Share

CHAPTER 4

Aku mendadak jadi pusat perhatian. Sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah tidak ada yang tidak menatapku. 

Ini semua karena Jenan. Iya. Jenan tiba-tiba datang ke kelasku membuat kehebohan dengan mencariku untuk mengajak pulang bareng. 

Awalnya aku tidak percaya kalau Jenan mencariku. Tapi, setelah melihat wajah Sinta si biduan kelas itu aku baru percaya apalagi ketika melihat Jenan yang memberi kode kepadaku untuk cepat keluar. 

Jenan berjalan didepanku. Dia tidak berkata apa-apa daritadi. Dia bahkan tidak menyuruhku untuk berjalan disampingnya. 

Biasanya kalau didrama yang aku lihat kan begitu. Si laki-laki akan berhenti berjalan lalu menengok ke belakang dan bilang, "kenapa jalannya dibelakang? Kamu itu pacar aku jadi jalannya harus disampingku." Setelah itu mereka jalan bergandengan tangan dan perempuannya tersenyum malu-malu. 

Aku kembali menatap Jenan didepanku. Lalu mendesah pelan. Memang ya drama dan realita itu berbeda. 

Sesampainya di parkiran Jenan menyuruhku untuk menunggunya mengeluarkan motor. 

Iya, motor besar yang biasanya dipakai memboncengi Alice. 

Setelah mengeluarkan motornya, Jenan menyuruhku naik. Dia juga memberikan helm berwarna putih, helm yang biasa dipakai Alice. 

Dulu aku sering sekali menghayalkan ini, tapi setelah menjadi kenyataan kenapa rasanya beda. Rasanya tidak seindah imajinasiku. Apalagi ketika sadar yang kupakai ini semuanya milik Alice rasanya ada yang sakit gitu. 

Sepanjang perjalanan aku dan Jenan tidak banyak bicara. Aku sebenarnya mau bertanya apa dia tahu arah rumahku, tapi ku perhatikan daritadi Jenan tidak berniat bertanya. 

Dan ketika melewati daerah perumahanku Jenan juga tidak berhenti. Aku sedikit panik sih, tapi tidak mungkinkan Jenan mau menculikku apalagi membunuhku? 

Jenan memberhentikan motornya ketika sampai disebuah cafe. Akupun hanya mengikuti Jenan dari belakang.  Aku benar-benar merasa seperti anak ayam yang mengekori induknya. Tapi mana ada induk ayam yang setampan Jenan. 

Jenan menyuruhku duduk dan aku langsung menurutinya tanpa berbicara apapun. 

"Pesan." Suruhnya ketika dia sudah memesan. Sekali lagi aku langsung menurut dan memesan minuman karena aku tidak lapar. 

Setelah itu aku dan dia kembali diam. Suasananya benar-benar terasa canggung.

"Gue ngajak lo kesini mau bahas yang tadi." Ucapnya memecahkan keheningan antara kami. 

Aku hanya mengangguk. Walaupun dalam hati sebenarnya aku deg-degan. Apa jangan-jangan Jenan sadar dan mau memutuskanku? Atau dia mau bilang kalau yang tadi dia cuma khilaf saja? 

"Gue ngajak lo pacaran, tapi gue nggak suka sama lo." 

Hm.. brengsek. Musnah sudah hayalanku soal Jenan yang menyukaiku diam-diam. 

"Tapi bukan berarti gue nggak serius soal itu. Gue tetep ngajak lo pacaran karena setelah gue liat lo jauh lebih baik dari cewek-cewek yang deketin gue." 

Astaga. Mendadak aku merasa jauh lebih cantik daripada cewek-cewek cheers yang berusaha mendekati Jenan. 

Aku berdeham pelan, "jadi tujuan kamu ngajak aku pacaran apa?" Tanyaku to the point. 

Jenan tersenyum mendengar pertanyaanku, senyuman yang tentu saja tidak terlihat menyenangkan, "jujur aja alasan gue pacaran sama lo karena gue capek dideketin banyak cewek." 

"Kenapa harus aku?" 

"Kan udah gue bilang, lo jauh lebih baik dari cewek-cewek yang deketin gue." 

Aku menatap Jenan bingung. Perasaan ku juga sedikit merasa sakit sih, apalagi mendengar alasannya ingin memacariku  hanya karena capek didekati cewek-cewek. Secara tidak langsung dia hanya memanfaatkanku saja. Memang sih aku menyukainya tapi bukan berarti begini juga kan? 

"Gue yakin sekarang Dimata lo gue keliatan brengsek banget dan gue juga sadar kalo gue sekarang jahat banget. Untuk itu gue bakal ngasih penawaran ke lo. Gue bakalan nurutin lima permintaan lo dan lo cukup nurutin satu permintaan gue." Jenan mengeluarkan kertas dan pulpen lalu menaruhnya ditengah.

"Apa aku boleh nolak?" Tanyaku.

Sekali lagi Jenan malah tersenyum tapi kali ini malah jauh kelihatan lebih menyeramkan, "bagus kalo lo nolak soal permintaan itu, jadi gue nggak harus nurutin permintaan lo. Dan Lo tetep jadi pacar gue." 

Aki menganga tidak terima, "nggak gitu!" Ucapku kesal. 

Dia hanya menaikan alisnya. 

Aku bimbang. Aku bingung. Aku tidak tahu harus apa. Setengah logikaku menyuruhku untuk berhenti, tapi setengahnya lagi menyuruhku untuk terus maju. Kapan lagi bisa memanfaatkan Jenan? Apalagi aku sudah terlanjur dimanfaatkan.

Soal kedekatanku dengan dia pun sudah terlanjur menyebar di sekolah. Dan aku yakin setelah ini pasti aku akan jadi pusat perhatian. 

Setelah kerugian yang aku alami karena Jenan setidaknya aku juga harus mendapatkan keuntungan. 

Juga, ada kemungkinan kalau aku membuatnya jatuh cinta kan? Tiba-tiba sudut perasaanku berteriak kalau ini bagian dari kesempatanku untuk mendapatkan hati Jenan. 

Benar. Aku harus memanfaatkan ini. 

Aku tersenyum kearah Jenan lalu mengambil kertas dan pulpen itu. Aku menuliskan lima hal yang aku inginkan dari Jenan.  

Setelah menulis lima hal itu aku memberikan kertasnya ke Jenan. Dan dia langsung menulis satu keinginannya dan yang kulihat dia hanya menulis lima kata. 

Jenan kembali memberi kertasnya padaku untuk membaca keinginanku.

"Satu, bicara menggunakan aku-kamu." 

"Oke." 

"Dua, tidak boleh ada perselingkuhan." Aku menatap wajahnya, dia kelihatan tidak keberatan.

"Oke." 

"Tiga, kalau aku meminta tolong harus dituruti." Dia menatapku bingung, "kalau-kalau ada yang berusaha mencelakakan ku." Jenan itu terkenal, walaupun seperti monster penggemarnya cukup banyak, belum lagi fans-fans yang mendukung Jenan-Alice pacaran. Jadi aku harus jaga-jaga. 

"Oke."

"Empat, kalau ada masalah harus bilang." Kali ini aku menerima tatapan tidak terima,

"Itu agak sulit, nggak semua masalah bisa gue ceritain." Jawabnya.

"Aku bukan gue," aku mengoreksinya, "kalau gitu masalah yang mau kamu ceritain aja." Lanjutku memberi pengertian. 

Akhirnya dia hanya mengangguk. 

"Lima, harus selalu ada ketika dibutuhkan." 

"Tapi kalau gu-- aku ada urusan gimana?" Tanyanya. 

"Aku nggak butuhin kamu setiap saat, kalau ada hal yang menurut kamu lebih penting aku bakal ngalah." Jelasku 

"Oke kalau gitu. Tapi aku bakalan usahain selalu ada." Ucapnya.

Aku mengumpat tertahan ketika membaca keinginan Jenan. Tidak kusangka ternyata dia selicik ini.

"Keinginan Jenan. Satu, menuruti apa yang jenan suruh." 

Jenan tersenyum puas mendengarku membaca keinginannya. Demi Tuhan, aku ingin sekali memukulnya kencang. Dan bodohnya kenapa aku tidak kepikiran membuat permintaan seperti Jenan?! 

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan ku setelah ini.

Tamat sudah riwatku.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status