Lima belas tahun yang lalu di rumah itu.
Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya.
Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati.
"Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali."Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang menyakitkan. Rasa sakit yang tidak berdarah namun lebih pedih dari pada luka yang ditaburi garam.
"Dia akan kuperistri dalam waktu dekat, Laras! Perlakukanlah dia dengan baik!" jawab Ki Lurah Agung datar.
"Apa salahku sampai Kang Mas tega menduakan cinta?" protes Larasati matanya mulai berkaca-kaca.
"Engkau tidak salah apa-apa. Bukankah sudah sewajarnya seorang lelaki memiliki lebih dari satu istri." Ki Lurang Agung menjawab enteng pertanyaan istrinya.
Sedikitpun tidak terpikir olehnya bahwa apa yang ia lakukan telah menorehkan robekan begitu dalam dan kelam. Tangan Larasati meremas kuat jarik yang ia kenakan, sesak sungguh terasa dadanya, tapi tidak bisa ia tampakkan di depan suaminya dan gadis yang sedang bergelayut manja di lengannya."Laras! Besok pesankan pada Pak Sasongko sebuah dipan jati untuk adik madumu ini, agar bisa diletakkan di sebelah kamarku." Lagi-lagi suami menyuruhnya untuk suatu hal yang menambah luka. Laras hanya diam.
Ia menggandeng Kirana meninggalkan mereka berdua begitu saja. Lalu naik ke lantai atas kamar yang ia tempati bersama putrinya. Duduk di atas ranjang dengan tatapan terluka ke arah dinding kamar, air mata yang sejak tadi ia tahan mulai meleleh.
"Aduh Biyung* mengapa nasib putrimu seperti ini, lelaki yang dulu menyuntingku berjanji setia sampai mati, sekarang telah melupakan siapa dirinya, dan apa yang ia ucapkan," rintihnya lirih. Ia tidak menyadari anaknya memperhatikannya.
"Rumah ini warisan keluargaku, tidak akan kubiarkan kalian datang menginjak-injak diriku." Larasati membatin. Tatapan matanya kosong ke dinding kamar yang berwarna putih.
*** Malam sebelumnya.
Wilayah ini baru satu bulan kedatangan rombongan ludruk berasal dari Ponorogo.
Atas izin Ki Lurang Agung mereka menggelar pementasan di balai desa setiap malam. Respon penduduk sekitar sangat antusias ketika pertama kali pentas. Malam selanjutnya orang berbondong-bondong menyaksikan pagelaran seni ini dengan membayar karcis seharga seribu rupiah.Adalah Setyawati Ningrum selain sebagai sinden ia juga lihai beracting sebagai tokoh dalam cerita. Ia sangat cocok memainkan peran Klenthing Kuning pada kisah Ande-ande lumut. Dengan kulit kuning langsat, tubuh tinggi semampai dan bibir sigar jambe membuat semua penduduk terpesona.
Daya tarik gadis itu sangat luar biasa. Bukan hanya para lelaki yang menyukai perannya. Bahkan anak-anak dan ibu-ibu juga menggandrungi pementasan rombongan ini, apalagi jika dalam tokoh cerita ada yang diperankan oleh Ningrum, si gadis sinden.
Dalam kurun satu minggu banyak pemuda yang mabuk kepayang padanya. Mereka sering menyebut Mbak Sinden ayu kinyis-kinyis. Tentu saja mereka tergila-gila pada tubuhnya yang tinggi semampai, gerakan yang lemah gemulai, tutur bicaranya yang halus dan lembut, dan suaranya yang mendayu lembut membuai. Ditambah lagi, ia belum menikah alias masih perawan ting-ting.
Ternyata tanpa diketahui para wanita di kelurahan itu, semua lelaki bersaing untuk mendapatkan Mbak Sinden tidak terkecuali Ki Lurah Agung Jayengrana.
Ada yang berusaha mengirimi surat berwarna merah jambu berbau wangi. Ada yang memberikan hadiah-hadiah istimewa buatnya, saat pembukaan pentas dimulai.
Siapa sangka? Siapa kira? Gadis itu lebih memilih pria beristri dari pada pemuda-pemuda perjaka. Sebagai seorang lelaki, Ki Lurah Agung bak mendapat durian runtuh.
Malam itu setelah selesai pagelaran ludruk berjudul "Ken Dedes, Cinta yang Hilang", Ia mendatangi bilik-bilik para pemain ludruk di belakang. Mereka semua tengah sibuk menghapus riasan, tidak terkecuali Ningrum.
Ia menghampiri gadis sinden, dan duduk dengan jarak satu setengah meter berhadapan.
"Dimas Ningrum, Kangmas tidak pandai merangakai kata. Namun tresno Kangmas tulus dan dalam pada Dimas. Jika bersedia maukah Dimas menikah denganku, sebagai mas kawinnya akan kuberikan satu hektar kebun teh, dan yang lebih penting lagi rombonganmu tidak perlu lagi berpindah-pindah tempat. Menetaplah di sini secara permanen. Kangmas punya 4 buah rumah, mereka bisa memakainya 3 buah." Ki Lurah terang-terangan melamarnya. Ningrum sendiri menyembunyikan rasa terkejutnya mendapat pinangan mendadak dari Ki Lurah.
"Bagaimana dengan Mbakyu Larasati, Kangmas?" tanya Ningrum. Mendengar pertanyaan itu, Ki Lurah paham Ningrum tidak menolaknya.
"Dia akan tetap menjadi istriku, dia wanita yang penurut, tidak apa-apa," jawabnya. Dia tahu pasti tidak mungkin Larasati meminta cerai padanya. Pantang bagi wanita meminta talaq. Jika nekat mereka akan dicibir dan bakal dikucilkan oleh warga yang masih rendah tingkat pendidikannya.
"Baiklah Dimas akan tanya pada Bapak dulu. Besok Bapak kembalilah untuk mendapatkan jawabannya," balas si sinden.
Ki Lurah pulang dengan bunga-bunga bermekaran di hatinya, jiwanya seolah kembali menjadi muda yang dipenuhi dengan petualangan cinta. Ia lupa umurnya sudah kepala empat. Lupa pula siapa dirinya bagi masyarakat di kelurahannya. Tidak terpikir sama sekali untuk menjaga wibawanya sebagai orang yang ditokohkan, karena nafsu untuk memiliki gadis sinden sudah di luar batas kendali.
Sementara itu sepeninggal Ki Lurah Agung Jayengrana, Ningrum yang ternyata juga anak kandung Ketua Umum Paguyuban Kencono Alam, mengutarakan pinangan yang ia peroleh kepada Bapaknya, Wijaya. Tentu saja lamaran itu mengejutkannya, sehingga ia mengumpulkan semua anggota rombongan untuk mencapai mufakat.
"Sebagaimana yang kalian dengar barusan, Ningrum yang sudah kalian anggap sebagai adik kalian sendiri tengah menerima lamaran penguasa wilayah ini. Saya ingin bertanya apa pendapat kalian." Bapak Wijaya membuka rapat dengan meminta pendapat mereka.
Kusuma salah satu anggota rombongan yang sejak dulu menyimpan rasa pada Ningrum menundukkan wajah dalam-dalam. Bagaimana ia tidak jatuh cinta pada Ningrum disamping semua kelebihan yang dimiliki oleh gadis itu, kalau peran yang ia mainkan senantiasa menjadi pasangan putri rombongan. Jika Ningrum menjadi Klenthing Kuning maka ia akan memerankan sebagai Ande-ande lumut, jika gadis itu menjadi Ken Dedes, maka ia akan menjadi Ken Arok.
Postur tubuh Kusuma yang proposional ditambah pula hidungnya yang mancung, dengan rahang yang kuat serta memiliki mata elang, membuatny pantas memerankan tokoh prontagonis. Apalagi aktingnya mampu menghidupkan seni drama ludruk yang dimainkan. Dalam pentas Ningrum dan Kusuma merupakan pasangan yang serasi seperti tumbu bertemu tutupnya.
"Seandainya aku benar-benar menjadi pasangan yang sebenarnya bagi adik Ningrum, alangkah bahagianya diriku, tapi sepertinya aku harus memendamnya dalam-dalam" ucap batinnya.
"Ki Lurah Agung akan memberikan satu hektar kebun tehnya untuk mempersunting adik kalian. Kalian tahu kita lelah setiap dua atau tiga bulan sekali harus berpindah-pindah tempat jika penduduk mulai jenuh dengan pagelaran yang kita adakan," lanjut Bapak Wijaya.
"Saya rasa itu semua tergantung pada putusan Adik Ningrum, Pak. Mengingat dialah yang akan menjalani rumah tangga," ucap Wardoyo salah satu anggota paguyuban yang dikenal bijaksana. Mendengar ucapannya, Kusuma menarik nafas lega. Sekarang ia berharap Ningrum menolaknya.
_____
Biyung* berasal dari bahasa jawa yang maknanya sebagai panggilan untuk penghormatan pada Ibu.
Kusuma memberikan bayi kekasihnya pada pimpinan paguyuban yang sedang duduk di depannya usai pemakaman Setya Ningrum.Pak Widjaya memciumi cucunya dengan penuh perasaan duka."Cucuku yang cantik semoga nasib baik menyertaimu. Jadilah gadis lembut," ucap Pak Wijaya sembari berdo'a penuh harap."Kusuma bisakah kau tambahkan nama Sofiya padanya? Aku ingin dia menjadi gadis yang lembut," pintanya."Njeh, Bapak," jawab Kusuma dengan tawaduk.Dua tahun setelah itu, Pak Widjaya menutup mata untuk selamanya. Anggota paguyuban pun bercerai berai. Kini tinggallah Kusuma hidup bersama Sofiya Harsa Sandra. Layaknya kasih sayang anak kandung. Kusuma mencari mata pencarian yang membuatnya tetap bisa mengawasi Sofiya.Pendidikan Kusuma yang hanya pernah masuk sekolah rakyat membuatnya kesulitan mencari mata pencarian yang layak. Sekolah Rakyat sendiri kini sudah berganti menjadi SD. Ia bertekad merantau ke kota Surabaya berbekal sisa-sisa harta penin
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 20 Para anggota Paguyuban Kencono Alam tidak mampu berbuat banyak menyaksikan adik tersayang mereka dibawa polisi. Mereka terlambat datang ke rumah duka, sehingga hanya melihat sebentar mobil yang membawanya saat sedang melaju. Selepas magrib Pak Wijaya dan Pak Wardoyo pergi ke kantor polisi menanyakan bisakah anaknya dibebaskan. Mereka menjawab bahwa untuk sementara akan menyelidiki dugaannya terkait dengan kematian Kirana. Di dalam sel, Ningrum sendiri bertingkah aneh seperti tertawa sendiri, menggeram-geram dengan mata mendelik, kadang marah dengan mengumpat Larasati. Hal itu membuat sipir melaporkan pada atasannya bahwa ia mengalami dugaan gangguan jiwa. Untuk memastikaan hal tersebut dipanggillah Psikiater demi tegaknya diagnosa pada Ningrum. Akhirnya Ningrum dibebaskan karena dinyatakan kejiwaannya tidak se
Pelayan yang mengantarkan hidangan untuk makan siang melihat Larasati yang menangisi Kirana pada pangkuan Kakeknya. Dalam waktu sekejap berita lelayu meninggalnya anak almarhum Ki Lurah menyebar cepat lewat mulut para pelayan. Kembali penduduk berduyun-duyun mendatangi rumah duka. "Kasihan Bu Laras, baru saja suaminya meninggal. Eh, hari ini anaknya menyusul," ucap salah seorang warga. "Iya, sejak kedatangan sinden itu. Musibah beruntun menimpa Bu Laras." Warga lain ikut menimpali. Sementara Larasati menunduk lesu menatap jenazah putrinya. Ia tidak peduli dengan sekitar, sesekali ia menangis sesenggukkan, lalu menunduk diam lama, lalu menangis lagi. Rasa bersalah membiarkan anaknya keluar rumah menyeruak dalam hatinya, dada terasa sesak seolah ada batu besar menghimpit jantung. Disampingnya, Pak Mangun menepuk-nepuk punggung
Para anggota paguyuban yang perempuan masih menemani Setya Ningrum di rumah duka. Tatkala pukul sebelas malam barulah satu persatu pulang. Tinggallah hanya mereka bertiga yaitu Larasati, Kirana dan Ningrum. Larasati dan Kirana meninggalkan ruang tengah menuju peraduan mereka di atas. Sedang Ningrum punya rencana. Ini malam purnama. Gadis sinden itu mulai melakukan ritual yang sudah diajarkan oleh Kusuma siang tadi. Ia masuk ke kamar mandi membuka dua bungkusan. Satu berisi bunga tujuh warna, kembang serai dan garam Kasamba yang didapat oleh Kusuma saat perjalanan pulang. Satunya lagi ramuan entah apa dari Pamannya. Kedua ramuan itu ia tuangkan pada bak mandi. Ketika ia mulai mengguyurkan ke tubuhnya hawa kamar mandi berubah sangat dingin. Anehnya dari dalam tubuh justru memanas, sedikit bergetar seperti ada aliran listrik menjalar
Sepanjang perjalanan Kusuma merasa diikuti seseorang, tapi sesuai pesan Pamannya, sekalipun ia tidak berani menoleh ke belakang. "Padahal, waktu aku berangkat, perasaan biasa saja. Tempat yang biasa kulalui tidak pernah membuat bulu kuduk merinding. Apakah mungkin benda yang kubawa ini penyebabnya," pikir pemuda itu. Ia mempercepat langkah, setiap kali melewati hutan dan sungai, sayup-sayup terdengar seseorang bersuara berat memanggil-manggil namanya. Namun, ia pura-pura tidak mendengar apapun. Akhirnya Kusuma sampai pada sebuah bukit gundul yang dinamai oleh penduduk dengan sebutan gunung Kuncung. Dari situ, sudah terlihat dari kejauhan kebun teh membentang di desanya. Ia tersenyum. "Sudah dekat," gumamnya. Ia berlari-lari kecil menuruni bukit tersebut. Satu jam kemudian ia memasuki perbatasan desanya. &nbs
MISTERI RUMAH KONTRAKAN 16 Pagi sekali ketika azan subuh dilantunkan tidak ada anggota paguyuban terbangun selain Kusuma. Dengan membawa perbekalan ia pergi ke perbukitan gunung Anjasmara. Udara pagi yang dingin tidak menyurutkan langkahnya melalui jalan-jalan setapak dan melewati tujuh sungai serta lembah. Ia sampai pada sebuah desa terpencil dengan penduduk yang sedikit. Jarak rumah di situ berjauhan, mereka hidup dari beternak juga bercocok tanam. Ladang, sawah dan hutan jati luas terbentang sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar menghiasi perbatasan jalan setapak. Seperti negeri peri yang menyimpan keelokan, sekaligus misteri. Kusuma berhenti di sebuah rumah terbuat dari papan-papan kayu jati dengan atap rumbia di sudut jalan desa. Diketuknya pintu yang memiliki tinggi hanya satu setengah meter. "Kulonuwun!" ucapnya. Seorang lelaki paruh baya berumur