"Apakah kau tidak ingin bangun?"
Suara itu bergema di sekitarnya dan menarik Isaura yang masih berada di dalam kegelapan, seakan-akan dia menjadi buta atau seluruh penerangan telah direnggut dari sekelilingnya. Sunyi dan dingin yang menusuk seakan berhembus memeluk tubuhnya hingga menggigil. Dia tidak bisa bergerak bahkan jika dia telah berusaha untuk melakukannya. Seperti terikat dengan kegelapan yang tak berujung itu.
Perlahan namun pasti seperti lubang yang di terpa cahaya, bintik kecil yang begitu cerah muncul dan menarik atensinya, dia mengedipkan matanya dan menemukan bahwa cahaya itu semakin membesar dan semakin jelas mengenai tubuhnya. Dia meraih lingkaran cahaya itu dan bergegas untuk meraihnya hanya untuk mendapati bahwa cahaya itu perlahan menjauh.
Tidak! Dia harus mendapatkannya. Dia harus keluar dari kegelapan ini.
Dia mengerakkan langkah kakinya dan berlari untuk mengejar cahaya itu, dia tidak bisa membiarkannya berl
"Percayalah padaku Verdande, kau tidak ingin pergi dari dunia ini."Isaura masih merasa bingung, ia tidak pernah menyangka akan menemukan orang lain di tempat ini. Bahkan pihak lain tampaknya mengetahui tujuannya untuk dapat mencapai tempat ini. Tapi bagaimana bisa dia mengetahuinya?Ia menatap sosok kakek tau di hadapannya, "bagaimana kau mengetahui apa yang ada di dalam hatiku? Tetapi sebelum itu, kau menyebutku siapa?"Orang tua itu hanya tersenyum menyikapi pertanyaannya, kemudian melepaskan topi anehnya itu, tampaklah rambut yang telah memutih khas dengan usianya. Lalu ia menepuk batu di sampingnya untuk memberikan isyarat agar Isaura duduk di sana."Duduklah terlebih dahulu, bukankah tidak nyaman bagimu untuk terus berdiri? Apakah luka di perutmu telah membaik?"Isaura mengerutkan keningnya."Kakek, Bagaimana kau tahu bahwa perutku sedang terluka?" Seharusn
Dia merasa seakan-akan tengah melayang di antara ruang hampa, hanya ada kabut putih samar yang tidak berujung di sekelilingnya, dia berusaha bergerak menyibak kumpulan kabut itu tetapi tidak ada apapun yang tampak atau sekedar menunjukan sesuatu secara sekilas. Ia melangkahkan kakinya perlahan tanpa arah dan tujuan. Hanya ketika ia berpikir bahwa kabut ini benar-benar tidak akan pernah berakhir, pemandangan di hadapannya berubah secara perlahan. Kabut memudar dan menunjukan pemandangan sebuah kediaman megah bertahtakan "Balairung Urd" di puncak pintu masuknya. Balairung Urd? Tunggu ... dimana ia pernah mendengarnya? Ah, Isaura bergerak masuk dengan perlahan setelah menemukan ingatan bahwa kakek tua yang menyebut dirinya sendiri sebagai Grimnir itu menyebutkan mengenai sumur yang menjadi penentu takdir yang disebut sebagai sumur Urd. Apakah Balairung dengan nama ya
Samar-samar ia mendengar banyak suara, penuh kepanikan dan juga ketidaksabaran. Banyak langkah kaki yang berjalan bolak-balik di sekelilingnya. Udara di sekitarnya di penuhi dengan kecemasan, dan juga kegugupan. Hanya ketika ia membuka matanya, ada Neo yang terus berjalan dengan gurat khawatir memenuhi matanya, di ujung tempat tidurnya terdapat Evander yang berdiri sambil bersandar kepada papan kayu di belakangnya. Keningnya berkerut dan aura suram meneyelimuti wajahnya. Di samping tempatnya berbaring, Aryua sang Healer dari bangsa Elf duduk dan mengenggam tangannya dengan mata terpejam, seharusnya ia sedang menyembuhkan luka di tubuhnya. Ia masih menunggu, tetapi tidak ada satupun dari ketiga sosok ini yang menyadari bahwa ia telah tersadar. Elf di sisinya mengerakan kelopak matanya dan membukanya perlahan, hanya untuk memili
"Apa! Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" Isaura berusaha bangkit untuk bangun dari tempatnya berbaring, tetapi Evander menahan bahunya agar ia tetap tenang dan tidak bertindak gegabah. Neo memiliki raut wajah yang lebih cemas daripada sebelumnya, "Isaura, aku memberitahukan hal ini kepadamu bukan untuk membuatmu semakin khawatir. Aku mohon tenangkan dirimu, Xantha terluka tapi anggota packku telah mengurusnya, jika Aryua tidak keberatan mungkin dia bisa membantu memulihkannya." Aryua tidak berpikir terlalu lama dan segera menganggukan kepala sebagai tanda persetujuannya. "Aku juga ingin melihatnya," dia menatap Neo lalu beralih kepada Evander yang masih menahannya. Dia memasang raut wajah memohon. Tidak mungkin baginya untuk terus berbaring di sini sedangkan kawan baiknya yang pernah membantunya terluka parah di tempat lain. Evander menepuk puncak kepalanya, "beristirahat
"Tuanku apakah kau ingin kita mencobanya untuk segera menyingkirkan musuhmu itu, atau kita urus klan cecunguk yang membantunya?" tanya salah satu sosok dengan jubah hitam yang menunduk kepada sosok yang duduk di atas takhta dari batu.Mengangkat wajahnya yang pucat dibalik rambut hitam yang mengalir sepanjang bahunya, sosok itu adalah Vilaevils, atau vilav yang jiwanya telah terbangun dari segel Lakhesis. Obsidian merahnya nampak berpendar ketika ia menatap ketiga sosok bawahannya yang tengah memberikan laporan kepadanya. Ia berbicara dengan suara serak, ia hampir lupa kapan terakhir ia berbicara. "Bagaimana ia yang sekarang?" Ketiga bawahannya itu segera tahu siapa yang ia tanyakan, salah satunya segera menjawab, "tidak di sangka bahwa ia terlahir sebagai gadis desa yang sangat lemah tuanku, bahkan tampaknya dia tidak mengingat siapa dirinya yag sebenarnya."
Langkah kaki yang menginjak tanah di hutan menimbulkan suara ranting patah dan gemersik dedaunan kering di sekitarnya, pepohonan yang menjulang tidak membuat suasana di sekitarnya lantas menjadi suram. Garen lahir dan besar di Pack Sethmolf yang berada di antara hutan ini, bahkan jika hutan menjadi segelap malam, ia tidak akan merasa takut barang sesaat. Ia menendang krikil ketika akhirnya sampai di tanah yang agak lapang, "aku benar-benar tidak bisa mengerti. Mengapa mereka semua tidak melihat bagaimana berbahayanya gadis itu? Aku tidak perlu melihat dua kali untuk menemukan kenyataan bahwa dia pasti menyembunyikan sesuatu, tetapi mereka semua tidak ada yang percaya kepadaku." Garen kesal. Benar-benar merasa sangat kesal sehingga ia ingin berubah menjadi serigala dan mengamuk di tengah hutan barang sesaat. Kemudian, keinginanya itu terhenti ketika ia teringat bahwa kawan-kawannya yang lain mungkin
"Archer bagaimna kau bisa mendapatkan luka seperti ini?!" Seru Isaura dengan segera memeriksa luka di bahu Centaur itu, ia masih memeriksa setiap inci tubuh dari kawannya itu dengan hati-hati sebelum bisa bernafas lega bahwa tidak ada luka parah yang lainnya. Evander tentu saja mengikuti di belakangnya dengan alasan ingin menemani jika saja ia memerlukan bantuan, tetapi pemandangan di hadapannya membuatnya segera menyesal mengikuti isaura kemari. Melihat luka di bahu centaur itu, ia memutuskan untuk menahan diri, meskipun tetap saja rahangnya mengeras. Hanya saja, haruskah ia menyentuh semua tubuh pihak lain seperti itu? Archer tersenyum menatap gadis di sampingnya itu, tidak banyak yang berubah kecuali bahwa ia terlihat lebih pucat, senyumannya segera memudar ketika ia teringat bahwa sebelumnya Neo juga menyebutkan mengenai isaura yang terluka.
"Jadi kau memutuskan untuk berpisah dengan kedua prajuritmu dan berakhir di Arkadia, tapi kenapa kau tidak meneruskan perjalananmu ke perbatasan?" tanya Neo, dengan kedua tangan yang bertumpu di pinggangnya. Archer mengelengkan kepalanya, meskipun wajahnya masih di penuhi dengan raut pucat tetapi kerutan di keningnya dan sinar matanya yang meredup masih mengambarkan betapa buruk suasana hatinya saat ini. Ia menghela nafas sejenak. Ia berkata, "jika aku tetap menuju perbatasan, mereka pasti telah menungguku. Bahkan aku masih tidak bisa memastikan apakah perbatasan masih baik-baik saja setelah semua ini." Evander yang masih terdiam kemudian memiliki perubahan di dalam raut wajahnya, ketika ia menyimpulkan, "jika mereka begitu mengincarmu, tidak mungkin kau hanyalah prajurit biasa." Berbalik untuk menatap Evander, Isaura merasa cukup bingung dengan kesim