Tahun 1995
Jerit tangis bayi membangunkan Joko dari tidur pulas ya, kesal merasa terganggu, pundak istrinya yang sedang mengorok ia guncang tidak sabar."Hei! bangunlah, tuh anak mu mau nyusu!" ucap Joko dengan kesal.Sang istri yang masih setengah sadar, dengan terpaksa melangkah menuju box bayi, untuk melihat keadaan si bayi yang sedang menangis. Sementara Joko yang akan tertidur kembali, mendadak teringat bahwa malam ini ia harus membuka pintu air untuk mengisi tambak-tambak yang sudah di kosongkan dua Minggu sebelumnya. Tambak-tambak tersebut, sudah di betulkah serta di cuci hamakan, dan saat ini lumpur nya sudah cukup kering untuk di isi air dan sorenya akan di tabur bibit ikan di dalamnya."Popoknya basah!" ucap Ani memberi tahu, jelas dengan maksud agar si suami mau membantu untuk mengambilkan popok pengganti.Joko dengan cepat turun dari atas kasur, tetapi tidak untuk memenuhi permintaan sang istri, melainkan langsung menuju pintu kamar dan pergi menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Selagi buang air kecil, ia mendengar suara Omelan sang istri. Joko menyeringai, sementara suara tangis bayi yang baru saja di lahirkan beberapa hari itu masih saja memecah kesunyian malam di sekitar rumah mereka.Tangis bayi itu sudah menghilang sewaktu Joko telah selesai menunaikan hajatnya, Joko kembali masuk kedalam kamar untuk mengambil kain sarung dan berpamitan dengan sang istri, sewaktu di dalam kamar, joko melihat bayi merah itu sedang menghisap sumber kehidupan di tubuh ibunya, Ani yang setelah rebahan di tempat tidur tidak menyadari kain kembennya tersingkap lebar, sehingga apa yang tersembunyi di sebaliknya tampak begitu nyata.Joko tertegun, dengan sepasang mata yang menatap nanar.Ani yang menyadari hal itu dengan cepat merapatkan pahanya. "Begitu ya, bantu ngurus ogah, membuat nya saja yang mau!" cetus Ani.Joko yang mendengar sindiran itu lantas merasa malu, tanpa berkomentar apa-apa ia sambar kain sarung yang tergantung di dinding kamar, dan dengan segera ia lilitkan di pinggangnya."Eh akang mau kemana?" tanya Ani."Membuka pintu air," ucapnya dengan nada kesal, dengan berjalan ke arah pintu kamar Joko menambahkan. "Barangkali aja setelah itu, ada perempuan lain yang minta di bukakan celana nya!""Eh, akang!" Ani mendelik, namun setelahnya tertawa cekikikan. Sampai-sampai puting susunya terlepas dari mulut sang bayi merah, sehingga bayi itupun kembali menjerit menangis lebih ribut dari sebelumnya.Di iringi tawa Ani, dan jerit tangis bayi mereka, Joko pergi meninggalkan rumah dengan membawa cangkul di tangannya dan lampu senter di sebelah tangan satunya. Ia tidak mengambil jalan menanjak yang langsung ke pintu air, melainkan menempuh jalan perkampungan yang tampak tengelam di kegelapan malam."Kalau saja Ani tahu, dia tidak akan cekikikan menghina!" Joko menggerutu dengan dongkol, namun juga tampak sekilas gembira. Karena sebentar lagi ia akan memperoleh apa yang sudah setengah bulan lebih tidak ia dapatkan dari Ani. Setengah bulan? Hem, berarti masih menunggu dua puluh sekian hari lagi sebelum Ani boleh melakukan kewajibannya sebagai istri. Sungguh waktu menunggu yang sangat menjengkelkan dan bisa saja membuat kepala pecah."Untung masih ada julaiha," pikirnya.Untung! ternyata tidak juga. karena lampu minyak tanah yang berada di luar rumah tampak sangat terang. itu pertanda bahwa Galih sudah pulang dari kota."Pasti si kuli bangunan itu kebetulan dapat rezeki nomplok, sehingga suami Eha yang sialan itu menyalahi jadwal pulangnya." ucap Joko dalam hati dan meneruskan langkahnya hingga tiba di jendela salah satu kamar tidur rumah Galih. Joko mendengar suara dipan yang berderit dengan ribut, dan jelas ia mendengar suara manja julaiha dengan sedikit desahan."Aduhh kang Galih, jangan dulu berhenti dong. aku kan masih belum..."Ingin sekali rasanya Joko berteriak marah. "Si Eha haram jadah!" umpatnya dalam hati, namun selain itu sebuah tindakan yang konyol, Joko juga harus menyadari bahwa julaiha tidak bermaksud melanggar janji yang telah mereka sepakati waktu sore tadi yang kebetulan bertemu lantas ngobrol sambil memakan bakso di dekat kantor pos kecamatan, Galih yang pulang tak bilang-bilang membuat Joko harus dua kali mengigit jari, sudah istri sendiri perboden, dengan julaiha pun ke dahuluan pula!"Tak apa lah, nanti jika galih kehabisan uang, dan julaiha kembali mengomel seperti biasa, si kuli bangunan itu pasti buru-buru ngacir ke kota. Giliran ku akan tiba pada akhirnya." ucapnya sambil tersenyum tipis walaupun tampak jelas ia sangat kecewa, "Ah sudahlah, lebih baik aku segera melanjutkan perjalananku".Benar-benar sialan memang, tapi yang lebih sial Joko harus menempuh jalan memutar yang lumayan jauh agar tiba di tempat tujuan semula, alhasil Joko harus bermandi keringat dan untuk beberapa saat lamanya terpaksa ia harus duduk beristirahat.Lolongan panjang seekor anjing dari kejauhan yang di sambut oleh anjing lainnya dari berbagai arah, membuat Joko terkejut dan segera berdiri dari duduknya. Dengan perlahan ia mengambil dan menggenggam erat gagang cangkul sambil melihat awas di sekitar pintu air tempat nya sekarang berada.Suara lolongan anjing tersebut menandakan adanya roh gaib yang bergentayangan turun ke bumi, entah di mana dan untuk tujuan apa, yang pasti adalah Joko seorang diri berdiri di tempatnya sekarang, jauh dari perkampungan, meski cukup dekat dengan dari rumah tinggalnya dan rumah besar milik majikannya."Sebaiknya aku kerjakan cepat dan ..." ucapnya dengan sambil melangkah menuju pintu air.Lolongan anjing yang tadinya sahut-sahutan, kini semakin melemah dan berhenti. Aneh! ah barangkali sang roh gaib membatalkan niatnya, atau Joko yang terlalu berfikir yang tidak-tidak. Meski masih bimbang Joko kembali merasa tenang, dan ia memutuskan untuk segera bekerja lalu pulang secepatnya ke rumah."Semoga saja Ani belum tidur dan mau menyambut ku dengan sebuah ciuman hangat!" iya bergumam sekedar menghibur diri.Lampu senter yang ada di tangan nya segera ia nyalakan dan Joko mulai melangkah menuju ke pintu air di samping tiga saluran besar yang berhulu di lereng gunung. Joko yang baru saja akan membuka pintu simpang saluran yang menuju tambak-tambak ikan yang baru saja di perbaiki itu, segera merasakan pundaknya bergetar ganjil, secara naluriah Joko membalikkan tubuh dan mengawasi ke satu arah. Dengan gemetar lampu senternya di angkat dan menerangi ke satu arah.Tanpa menimbulkan suara, dari jalan setapak menurun yang sejajar dengan saluran air ke tambak perlahan-lahan muncullah sosok bayangan putih yang bergerak langsung ke arah tempat Joko berdiri.Bayangan sosok tubuh wanita, yang berjalan bagai mengambang di bawah siraman cahaya bulan. Kemudian ...."Ah ... juragan putri kiranya!" ucap Joko dengan menghembuskan nafas lega, lalu segera ia turunkan sorot lampu senternya. "Tadinya saya sangka ...."Tidak pernah terbayangkan oleh Agung bahwa Rina akan mati muda, dan sedemikian cepat. Dan juga Agung sangat sulit untuk menerima kenyataan, bahwa Rina kini terbaring di kedalaman tanah yang sangat dingin dan gelap gulita. Yang lebih menghancur luluhkan hati. Agung tanpa sempat melihat jasad Rina, bahkan untuk yang terakhir kalinya!Saat terakhir agung melihat Rina adalah di suatu pagi buta di suatu tahun yang lalu, satu bulan setelah Rina menikah dengan Ariadi. Agung yang biasa terbangun di pagi buta untuk lari pagi, di buat terperanjat manakala ia membuka pintu rumah mereka ... Di lahat, Rina tahu-tahu sudah berdiri di hadapan mata. Tampak lelah, namun tetap dengan kecantikan dan sinar mata yang sama. Sinar mata yang bergelimang cinta!Agung sempat di datangi prasangka buruk, bahwa Rina telah di ceraikan oleh Ariadi. Atau yang paling masuk di akal. Rina yang menceraikan Ariadi. Siapapun di antara mana yang benar, satu hal yang sudah pasti. Agung sampai pucat sangking terguncangnya."
Sebelum Agung sempat mengutarakan sesuatu, orang tua yang bermata tajam itu sudah membuka mulutnya kembali. Suaranya tetap terdengar lembut dan tenang. Setenang sikapnya. "Saya tidak akan bertanya apa yang kau kerjakan di sini. Saya hanya menganjurkan, sebaiknya kau segera kembali ketempat dari mana kau datang!" Agung melihat dengan tersentak. "Tepi ...." Belum lagi ia menyelesaikan ucapannya."Saya tidak suka pasien saya terganggu!" Sela si orang tua. Dengan nada suara berubah tajam.Agung mengerutkan kening. "Pasien?" Ucapnya dengan nada menyelidiki."Saya seorang dukun!" Orang tua itu menjelaskan."Ohh ..." Sekali lagi Agung di buat tersedak. Namun tidak mengurangi hasrat nya untuk melunakkan penerimaan si orang tua. "Parah benarkah sakitnya?""Kau sudah dengar sendiri, anak muda. Suara mendengkur nya tidak lazim bukan?"Agung manggut-manggut setuju. Lantas mengomentari dengan gaya sambil lalu. "Tadinya aku sempat mengira yang di dalam itu..." Agung menunjuk lewat bahu kearah bela
Puncaknya, saat Rina berusia 17 tahun. Yakni usia kebanggaan seorang gadis, saat di mana semua harapan dan juga serta doa di panjatkan dengan setulus hati. Dan pada kesempatan bersejarah itu, Agung menyempatkan diri untuk menyinggung hal yang sama dalam ucapan selamatnya pada Rina. Secara bermain-main tentunya."Pasti bakal rame, bilang saja saat ini kau memiliki seorang pacar ...!" Ucap Agung dengan nada bercanda.Namun Rina menatap dengan tenang. Dan menjawab dengan nada lebih tenang lagi. "Hanya Abang seorang yang patut menjadi pendamping ku!" Kali ini Agung tidak tertawa. Bukan karena tidak berani. Melainkan benar-benar tidak bisa. Hal itu di sebabkan Agung melihat langsung ke arah Rina dan ia menyadari, di balik mata Rina yang berbinar, terpancar perasaan cinta yang tulus. Cinta seorang gadis kepada lawan jenisnya.****Tempat yang terbuka di hadapannya sempat membuat Agung tertegun sejenak. Rupanya tanpa ia sadari, ia telah berjalan hanya dengan mengikuti ke arah mana kaki mela
Agung memotong dengan tandas ucapan Marni. "Kuburan baru gampang menemukan nya, paling tidak di kayu nisannya masih ada nama!" Lantas agung dengan segera pergi berlalu. Di belakangnya, Marni berdiri mengawasi dengan wajah murung. Marni tetap seperti itu, berdiri terpaku beberapa saat. Sampai agung menghilang di luar rumah. Baru setelah nya Marni mengurut dada, sambil berbicara sendirian. "Laki-laki yang malang - andai, dia tau kebenarannya ...!" Saat berikutnya, sudut-sudut mata Marni tampak basah. Ia kemudian kembali meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Mengepel lantai sambil bergumam pelan dan hampir tidak jelas terdengar. Suatu saat, pundak Marni tampak bergetar. Lantas wanita setengah baya itu menangis tersedu-sedu. Lanjut pada Agung.Saat keluar dari rumah, agung langsung mengitari dan kemudian memeriksa halaman di bagian luar kamar yang ia tempati. Ia menemukan beberapa lekukan di tanah yang berumput. Tetapi Agung tidak berani memastikan apakah lekukan-lekukan
"Ada apa. Bi?" Dengan penasaran Agung mencoba bertanya, dan berharap ada jawaban yang sesuai dengan ia inginkan.Namun yang di tanya hanya. "Ah - bukan apa-apa!" Marni menyahut lirih. Dengan nada suara seperti tertekan. Mencoba tersenyum kembali, ia kemudian menambahkan. "Saya masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa juragan istri telah berganti ... Eh - maksud saya telah tiada!" Tampak jelas Marni menyadari sesuatu dengan tiba-tiba, saat mana ia kemudian meralat ucapannya dengan cepat. sehingga mau tidak mau Agung lantas mengerutkan kening. Namun sebelum Agung sempat membuka mulut untuk bertanya kembali. Marni sudah menemukan dirinya kembali. Lantas berujar dengan sikap santai. "Om, tentunya mau ke kamar mandi ya? Silahkan, saya akan membuat kopi selagi om masih di kamar mandi!" Ucap Marni seraya berjalan menuju dapur. Baru satu dua langkah ia beranjak dari tempatnya, Marni kembali membalikkan tubuh. "Yang encer, kalau tak salah. Dengan sedikit gula. Iya toh?" Marni menebak denga
Sesuatu terjadi!Saat itu justru Rina lah yang terkejut.Dengan sigap ia melihat beberapa detik ke arah sang laki-laki. Seakan menyadari sesuatu, jari jemarinya dengan cepat ia tarik mundur dari wajah agung. Dan secepat itu pula sosoknya menjauhi tubuh Agung di tempat tidur. Dengan cepat menuju ke arah jendela yang terbuka lebar. Wajah yang indah di pandang itu tampak memucat, ketakutan. Namun di wajahnya yang memucat saat ini masih terlihat sepasang mata yang yang basah. berlinang menyedihkan. Apa yang di takutkan Rina? Apa pula yang ia tangis kan?Dengan sekuat tenaga dan perlahan-lahan Agung menggeliat bangun dari tempatnya. Dengan suara parau Agung memangil. "Rina ...." Seakan Rina tidak mendengar panggilan itu.Terlambat sudah. Seharusnya Agung Bratamangala lebih cepat meluncur dari tempat tidurnya, langsung mendatangi dan merangkul Rina, melampiaskan pendaman rindu sepuas hati. Namun baju juga kepikiran itu muncul di benak Agung, sosok Rina sudah memutar dengan cepat. Pada det