Share

Masa Goro-goro

Saat dunia menantikan kedatangan sang pengadil, di kala itu pergolakan alam semesta terus terjadi. Di setiap sisi dan di setiap lini muka bumi tiada lain adalah perpanjangan tangan dari kata huru-hara.

Saat dunia merindukan kebebasan bertindak, alam semakin suram menampakkan wujud remang dan mendung selalu menyelimuti. Saat itu bencana demi bencana seakan membabi buta.

Masyarakat di ombang-ambing harapan yang tak jelas. Rakyat di dera kelaparan menahun tiada berkesudahan dan pergolakan ketidakadilan bersatu padu merongrong sifat baik di setiap penjuru pelosok negeri. 

Bahkan musim tak tentu berganti, bahkan cuaca sebentar berubah-ubah. Seakan alam mengamini apa pun yang terjadi adalah benar. Bukan rekayasa manusia atau genetika ilmu sains semata.

Hingga setiap pelosok dunia dicekam ketakutan akan adanya bahaya perang terakhir dunia lalu berkesudahan akhir riwayat bumi. Membunuh di masa ini sudah biasa, bahkan saking terbiasanya anak berusia tujuh sampai sepuluh tahun sudah terbiasa membawa pisau dapur di dalam permainan petak umpet yang mereka selenggarakan. 

Masa ini di sebut masa goro-goro, dimana istilah ini dipakai dalam pagelaran seni wayang kulit. Berarti satu kesatria besar dan pilihan hendak muncul ke permukaan bumi. Dengan tugas untuk menyeimbangkan ketimpangan dan kesenjangan dari energi negatif yang terlalu berat bagi dunia.

Di saat semua kalangan dan golongan di setiap lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia tengah rusuh dan banyak terjadi kerusuhan di mana-mana, penjarahan, pemerkosaan, dan perampasan di depan mata adalah hal yang sudah terlalu 

Tentang sebuah masa bernama goro-goro atau dalam bahasa biasa berarti huru-hara. Darah seakan genangan air yang lumrah tertumpah di setiap sudut gang setiap malam. Bahkan jeritan anak gadis perawan terlalu sering mengaduh serta menjerit akan kesakitan dan kehilangan sebuah mahkota utama. Sebuah mahkota yang telah dirawat dan dijaga sedemikian rupa hingga datangnya akad dan sekarang terlalu lumrah dan biasah begitu saja lepas dari angan dan tubuh perawan. 

Masa goro-goro terbagi oleh empat fase. Dari fase pertama hingga fase keempat sama rata-rata berjalan selama kurun waktu tujuh tahun berjalan. Tetapi di setiap fase berbeda jaman dan kenyataan serta ketimpangan sosial dan bencana berbeda pula ceritanya. 

Kali ini cerita awal dan mula fase masa goro-goro pertama. Aku torehkan dalam halaman pertama kertas-kertas Altar demi sebuah perubahan besar yang akan aku ciptakan. Sebuah rencana yang akan aku susun rapi serapi-rapinya. Sebuah bagan rancangan pergulatan besar yang akan aku mulai sebagai tonggak awal perubahan menyeluruh yang sudah terlanjur terjadi.

Bahwa aku MR. D atau dalam bahasa Jawa dikatakan Bapak D dan di sebut teman sejawat dengan sapaan renyah antara kawan Mas Dalang. Saya akan bertutur cerita bahwa di dalam kesusahan masih ada harapan dan akan aku ciptakan pelangi setelah rintik hujan. Akan aku lukis harapan walau tiada mungkin diciptakan.

Saat semua lini dunia semua lini masyarakat bahkan di dalam satu negara kecil hampir hancur tiada masa depan di dalam kota-kota besar. Tetapi tidak demikian di dalam desa-desa kecil pinggiran gunung. Bahkan terlalu ogah para penyamun, atau para cenawan yang sering disebut dukun ilmu hitam untuk melirik tempat-tempat seperti ini.

Namun bukannya tiada mungkin mereka datang menyerang pada desa-desa kecil yang membentang di sepanjang kaki gunung-kaki gunung di sepanjang negeri. Salah satunya sebuah desa pinggiran kota pas bawah kaki gunung Anjasmara sebuah desa asri gemah ripah loh jenawi bernama desa Kembang Sri.

Desa ini awal mulanya sanggatlah damai dan tenteram tiada satu hal yang membahayakan atau meneror warga desa sampai suatu ketika goro-goro datang mengunjungi desa setelah menghancurkan setiap kota-kota besar pada akhirnya sampai jua menginjakkan kaki di desa-desa terpencil seperti desa Kembang Sri. 

Malam itu keluarga lurah Dahlan tengah terlelap selayaknya warga desa yang lain. Terlelap dalam bantal empuk dan kasur empuk di setiap ranjang kamar bawah atap rumah-rumah mereka. 

Sedangkan malam semakin gelap dan kabut mulai merayap berjalan serta perlahan menyelimuti menutup desa keseluruhan. Mereka tiada mengetahui jikalau ada sebuah bahaya tengah mengintai dalam gelap. Tengah mengintai di balik kabut-kabut gelap yang seakan berbicara, bunuh-bunuh dan bakar-bakar.

Mereka tiada mengetahui jikalau ada bayangan-bayangan dengan mata-mata yang terus mengintip serta mengamati dan mencari kesempatan atau celah untuk siap menerkam, mencincang atau menguliti setiap penghuni rumah yang ada di desa Kembang Sri.

“Karyo kita tunggu dulu sampai malam benar-benar berada di tengah peredarannya. Sampai benar-benar mereka para warga desa terlelap sempurna,” ucap Dukun Bargowo yang tengah mengomandoi beberapa dukun lain di bawah perintahnya dan Karyo hanya mengangguk pelan sambil terus mengintai di belakang rumah Pak Lurah Dahlan. Bersembunyi dalam gelap di sekitar hutan bambu yang tumbuh subur di belakang rumah Pak Lurah Dahlan.

“Benar ketua kalau sudah aman dan seluruh warga tertidur benar. Kita segera lancarkan serangan mematikan di mulai dengan membantai seluruh keluarga Pak Lurah Dahlan yang sangat sombong tersebut,” ucap Burhan yang termasuk salah satu dukun dari kelima dukun di bawah komando dukun ketua Bargowo.

Sedangkan beberapa dukun lain yang statusnya di bawah ke lima dukun utama yang dikomandoi langsung oleh Ki Bargowo. Tersebar di setiap sisi atau belakang rumah warga dalam posisi siap untuk membantai seluruh warga desa Kembang Sri.

Oek, oek, 

Suara tangis bayi terdengar melengking dari dalam rumah Pak Lurah Dahlan. Bayi tersebut adalah Tuan Bagus atau yang sering Aden Bagus yakni anak lelaki pertama dan buah hati pertama dari si lurah muda.

“Pak itu dedek bangun Pak,” ucap Nyi Lastri istri Pak Lurah Dahlan membangunkan Pak Lurah Dahlan yang sedang pulas tertidur.

“Oh iya Dek, tumben Bagus bangun jam segini ya Dek,” ucap Pak Lurah Dahlan ikut bangun dan turun dari ranjang mengikuti sang istri dari belakang menuju kamar bayi dimana Aden Bagus tidur.

Ketika Nyi Lastri membuka pintu kamar Aden Bagus betapa terkejut iya bahwa ada sesosok nenek-nenek tua dengan rambut panjang bervolume banyak dengan warna putih acak-acakan sampai-sampai rambut tergerai menyentuh tanah.

Sosok yang sering disebut hantu wewe gombel. Dengan wujud tinggi besar bertangan keriput seperti tinggal tulang dan kulit. Memiliki kuku panjang di setiap jari-jarinya, dengan ciri yang khas adalah buah dada yang kendor namun begitu panjang sampai menyentuh tanah.

Sosok wewe gombel terlihat di depan tempat tidur Aden Bagus seakan hendak mengambil atau mencuri Aden Bagus yang masih bayi. Sosok wewe gombel memang bersifat sangat suka terhadap anak-anak dan kerap menculik anak-anak yang luput dari pengawasan orang tuanya.

“Loh Pak itu apa Astagfirullah, Pak tolong Bagus Pak,” teriak Nyi Lastri terus menjerit ketakutan dan khawatir akan putra pertamanya Aden Bagus.

“Tenang Dek, tenang Adek di sini saja aku akan menyelamatkan anak kita,” ucap Pak Lurah Dahlan.

Tetapi naas bagi keluarga Lurah Dahlan sebilah keris telah menancap di punggung Pak Lurah Dahlan dengan darah segar mulai mengucur membasahi kaos putih Pak Lurah Dahlan sehingga tak berwarna putih lagi. Berubah menjadi merah oleh darah yang merembes keluar.

Argh, 

Suara Pak lurah Dahlan menjerit kesakitan, terduduk sambil menoleh ke belakang memastikan siapa yang telah tega menikamnya dari belakang.

“Hai saudaraku Dahlan, masih ingatkah kau dengan ku Dek. Dulu kau pernah melukaiku saat aku ingin merenggut keperawanan istrimu yang cantik ini. Sehingga membuat cacat kaki ku ini,” ucap Ki Bargowo menyeringai puas akan balas dendamnya.

“Bargowo kau memang manusia berwajah setan,” ucap Pak Lurah Dahlan dengan agak serak dan terbata-bata menahan sakit dengan mulut sudah memuntahkan darah.

“Pak, tidak!" teriak Nyi Lastri namun segera di bungkam dan dekap dari belakang oleh Karyo. 

“Karyo taruh Nyi Lastri ke dalam kamarnya ikat tangan dan kakinya. Aku masih penasaran merasakan nikmatnya kemolekan tubuh Bu Lurah ini,” ucap Ki Bargowo sambil memegang dagu Nyi Lastri. Sedangkan Pak Lurah Dahlan sudah tergeletak di lantai depan pintu kamar Aden Bagus tak bergerak sama sekali.

“Baik ketua,” jawab Karyo singkat sambil memaksa Nyi Lastri dengan cara tetap mendekapnya menuju kamar utama rumah Pak Lurah Dahlan.

“Juh, dulu kau sangat jemawa Dek. Seakan kau paling sakti diantara kita dan pada akhirnya kau kalah juga aku tusuk dengan keris Pulang Geni milikku ini. Woi wewe gombel bawa bayi itu ke markas untuk menjadi persembahan nantinya. Aku akan menikmati tubuh Bu Lurah yang cantik dan jelita itu malam ini,” ucap Ki Bargowo berjalan memasuki kamar utama dimana Nyi Lastri telah diikat oleh Karyo dan di telanjangi penuh.

“Tidak jangan, jangan!” teriak Nyi Lastri yang tengah di nodai oleh Ki Bargowo dan Karyo. 

Malam itu akhirnya ketenangan dan ketenteraman desa Kembang Sri terusik jua. Kisah masa goro sampai juga ke desa mereka, teriakan dan tangisan serta jeritan terdengar mengerikan di bawah malam mencengkam desa Kembang Sri.

Rumah-rumah terbakar termasuk rumah Pak Lurah Dahlan hingga habis tak bersisa. Nyi Lastri dan Pak Lurah Dahlan jua sudah ikut hangus terbakar bersama warganya yang mati bergelimpangan.

Sementara itu di ujung jauh di salah satu bukit gunung Anjasmara. Seseorang tengah berjalan menuruni bukit dengan begitu cepat. Selayaknya angin iya berjalan seperti menghilang sebentar terlihat sebentar menghilang.

Sosok Pak tua berjubah hitam dan memakai celana kolor panjang berwarna hitam dengan camping pak tani atau topi yang selalu di pakai pak tani. Dengan tongkat jalan dari kayu cendana selalu di pegang di tangan kanan. 

Begitu cepat selayaknya angin iya berjalan sehingga sebentar saja iya sudah berada di muka desa Kembang Sri. Dari awal iya berjalan dari salah satu bukit gunung Anjasmara yang jaraknya sekitar dua kilo meter dari desa Kembang Sri.

“Hei wewe gombel jelek, serahkan bayi itu kepadaku,” ucap sosok tua misterius tersebut menghadang wewe gombel yang tengah menggendong sosok bayi yang tidak lain adalah Aden Bagus.

Ha, ha, huwa,  

Suara wewe gombel menyeringai tak ingin memberikan Aden Bagus yang ada dalam gendongannya. 

“Baiklah kalai itu yang kau mau,” ucap sosok tua misterius berjalan sejengkal namun sudah menghilang kembali dan muncul di belakang sosok wewe gombel dan sudah berhasil merebut sosok bayi Aden Bagus sambil menggendongnya.

Aaa..., 

Teriakan wewe gombel melengking sampai terdengar oleh telinga Ki Bargowo yang tengah berpesta. Menebas, membunuh serta memenggal kepala para warga Kembang Sri.

“Karyo lekas kita ke tempat asal suara wewe gombel peliharaan kita itu. Aku takut bayi Lurah Dahlan sudah berpindah tangan dati wewe gombel,” ucap Ki Bargowo yang langsung berlari menuju muka desa.

Sampai di jalan masuk utama desa Kembang Sri. Ki Bargowo dan centeng-centengnya mendapati wewe gombel telah menjadi abu dan mereka tak mendapati sosok bayi anak Pak Lurah Dahlan.

“Kurang ajar siapa yang melakukan hal ini?" teriak Ki Bargowo sangat kesal.

Dari kejauhan terdengar suara lelaki tua bersenandung seakan sedang menidurkan anaknya, “Tak lelo, lelo legung cup menengo anak ku seng bagus rupane,” sebuah tembang Jawa kuno sebagai pengantar tidur untuk bayi yang berarti menenangkan si bayi agar tidak menangis terdengar sayup-sayup dari salah satu bukit gunung Anjasmara.

“Woi siapa kau jangan lari, ayo kejar!" teriak Ki Bargowo mengomandoi anak buahnya untuk mengejar sumber suara dari senandung tembang Jawa kuno tentang mendiamkan anak yang tengah menangis di tengah malamnya. Meninggalkan desa Kembang Sri yang telah terbakar di seluruh bagian desanya tak bersisa. 

    

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pena Bagus
aku komen ya aku start baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status