadi sedang berada di dapur kaget mendengar teriak latah Emaknya.

       Emak bukan main terkejut kala mengetahui cucunya sudah berada di bawah dalam kondisi tertelungkup. Bagaimana bisa bayi berumur satu bulan bisa bergeser? Apalagi bedongnya masih utuh. 

       Emak  mendekap cucunya dengan rasa bersalah. Umi datang pada Emak. 

       "Ada apa, Mak?" tanya si Ibu bayi. 

       "Ini, Kok,  bisa jatuh padahal didampingi bantal, bedongnya saja masih menutup rapat.  Mana jatuhnya tertelungkup, 'kan ya mustahil. Emak cuma sebentar ke kamar mandi tadi," cerita Emak. 

        "Coba lihat, Mak!" pinta Ibu bayi,  Emak menyerahkan cucunya pada Umi. 

     Umi merasa heran dengan anaknya yang terkesan sangat diam,  seharusnya menangis kalau terjatuh. Dibuka gedongnya dan mulai meraba badan anaknya,  tubuh bayi sangat dingin,  perasaannya mulai tidak enak. Ia meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung,  ia mulai panik,  tidak ada hembusan nafas. Dada bayi datar tidak ada gerakan diafragma sama sekali. 

        Matanya berkaca-kaca, menciumi kedua pipi, dahi lalu tubuhnya, tangan bahkan kaki, berkali-kali.  Tangisnya mulai meledak. 

      "Kamu kenapa,  Nak? Bangunlan! Menangislah yang keras! Umi akan gendong. Jangan diam seperti ini!" isakan wanita yang baru kemarin melahirkan itu terdengar pilu,  pelukannya semakin rapat, air mata membasahi wajah sang bayi yang tergolek lemas tak bernyawa dalam dekapannya.

       Emak ikut-ikutan menangis. 

      "Maafkan Emak Nduk,  Emak salah! huuu... uuu...!" Ia memeluk pundak anak perempuannya.

        "Dia tidak apa-apa 'kan, Nduk?" tanyanya sambil menangis. 

        "Assalamu'alaikum," suara salam Abi terabaikan oleh isakan tangis mereka. 

       Abi dan Umar masuk,  mereka heran ada apa Emak dan Umi menangis.

       "Ada apa?" tanya Abi. 

        "Putri kita, Bi!" Ia tidak sampai hati untuk mengatakan dugaannya, hanya menyerahkan tubuh yang dingin pada suaminya sambil tersedu sedan. Abi menerimanya, lalu memeriksanya. 

      "Innalillahi wa inna ilahi ro'jiun. Allahumma'jurni fie mushibati waflufli khairan minha*," Ucapan Istirja' Abi makin membuat tangis dua wanita itu bertambah hebat. 

     Subuh di rumah ini menjadi duka,  padahal baru kemarin mereka gembira dengan kelahiran sang bayi. 

Lima bulan kemudian. 

      "Abi,  sudah satu bulan lebih Umi tidak datang bulan!" Umi memberi tahu suaminya. Ia deg-degan berharap mengandung. 

    "Benarkah? Apa kita perlu ke bidan sekarang?" tanya Abi harap-harap cemas. 

     "Abi belikan tespeck saja, biar Umi yang memastikkan," pjntanya. Abi segera keluar untuk membeli apa yang diminta istrinya,  karena tidak sabar lagi untuk meyakinkan kabar gembira ini. Selang sepuluh menit, Abi sudah kembali dan menyerahkannya pada Umi. 

      "Abi semangat sekali," kata Umi tersenyum malu-malu. Ia kemudian ke kamar mandi. Tidak lama kemudian keluar dan langsung memeluk Abi. 

       "Positif, Bi!" katanya. 

      Abi terharu,  matanya berkaca-kaca. 

     "Kita pindah ke rumah Emak hari ini juga,  Abi tidak ingin anak kita diusik oleh jin penunggu rumah ini," kata Abi. Umi mengangguk senang. Umar segera diberitahu.

     Hari itu juga mereka meninggalkan rumah kontrakan, dan menyerahkan kunci pada seorang nenek yang rumahnya dibalik tembok belakang mereka. 

     "Nek, ini kuncinya. Kami pindah ke kampung," kata Umi pada sang Nenek. 

      "Seharusnya kalian usir makhluk itu selamanya," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar. 

      "Tidak ada yang mau menghuni rumah itu sejak lima belas tahun yang lalu," lanjutnya sedih  lebih pelan dari semula. 

_______

Note:

      *Mu'awidatai adalah surat untuk berlindung yaitu An-Nas dan Al Falaq. 

      *Genduk=berasal dari bahasa jawa, maknanya panggilan sayang untuk anak perempuan. 

       

     *Innalillahi wa inna ilahi ro'jiun. Allahumma'jurni fie mushibati waflufli khairan minha= Istirja dan do'a yang diajarkan Rasulullah saat mendapat musibah. Artinya Sesungguhnya kami milik Allah,  dan hanya kepada–Nyalah kami kembali, Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku dan gantilah dengan yang lebih baik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status