Prolog,
Simaklah baik-baik ceritaku bahwa cerita ini adalah penggambaran sebuah peperangan antara si batil dan si baik. Bahwa kisah ini adalah penggambaran pertempuran antara angkara murka dan kebaikan.Sebuah kisah penempaan sekelompok pemuda untuk di jadikan yang paling unggul dan berpengetahuan gaib setrata tinggi. Mereka yang kelak akan menjadi kelompok pendobrak ketimpangan umum demi menyelaraskan yang sudah tidak seimbang.
Mereka di sebut kelompok Obor Java. Bagaikan magnet dimana ada mereka pasti di situ jua ada angkara murka. Sistematik dan skema otomatis dari alam terjadi bergesekan antara kenyataan dan kaum khayalan. Merekalah yang bertugas menata hal demikian menjadi utuh semula agar tiada ketimpangan sehingga terjadi keseimbangan.
Ini kisah tentang mereka para pemuda yang berjuang tidak terlihat dan melawan yang tak terlihat. Dalam masyarakat umum mereka adalah pemenang, dielu-elukan bak pahlawan tapi tiada tahu siapa mereka sebab semua adalah rahasia.
Ini adalah ceritaku, sebuah cerita tentang pesona alam gaib. Sebuah elegi dunia maya yang sebenarnya. Sebuah ilusi dari halusinasi alam bawah sadar tanpa kenyataan. Sebuah pertempuran tanpa batas akhir dengan kelompok musuh bebuyutan manusia pembawa setan. Sebuah pertarungan dimasa akhir dunia, di mana tiada lagi bernama negara, di mana tiada lagi satu kekuasaan wilayah dan kasta atau tingkatan dalam masyarakat.
Aku adalah MR. D, aku adalah Mas Dalang, aku adalah penanggung jawab cerita penuh. Bergerak di bawah layar serupa gerak bawah tanah. Aku bergerak sunyi perlahan namun mematikan.Ceritaku ku persembahkan pada masa dimana paceklik sanggatlah panjang. Pena ku menari dari arti si angkara murka dengan gila melahap para kaum awam. Mencicipinya beramai-ramai hingga habis sedangkan penduduk yang lain hanya menonton bak pelaku sinetron atau drama kolosal pada sebuah layar raksasa di atas muka bumi.
Ini ceritaku sebuah cerita tentang sekelompok yang mencoba melawan dari kisah kehancuran fatal bahkan sangat fatal. Saat dunia berteriak lapar dan haus, saat begitu sulitnya bertahan hidup walau hanya untuk meringis sejenak.
Ini kisah cerita dimana kegelapan adalah rajanya, dimana kegelapan yang sangat petang berkuasa seantero negeri. Siapa membangkang besok akan hilang tiada jejak tiada nama dan tak pulang selamanya. Siapa bersuara di bungkam, disumpal mulutnya hingga bisu tak mampu berbicara kembali.
Siapa yang mengangkat tangan terpenggal, dikuliti dan dipatahkan tangan yang diangkat. Sehingga buntung sudah pasti hingga akhirnya. Mereka yang menentang tergantung di tiang-tiang gantungan. Hingga akhirnya mereka yang membangkang terpenggal di atas altar-altar persembahan. Hingga akhirnya mereka yang berseberangan pemahaman dan menentang dan membangkang diperkosa, di bunuh, di cincang dan di kuliti lalu di makan anjing atau buaya peliharaan.
Ini ceritaku di mana kehancuran adalah perkataan lumrah. Di mana kematian adalah sebagai bahan candaan, di mana membeli nyawa seperti membeli kacang rebus begitu mudahnya dan gampang sekali diperoleh.
Aku adalah MR. D, aku adalah Mas Dalang, dengan pena gaib ku tulis kata-per kata, dengan tinta tabu tidak kewajaran ku toreh kisah jeritan setiap malam. Ku tulis tangisan istri menjadi janda akan kematian suaminya yang menangis meratapi nasib sial kala apes menghampiri di samping jasad suami yang telah tak dapat di kenali sebab terlalu sadis mereka yang mengaku malaikat tapi berwajah iblis sebagai petugas algojo atau pelaksana pembantaian dari sang penguasa.
Akan ku tulis kisah seorang anak kecil yang mondar-mandir di tengah hiruk-pikuk kecemasan dan ketakutan. Ketika iya berkata, “Ayah ku dimana? Ibuku dimana?” tetapi semua mulut telah terkunci. Takut akan bersuara sebab bila satu kata meluncur mulus tentang mereka yang bertopeng setan. Barang tentu sudah di pastikan kematian adalah kenyataan.
Tapi tidak serta merta gelap tiada terang, pasti ada walau sekelip cahaya dari damar templek atau lampu tembok yang tetap menyala tak terang dan tak gelap hanya remang. Terang damar jua hampir mati tertiup angin oleh badai di dalam kenyataan.
Tapi tidak serta merta malam tiada siang dan jahat tiada kebaikan. Bahwa mereka yang bernaung di atas singgasana kegelapan. Mereka yang tengah memerintah dengan keji dan menggunakan alat manusia pembawa setan untuk membantai setiap pembangkang. Untuk menjalankan pemerintahan dengan sistim diktator dan monopoli kekuasaan di setiap lini penjuru negeri.
Ada sedikit harapan yang masih ditempa, masih dipersiapkan sejak usia dini. Mereka-mereka yang bakal menjadi sebuah kelompok peneriakan perubahan di segala lini. Tengah dipersiapkan sedemikian rupa, dididik oleh keadaan pahit dan lemah mental masyarakat. Di bina langsung oleh pengalaman paling buruk yang pernah dialami bangsa manusia. Ditempa langsung oleh alam dan takdir yang berkata selalu sepihak pada yang berkuasa setara raja.
Merekalah nanti yang disebut kelompok Obor Java. Sebuah kelompok pemberontak yang terbentuk akibat kesenjangan yang terlalu jauh dari si miskin dan si kaya. Kesenjangan yang terlalu jauh dari si Raja Diraja dan rakyatnya.
Mereka yang berperang dengan sistim gerilya dengan cara datang tak diundang dan pulang tiada bayangan. Mereka datang melalui kegelapan bergerak cepat secara sistematis dan senyap seolah tiada suara. Membereskan bagai topan dan badai angin, begitu rapi dan terorganisir bahkan tanpa bekas dan tanpa jejak.
Mereka yang di pimpin oleh sang panglima Jaka Ireng. Bergerak tanpa ada yang tahu, berjalan saat mereka semua sedang terlelap tiada terjaga seakan mati membatu tiada daya. Merekalah para pemuda perusak dan pengorak-arik tatanan yang ditetapkan penguasa kegelapan. Sehingga perlahan tatanan baru kembali muncul di tengah masyarakat dari sistim yang lama yakni paham ketimuran.
Aku adalah MR. D dan aku adalah Mas dalang, dan ini ceritaku dari sebuah pena gaib yang telah ku beri japa mantra serta komat-kamit doa. Aku toreh untuk menari-nari di atas kertas yang aku beri nama altar medan perang. Akan kuguratkan di atas kertas dengan banyak kisah pesona kehancuran dan kenestapaan serta kemelaratan berkepanjangan.
Bahwa ini adalah kisah fase perubahan dari kehancuran menuju kejayaan. Bahwa ini adalah kisah kebinasaan berganti ketenangan dengan pelakon para pemuda tangguh dari sebuah negeri nun jauh di timur.
Bahwa ini adalah kisah para pejuang mandat rakyat yang tengah di dera kelaparan berkepanjangan, kemelaratan tidak berkesudahan dan kemiskinan tiada ujung.
Bahwa ini adalah cerita pertempuran tiada batas hingga salah satu dari mereka tewas. Bahwa kisah ini adalah kisah di mana perang berkecamuk tiada akhir dan seakan damai adalah kata mustahil sebab tipu daya dan tipu muslihat adalah lumrah adalah cerita kewajaran semata. Selayaknya bumbu penyedap dapur kalau kurang satu tiada nikmat rasanya.
Sebuah cerita kisah sekelompok pemuda yang telah di tempa bernama Obor Java. Mereka di gawangi oleh sang panglima berjuluk Jaka Ireng yang memiliki nama asli Aden Bagus. Dengan patih tertinggi yang bergelar si pisau terbang Sapto Aji Diningrat. Dengan pemimpin dari clan para pemuda bergelar panah petir bernama Rahmad Dayan.
Masing-masing dari mereka membawa sepuluh pasukan perubahan di bawah satu bendera Obor Java. Yang bertugas meneror, mengobrak-abrik dam memporak-porandakan sistim baku yang berpusat pada menara-menara hitam yang dijaga para manusia pembawa setan bernama kelompok dukun atau cenawan.
Aku adalah MR. D dan aku adalah Mas dalang, aku adalah sang penanggung jawab keseluruhan cerita dati pesona seni kehancuran total dari setiap lini kehidupan. Dengan sepucuk pena gaib yang telah ku beri japa mantra dan doa-doa dalam sebuah kertas bernama altar medan perang.
Dan ini adalah sebuah kisah dimana angkara murka berbenturan dan berperang dengan pemikir perubahan sebab ketimpangan yang melanda di seluruh pelosok negeri.
Maka dengarkanlah dan berhati-hatilah dalam menyikapi ceritaku. Sebab tabu bukan berarti nyata dan kenyataan bukan berarti yang sebenarnya. Kisah ini membolak-balikkan fakta, bisa jadi yang nyata berarti tidak nyata atau sebaliknya.
Kisahku terselubung apik dari kisah para pejuang senyap. Beraroma getir, bernuansa pahit dan mengecap getah pilunya kehidupan.
Baiklah mari kita mulai kisah ini, duduklah dan dengarkan dengan baik saat penaku berbicara dan mari kita mulai bercerita. Tentang sebuah negeri yang sudah seharusnya berlabel tamat tapi tak serta merta dan tak benar-benar berakhir, bahwa masih ada harapan di balik keputusasaan.
Saat dunia menantikan kedatangan sang pengadil, di kala itu pergolakan alam semesta terus terjadi. Di setiap sisi dan di setiap lini muka bumi tiada lain adalah perpanjangan tangan dari kata huru-hara.Saat dunia merindukan kebebasan bertindak, alam semakin suram menampakkan wujud remang dan mendung selalu menyelimuti. Saat itu bencana demi bencana seakan membabi buta.Masyarakat di ombang-ambing harapan yang tak jelas. Rakyat di dera kelaparan menahun tiada berkesudahan dan pergolakan ketidakadilan bersatu padu merongrong sifat baik di setiap penjuru pelosok negeri.Bahkan musim tak tentu berganti, bahkan cuaca sebentar berubah-ubah. Seakan alam mengamini apa pun yang terjadi adalah benar. Bukan rekayasa manusia atau genetika ilmu sains semata.Hingga setiap pelosok dunia dicekam ketakutan akan adanya bahaya perang terakhir dunia lalu berkesudahan akhir riwayat bumi. Membunuh di masa ini sudah biasa, bahkan saking terbiasanya anak berusia tujuh sam
“Bargowo setelah kota kita kuasai dan kau serta anak buahmu telah menancapkan bendera pertama dengan membuat kehancuran di desa awal pintu masuk gunung Anjasmara yakni desa Kembang Sri. Malam ini kau dan anak buahmu harus bergerak cepat hancurkan desa paling atas bernama desa Ujung Batu itu. Hal ini saya maksudkan agar seluruh penduduk di desa-desa sekitar gunung Anjasmara tahu kengerian goro-goro yang kita ciptakan. Kalau desa awal dam desa akhir kita musnahkan, tentu desa-desa yang berada di tengah-tengahnya akan gampang kita hancurkan,” kata sebuah bayangan tanpa rupa dan tak berwujud hanya sebuah bayangan bercula dua.“Sendiko dawuh (Sendiko dawuh adalah bahasa Jawa yang dalam arti bahasa Indonesia adalah mengiyakan dengan sangat hormat dan tunduk setunduk-tunduknya) raja ku, raja para setan yang sangat sakti tiada tandingan. Saya bersama rekan-rekan malam ini akan berangkat melaksanakan perintah tuan,” ucap Ki Bargowo pimpinan para dukun dengan po
“Kita harus cepat Dek terus berlari, aku mendengar kabar bahwa desa-desa di sekitar gunung Anjasmara mulai dihancurkan,” teriak Raja pada Arum yang terus berlari di depan Raja sambil terus melontarkan panah api dari busur api yang Arum pegang ke arah puluhan anjing setan yang terus mengejar dan menyerang mereka.Sedangkan Raja terus menghantam dan memukul serta menendang para anjing setan yang melompat hendak menerkam ke arahnya.Mereka berdua menghindar jauh dan mundur terlalu jauh dari medan peperangan kota Jombang. Sebab kota itu sudah dikuasai oleh para manusia pembawa setan dengan makhluk-makhluk ganas yang disebut kodam dari jenis setan berbagai macam bentuk dan rupa.Raja dan Arum bukan satu-satunya pasangan pejuang yang terus melawan demi merebut kembali kota mereka Jombang tercinta. Ada beberapa lagi seperti mereka yang tersebar di seluruh kota yang terus berjuang. Namun kali ini mereka harus mundur dan mau tak mau mereka melepas
“Hai D, lama tak berjumpa,” suara berintonasi besar dan berat menggaung dari langit.Bersamaan itu mendung yang menggelayut kelam seusai badai dan masih tersisa petangnya perlahan terbelah. Ada cahaya terang menyeruak dari belahan awan, ada cahaya memancar bagai petir lurus menghunjam ke bawah jatuh di atas bukit Tunggorono.Ada sayap berbulu emas besar menyeruak dari balik awan. Dengan panjang tiada dapat di ukur dan lebar sudah tak dapat di jangkau. Sosok dari atas langit dengan kaki-kakinya yang kekar berkuku tajam turun perlahan.Lalu berdiri pas di belakang pak tua bertopi caping mirip pak tani yang sedari tadi hanya berdiri terus mengawasi kehancuran kota Jombang di bawah tebing curam bukit Tunggorono.“Kau Garuda memang benar sudah terlalu lama kita tiada berjumpa kembali,” Pak tua bertopi caping hanya mematung terus menatap lekat kotanya yang tinggal sisa puing-puing.“Apa yang kau lihat D, kotamu sudah h
Seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani berjalan membawa tongkat dari kayu cendana. Bibir keriputnya terus bersuara berulang-ulang dengan lafaz Allahuma Shalli Ala Muhammad. Wajahnya tertunduk ke bawah tak mau menatap apa saja yang ada di depannya. Berjubah serba hitam memegang tasbih ditangan kanan yang terus diputar perbutir.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” terus berulang keluar dari lisan dan bibir si pak tua bertopi caping.Sedangkan hari semakin gelap saja di sekitar sungai Konto. Namun seakan tiada peduli apa saja yang mewujud dari gelapnya malam tepian sungai iya terus menyusuri sungai Konto.Sejenak langkahnya terhenti saat bayangan rembulan pas di tengah sungai pertanda petang telah sempurna di tengah-tengah malam. Ada sebuah wujud menghentikan langkahnya, menghadangnya dari depan dan tiba-tiba ada menghalangi jalan si pak tua bertopi caping mirip topi pak tani.Sebuah wujud yang lebih tua dari dirinya. Wujud
“Assalamualaikum Nyi Sekar Arum,” MR. D berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding papan di atas bukit Tunggorono Sebuah rumah sederhana yang iya buat ala kadarnya bersama sang istri tercinta Nyi Sekar. Sebuah gubuk tua berdinding dari papan separuh anyaman bambu. Beratap dari dedaunan rumbia dan beberapa daun lain yang diambil dari hutan sekitar bukit Tunggorono. Sebuah gubuk tanpa listrik dan hanya lampu templek mirip jaman dahulu kala menempel di ruang tamu. Bahkan lampu tersebut dibuat sendiri oleh Nyi Sekar.MR. D dahulu pernah tinggal di sebuah desa pinggiran kota Jombang. Sebuah desa bernama Mojokembang, desa besar sebagai pusat peradaban para pejuang atau pendekar kebatinan dari organisasi lama dan anak keturunan.Namun sebab peristiwa besar memilukan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu membuat iya dan sang istri harus terusir dari tempat asal desa mereka. Mereka memilih tinggal jauh dari kota yang kali ini tengah m
“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan. Aaa...! Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng