Share

Resep Pengusir Setan

      "Dulu sekitar 3 tahun yang lalu, terakhir ditinggali oleh seorang Kyai, namanya Kyai Sholeh,  Neng," jawab Pak tua. 

    "Mereka pemilik rumah ini, bukan?" 

    "Bukan,  cuma ngontrak juga."

     "Apakah mereka diganggu sesuatu saat tinggal di sini, Pak?" 

      "Neng diganggu, ya?" 

      "Ya,  Pak. Semalam malah sesosok makhluk hitam berani menampakkan dirinya," ujarnya setengah berbisik. 

      "Hiii...!" respon Pak tua. 

     "Cepet-cepet pergi aja, Neng. Cari aman," saran pemungut sampah itu. 

       "Keluarga Kyai itu bertahan lama gak,  Pak?" tanya Sulati. 

       "Sekitar 6 bulan kayaknya, Neng. Bayi mereka meninggal. Terus pindah,  selebihnya saya gak tau," jelasnya. 

         "Oh,  terima kasih, Pak!" kata gadis pelayan itu. 

         "Sama-sama. Neng tidak membuka ketukan pintu di malam hari, 'kan?" tanya Pak tua. 

        "Saya gak,  tapi Nyonya saya iya," jawabnya. 

        "Pantas makhluk itu bisa masuk dan menampakkan diri," gumamnya. 

        "Permisi, Neng," pamitnya kemudian. 

        Sulati mempersilakannya pergi agar bisa melanjutkan mengumpulkan sampah-sampah milik komplek ini. 

         Ia masuk kembali ke dalam rumah memasak bubur untuk Nyonya Sandra lalu membawa naik ke atas.

        "Nyonya, makan dulu ya," rayu gadis pelayan. 

         Nyonya Sandra duduk bersandar pada tumpukkan bantal. Ia menerima mangkuk putih terbuat dari porselen yang berisi bubur ayam buatan pelayannya. 

         "Mbak,  tadi suamiku telpon. Kuberi tahu kalau aku sakit. Katanya dia akan pulang meminta cuti mendadak. Mungkin sore atau agak malam sampai rumah," ucapnya. 

      Sulati tertegun dalam hati terselip rasa takut jika nanti Tuannya pulang larut malam.

        "Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya. Kejadian kemarin malam saja sudah cukup membuatnya ketakutan. 

      "Bagaimana jika makhluk itu masuk bersamaan dengan Tuan," pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. 

      "Nyonya,  saya keluar sebentar, ya, Nya. Apakah Nyonya mau titip sesuatu?" tanya Sulati. 

      "Belikan paracetamol, Mbak!" pesannya. 

       "Baik,  Nya!" jawabnya.  Sulati bergegas keluar dan menuruni tangga, kemudian mengambil sepeda yang biasa digunakan untuknya belanja. 

        Ia ingin menemui seorang pemuka agama di komplek ini,  agar bisa mengatasi kedatangan Tuan jika bertepatan datang di malam hari.  Sekarang tujuannya ke apotek kecil yang terletak di depan komplek guna membeli pesanan Nyonya. 

       Selesai membeli paracetamol,  ia bertanya kepada pemilik warung tempatnya biasa belanja. 

      "Bu, kyai atau ustadz di komplek ini siapa. namanya?" tanyanya. 

     "Oh, Kyai Ahmad Sobari. Rumahnya di samping masjid sebelah timur," jawab pemilik warung. 

       "Terima kasih banyak!" balasnya sambil tersenyum. 

      Kembali Sulati mengayuh sepedanya dengan kencang ke arah yang ditunjukkan pemilik warung. 

    Sampailah ia di sebuah rumah terbilang sederhana. Halamannya kecil tapi asri dengan pagar yang tanpa pintu. Sulati turun dari sepeda dan menyandarkannya di bawah pohon mangga di halaman pemilik rumah.

     Ia mengetuk pintu dengan pelan. 

     "Assalamualaikum!" ucap Sulati. 

     "Wa'alaikum salam wr. wb." Dari dalam rumah terdengar suara jawaban,  lalu langkah kaki mendekati pintu sebelum bunyi pintu terbuka. 

      "Ada apa,  Neng?" Seorang wanita mengenakkan jilbab syar'i muncul dari balik pintu menanyakan maksud kedatangannya. 

     "Sepertinya wanita itu Bu Nyai," pikirnya mengingat wajahnya yang keibuan,  Sulati menebak umurnya di antara 40-45 tahun. 

      "Em,  anu ... Pak Kyainya ada?" tanyanya. 

      "Neng siapa? bukan istri sirri Pak Kyai 'kan?" tanya wanita paruh baya tersebut. Wajah Sulati terkejut mendapat tudingan barusan. 

       "Bu–bukan!  Ma–mana mungkin saya ...." Ia tergagap. 

       "Bercanda,  Neng!  Ayo,  masuk!" Perempuan bersahaja itu terkekeh,  geli melihat wajah terkejut Sulati. Tentu saja orang yang baru mengenalnya akan kaget, selera humor Bu Nyai berat. Berat dimental. 

      Sulati menghela nafas lega tangannya mengelus dada,  tersungging senyum di bibirnya. 

     "Bu Nyai, ada-ada saja," gumamnya. 

     "Duduklah!" Bu Nyai membentangkan tangan kanannya isyarat mempersilakan tamu untuk duduk di sofa sederhana miliknya. Kemudian Ia masuk ke dalam memanggil suaminya.

     Seorang lelaki yang sedikit beruban dengan jenggot tipis keluar dari sebuah bilik yang tadi dimasuki Bu Nyai. Ia berjalan ke ruang tanpa melihat Sulati. Pandangannya terus saja menunduk, kadang bola matanya memandang ke arah lain,  yang jelas bukan memandang wajah tamunya. 

       "Ada perlu apa,  Neng?" tanya Pak Kyai. Sulati merasa serba salah, ia tidak biasa menghadapi cara pandang orang yang dihormati ini. Benar-benar tidak mau menatap lawan bicaranya, hanya sekilas lalu kembali menatap lain. 

       "Apakah aku terlalu buruk? Ataukah dandananku yang tidak menggunakan kerudung seperti Bu Nyai?" pikirnya. 

       "Pak Yai,  tolong ajari saya cara agar tidak diganggu setan,  saya takut Pak Yai,  di rumah kontrakkan yang saya huni banyak demitnya." Sulati langsung menyampaikan maksud tujuannya datang ke rumah Pak Kyai. Selang beberapa menit Bu Nyai datang membawa dua cangkir teh hangat untuk dihidangkan,  kemudian duduk di sebelah Pak Kyai. 

         Lalu Sulati menceritakan kejadian yang dialami olehnya dan Nyonya Sandra. Pak Kyai manggut-manggut mendengarkan tanpa sedikitpun menyela. 

      "Bisa baca Al-Qur'an?" tanya Pak Kyai. 

      "Belum bisa, Pak Yai," jawabnya.

      "Bib*, tolong ambilkan diktat sholat dan terjemahan juz amma di lemari!" pinta lelaki berkopyah itu pada istrinya. 

       Bu Nyai segera bangkit dari duduknya berjalan menuju bilik dan keluar dengan membawa  dua buah buku. 

     "Ini, Bib." Bu Nyai mengulurkan kepada suaminya. 

      Pak Kyai membuka juz Amma. Kemudian tangannya mengambil pena yang tersedia di tengah meja. 

       "Sementara kamu baca ini, namanya ayat kursi,  kalau tidak bisa membaca huruf arabnya baca latinnya yang dicetak tebal. Ini saya tandai." Laki-laki yang biasa menjadi imam di masjid samping rumahnya itu membalik lagi lembaran-lembaran Juz Amma.

       "Baca juga ini,  namanya surat An-Nas, lalu ini,  namanya surat Al-Falaq dan ini,  namanya surat Al-Ikhlas. Ketiga surat ini kamu baca masing-masing 3 kali. Pagi dan sore di jam yang sama. Jangan sampai lupa. Sampai sini paham!"

        "Ya, Pak Yai,  terima kasih, " jawab Sulati. 

       "Ini belum cukup lho ya. Sebelum tidur lakukan rutinitas secara berurutan, wudhu, membaca kembali ayat kursi, dan ketiga surat sebanyak tiga kali, kedua tangan seperti orang do'a. Jika sudah selesai tiup kedua telapak tanganmu kemudian usapkan ke seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, agar Allah senantiasa menjagamu dari hal-hal buruk." Pak Kyai menjelaskan dengan kedua tanganya ikut memperagakan apa yang harus dilakukan. 

       Sulati mengangguk-angguk. 

       "Kamu juga harus mulai shalat 5 waktu,  ini aku bawakan diktat shalat,  pelajarilah. Pergilah sebisanya ke masjid!  InsyaAllah Bu Nyai mau mengajarimu. Ya,  'kan,  Bib?" ucap Pak Kyai sambil menoleh ke istrinya. 

       "Ingat! Jangan biarkan lidah dan hatimu tanpa zikir! Ucapkan selalu lafal tauhid,  bisa?"

    

       "Bisa Pak Kyai,  terima kasih banyak. Saya benar-benar berterima kasih atas petuahnya." Berkali-kali Sulati menundukkan kepala tanda terima kaish saat Pak Kyai mengulurkan kedua buku tadi untuk dibawanya pulang. 

         "Saya permisi,  Pak Yai!" pamitnya yang dibalas dengan anggukkan. 

       "Assalamualaikum." Ucapan salamnya dijawab serempak oleh pasangan suami istri itu. 

        Sulati segera mengendarai sepedanya.

    

       "Semoga resep pengusir setan Pak Yai mujarab," do'a Sulati di dalam hati. 

______

note: Bib* kepanjangan dari habibiy/habibaty,  diambil dari bahasa arab yang artinya kekasihku.

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Veedrya
apa ni apa ni ketukan ketukan /.\
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status