Begitu sampai di rumah, Sulati menaruh sepedanya di teras, kemudian mengunci pagar.
Ia masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai atas. Nyonya Sandra sedang memegang sapu tangan basah yang diletakkan pada keningnya, sementara tangan kirinya memegang ponsel.
"Baru pulang, Mbak?" tanyanya sambil menoleh ke pintu melihat Sulati datang.
"Iya, Nya. Ini paracetamolnya." Pelayan itu meletakkan paracetamol di atas meja kecil yang berada di samping ranjang.
"Bawa buku apa itu, Mbak?" tanya Nyonya lagi.
"Diktat shalat sama Juz Amma, Nya!" Mendengar jawabannya, Nyonya Sandra tersenyum meledek.
"Mau tobat, Mbak?"
"Iya, Nya. Takut keburu mati diterkam makhluk hitam," jawab Sulati asal-asalan.
Jawaban pelayannya menyadarkan akan sesuatu hal yang ia kira hanya dirinyalah yang bermimpi tentang makhluk hitam itu.
"Lho, Mbak Sul juga bermimpi makhluk itu?" tanya Nyonya Sandra penasaran.
"Bukan cuma mimpi, Nya. Malah lihat ia menerkam pundak Nyonya."
Seketika pecah tawa Nyonya.
"Mbak, Mbak, ada-ada saja. Aku memang dalam mimpi seperti itu. Masak Mbak masuk ke dalam mimpiku. Tentu saja Mbak tau, 'kan aku sudah cerita," kata Nyonya sambil tertawa. Sulati senyum-senyum melihat wajah ceria majikannya, hari-hari menegangkan seolah sirna seketika.
"Nya, betulkan bacaan saya, ya, barangkali ada yang salah. Nyonya bisakan baca Al-Qur'an? Saya baca latinnya kalau pelafalannya salah tolong dibenarkan!" pinta Sulati.
"Aku belum bisa, Mbak. Bisanya baca Iqro' yang jilid satu, kalau Al-Qur'an belum," jawabnya penuh sesal.
"Nyonya dan saya sekarang satu level. Sama-sama gak bisa baca Al-Qur'an, pokoknya saya baca nanti Nyonya beneri sebisa Nyonya," paksa Sulati, kemudian dia mulai membaca huruf latin ayat kursi.
"Kalau tulisan ra, bukan dibaca pakai 'a' tapi 'o', seperti juga tulisan kayak rahman dibaca rohman," koreksi Nyonya Sandra. Sulati mengulang-ulang yang ia baca, dan Nyonya Sandra membenahi pelafalan sesuai huruf hijaiyyah yang pernah dia pelajari.
"Mbak, gak usah masak. Saya pesankan makanan lewat online saja," kata Nyonya, tangannya sibuk menyentuh layar ponsel.
"Nah, sudah saya pesankan bubur. Mbak mau makan apa?" tanya Nyonya sembari menoleh ke pelayan setianya.
"Apa saja yang enak, Nya. Soto bisa, rawon juga bisa atau sayur asem lauk ikan asin juga enak," jawab Sulati senang. Tugas prioritas Sulati memang menemani sang Nyonya apalagi di saat sakit seperti ini. Itulah mengapa Nyonya tidak begitu menekankan pekerjaan rumah padanya.
"Baiklah." Kemudian tangannya menggeser tampilan layar ke bawah lalu menyentuh klik, menggeser lagi lalu klik lagi hingga tiga kali.
"Mbak, tolong ambilkan dompet saya di tas itu!" pinta Nyonya Sandra. Sulati bangkit dari duduk menuju tas yang ditunjuk oleh majikan wanitanya, tangannya merogoh mencari dompet. Begitu menemukan, ia langsung memberikan pada Nyonya yang masih asyik mengetik sesuatu di layar ponsel.
Selang satu jam.Ting! Tong!
"Nah, itu sudah datang, ini uangnya, Mbak!" Nyonya Sandra mengulurkan tangan memberikan kepada Sulati yang segera diterima olehnya.
Sulati berlari menuruni tangga. Kemudian membuka gembok pintu pagar setelah keluar rumah.
"Rumah Bu Sandra?" tanya pengantar makanan.
"Benar. Berapa?" jawab Sulati sekaligus menanyakan harga yang harus dibayar.
"Delapan puluh ribu, Mbak!" jawabnya.
Segera ia menyerahkan uang sesuai yang dikatakan pengirim makanan. Lalu ia menerimanya.
"Banyak sekali?" tanya Sulati.
"Sesuai pesanan, Mbak. Permisi!" pamitnya.
"Ya," balasnya.
Ia membuka satu persatu makanan yang di pesan, mulutnya ternganga tidak percaya bahwa Nyonya Sandra memesan semua yang dikatakannya. Ada soto, rawon, Sayur Asem lengkap dengan lauknya tahu, tempe dan ikan Asin. Padahal yang ia maksud salah satu menu yang diucapkan. Apa boleh buat, dia harus memanasi, rawon dan Soto, karena bisa dimakan buat nanti malam. Jadi sekarang dia membawa ke atas sayur asem beserta lauknya, sepiring nasi dan bubur Nyonya Sandra.
"Nyonya, kok, pesan buat saya banyak sekali, semua dibeli. Padahal maksud saya salah satu saja," protes Sulati begitu sampai di kamar tuannya.
"Mbak tidak bilang salah satu, bilangnya apa saja yang enak, sih. Sudah tidak apa nanti kalau lapar makan lagi saja," jawab Nyonya Sandra ringan.
Selesai mereka makan, wanita yang sedari malam berada di atas tempat tidur itu meminum obatnya, kemudian tertidur. Sulati tetap berjaga di sampingnya sambil terus mengulang-ulang resep pengusir setan di tangannya, sampai-sampai dia mulai sedikit hafal potongan-potangan ayat kursi dan ketiga surat Al-Qur'an.
Mulutnya komat-kamit membaca sambil matanya sesekali menatap wajah Nyonya Sandra yang damai seperti putri tidur, sangat pulas dan menggemaskan. Nampaknya mimpi buruk sedang tidak ingin mengusiknya.
Tidak ada gangguan di siang hari hingga menjelang magrib. Pelayan itu segera melakukan petuah yang diberikan oleh Pak Kyai, saking semangatnya, ia membaca sambil mengelilingi semua sudut ruangan ini."Biar tidak bisa sembunyi di manapun," pikirnya. Selesai melakukan petuah Pak Kyai ia menyiapkan makan malam.
Sulati makan bersama Nyonya di lantai atas. Begitu selesai dengan sigap ia membereskannya ke dapur lalu naik lagi menunggu Nyonya sambil membaca-baca buku Diktat Shalat.
"Kling!" suara pesan wapri dari ponsel Nyonya Sandra.
[Sayang, 10 menit lagi sampai]
"Mbak, Suamiku sepuluh menit lagi sampai!" Ia memberitahu pelayannya.
"Saya tunggu di bawah, ya, Nya?" Begitu mendapat anggukan dari Nyonya, segera menuruni tangga sambil mulutnya tidak berhenti melafalkan kalimat tauhid.
Ia duduk di ruang keluarga sambil memejamkan mata membuka lagi Juzz Amma melafalkan ayat kursi yang nyaris dihafal sempurna.
Bunyi derum mobil berhenti terdengar di telinga Sulati, tidak lama kemudian suara mobil meninggalkan depan rumah.
"Itu pasti Tuan Dewangga," tebak sulati dalam hati. Hordeng tamu ia singkap memastikan bahwa yang datang benar-benar majikannya.
Seorang pria gagah bertubuh atletis dengan rahang keras sedang membuka pintu pagar yang sengaja dibiarkan tanpa kunci olehnya.
Ia memasuki pintu pagar dengan membawa satu koper besar dan satu kerdus. Tiba-tiba suara angin menderu-deru, dedaunan dan ranting tanaman-tanaman hias serta pohon belimbing saling bergesek. Sulati terperanjat sosok itu ada di belakang tuannya. Kurang dari lima langkah menuju pintu, makhluk itu menghilang, sedangkan tubuh Tuan Dewangga terhentak jatuh berlutut, kepalanya menunduk. Degup jantung Sulati berdetak cepat, tidak beraturan.
"Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya sambil mondar-mandir di belakang pintu. Ia menggigit bibir bawahnya kuat kuat. Kedua tangannya meremas-remas ujung baju.
Kemudian ia berlari ke atas menuju kamar Nyonya Sandra tanpa membuka pintu depan terlebih dahulu.
Suara ketukkan pintu cukup nyaring, tapi Sulati mengabaikan.
"Nyonya, dengarkan saya baik-baik! Jangan buka pintu kamar ini, sampai saya datang. Pintu ini saya kunci terlebih dulu agar Nyonya aman," pesannya terburu-buru, tangannya mengambil kunci dari balik pintu lalu menutupnya dan memutar kunci dari depan.
Nyonya Sandra terperangah penuh tanda tanya.
Setelah mengunci kamar Nyonya Sandra, Sulati kembali menuruni tangga. Bersiap di belakang pintu sambil memejamkan mata mengigit bibirnya kuat-kuat membaca sebisa yang ia ingat di dalam hati. "Makhluk itu mungkin tidak bisa masuk dengan tubuh aslinya tapi entah jika memanfaatkan raga Tuan Dewangga. Tuhanku beri aku jalan keluar, selamatkan kami." Sulati terus memohon, hingga ketukkan pintu berubah menjadi gedoran kasar. "Bagaimana jika ia mendobrak pintu ini?" Baru saja ia berpikir seperti itu, tiba-tiba suara gebrakkan terdengar. Pintu terkuak dengan paksa, Tuan Dewangga memandang beringas menatap Sulati dengan mata merah membara. Sulati mundur beberapa langkah lidahnya mulai reflek mengucap kalimat tauhid matanya menatap tajam mata yang merah itu. Lelaki yang kerasukkan jin it
Tiga tahun yang lalu. Tok! Tok! Tok! Penghuni Kontrakkan yang baru datang dua hari yang lalu itu saling pandang. Mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Le*, tolong dibuka pintunya!" perintah Kyai Sholeh pada Umar, putranya yang baru berumur 18 tahun. "Nggeh, Abi," jawab Umar. Remaja yang baru pulang dari pesantren itu berdiri menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Ia membuka hordeng jendela kaca ruang tamu, tapi tidak terlihat siapapun di sana. "Abi, tidak ada siapa-siapa di luar!" teriak Umar sedikit keras, agar yang di ruang keluarga terdengar. "Ya, sudah kalau begitu. Tidak usah dibuka!" jawab Abinya.&
Satu bulan telah lewat tanpa ada gangguan dari makhluk jelaga. Meskipun begitu keluarga Kyai Sholeh masih senatiasa rutin membaca Al Qur'an. Hingga suatu hari yang dinanti sang mkhluk tiba. Jam 05.00 setelah subuh. "Abi, perut Umi sakit!" Umi memegangi perutnya, sambil meringis menahan rasa mulas yang datang dan pergi dalam waktu berdekatan. Abi menghentikan bacaan Al-Qur'an kala mendengar rintihan istrinya. "Mungkin sudah waktunya melahirkan," pikir Abi. Ia bergegas menghampiri istrinya. "Abi antar ke bidan sekarang ya? Tunggu di sini," kata Kyai Sholeh. Ketika hendak berdiri, istrinya menahan tangan kanannya, wajahnya meringis menahan rasa sakit luar biasa. "Abi, bolehkan Umi tinggal sementara 3 bulan pasca melahirkan di rumah orang tua Umi?" mohonnya. Abi tidak ja
"Nduk, coba susui anakmu ini dari tadi menangis saja. Entah ada apa?" minta Emak pada anak perempuannya. Umi mengambil bayinya yang tengah menagis dari gendongan Emakn dan mulai menyusui. Namun ketika bayi mulai merasa nyaman dan mengantuk, ia tersentak. "Oeee ... oee ... oeee ...!" tangisan histeris bayi kembali menggema. Umi bingung dengan anaknya. Ia periksa popok, basah langsung dia ganti. Namun tangisannya tidak kunjung berhenti. "Assalamu'alaikum!" suara Abi dan Umar pulang dari masjid. "Wa'alaikum salam wr. wb!" jawab Emak dan Umi serempak. "Anak Abi kenapa menangis?" Abi mendekati anaknya sambil mencolek pipinya. "Iya, Bi. Entah kenapa setiap akan memejamkan mata selalu terkejut lalu histeris," jawab Umi.
Lima belas tahun yang lalu di rumah itu. Malam itu Ki Lurah Agung Jayengrana pulang larut, Larasati terbangun mendengar ketukan pintu. Wanita dengan pakaian adat jawa itu membenahi sanggulnya dan merapikan kebaya krem yang ia pakai lalu membukakan pintu untuknya. Namun Ia terdiam mematung saat berhadapan dengan sang tulang punggung keluarga. Ternyata ada gadis sinden di samping suaminya. Anak perempuan bernama Kirana yang masih berusia 5 tahun ikut terjaga manakala sang Ibu tidak di sampingnya. Ia segera berlari ke samping Larasati. "Ibu mengapa Bapak membawa Mbak Sinden ke rumah?" tanya Kirana lirih tangannya menggenggam lengan Larasati. Ibunya hanya mengelus kepalanya sekali. "Apa maksud Kang Mas, membawa gadis ini kemari?" tanya Larasati menyembunyikan luka yang men
"Jadi bagaimana, Nduk? Keputusan ada di tanganmu." Akhirnya Ketua paguyuban melaksanakan terapan pada Ningrum. Gadis sinden itu menarik nafas dalam-dalam, lama ia terpekur. "Jika saya mengedepankan ego, maka nasib paguyuban akan selamanya berpindah-pindah tempat. Bukankah sejak dulu kita punya mimpi untuk menetap di satu daerah. Sekarang harapan itu ada di depan kita. Jadi untuk kepentingan kita bersama, saya harus rela berkorban. Akan saya tahu pengorbanan saya tidak sia-sia. " Keputusan inilah yang membuat Ningrum di malam berikutny
"Ayo, Bapak antar anakmu berobat pakai motor. Dipannya nanti biar Bapak mampir ke rumah Pak Sasongko. Kemasilah pakaianmu dan milik anakmu! Kita tinggal sementara di rumah Bapak," ucapnya. Larasati segera mengemasi pakaian mereka berdua. Pak Mangun menggendong cucu kesayangan di punggung menuruni tangga, diikuti oleh anak perempuannya. "Bilang pada Agung, aku bawa pulang anak dan cucuku. Pesanku padanya sampaikan jika kacang sudah lupa dengan kulitnya maka bersiaplah menerimakarmanya," ucap laki-laki berambut putih itu kepada Ningrum saat berpapasan, wanita itu hanya diam saja tidak tahu bagaimana harus bersikap. "Seandainya karma itu benar ada, lalu karma apa yang dulu kujalani bersama rombongan harus berpindah-pindah tempat, sering kali kami menahan lapar manakala penduduk mulai jenuh dengan pementasan l
Ningrum dan Ki Lurah pulang dari pelesiran, sampai di pagar mereka mendapatkan Larasati dan Kirana asyik menanami halaman mereka dengan tanaman hias. Meskipun jelas suara kendaraan datang dan berhenti di depan rumah, tetapi wanita itu sedikitpun tidak melirik ataupun menoleh pada siapa yang datang. Sebaliknya lelaki beristri dua itu juga tidak hendak menyapa wanita yang telah memberikannya keturunan. Ki Lurah Agung menyadari sepenuhnya ada perang dingin antara dirinya dan Larasati. Ia ingin tahu seberapa lama istrinya itu bertahan mendiamkannya. Satu minggu lewat tanpa ada sepatah katapun di antara mereka berdua. Sampai suatu hari Pak Sasongko datang membawakan dipan yang dipesan. Ia dengan dibantu salah satu centeng Ki Lurah merangkai papan serta ukiran kayu jati menjadi sebuah ranjang tidur yang unik terkesan mewah.