Share

Longsor di desa Ujung Batu

“Bargowo setelah kota kita kuasai dan kau serta anak buahmu telah menancapkan bendera pertama dengan membuat kehancuran di desa awal pintu masuk gunung Anjasmara yakni desa Kembang Sri. Malam ini kau dan anak buahmu harus bergerak cepat hancurkan desa paling atas bernama desa Ujung Batu itu. Hal ini saya maksudkan agar seluruh penduduk di desa-desa sekitar gunung Anjasmara tahu kengerian goro-goro yang kita ciptakan. Kalau desa awal dam desa akhir kita musnahkan, tentu desa-desa yang berada di tengah-tengahnya akan gampang kita hancurkan,” kata sebuah bayangan tanpa rupa dan tak berwujud hanya sebuah bayangan bercula dua.

“Sendiko dawuh (Sendiko dawuh adalah bahasa Jawa yang dalam arti bahasa Indonesia adalah mengiyakan dengan sangat hormat dan tunduk setunduk-tunduknya) raja ku, raja para setan yang sangat sakti tiada tandingan. Saya bersama rekan-rekan malam ini akan berangkat melaksanakan perintah tuan,” ucap Ki Bargowo pimpinan para dukun dengan posisi duduk bersila di depan bayangan hitam yang menjadi pusat pimpinan para dukun pembawa setan.

Desa Ujung Batu adalah desa yang terletak paling atas di daerah pegunungan Anjasmara. Sering juga disebut desa atas bukit, sebab memang letaknya pas di atas bukit bernama bukit Pangklungan. 

Desa Ujung Batu jua belum terjamah sama sekali oleh sabotase para dukun. Dimana para dukunlah atau para manusia pembawa setanlah yang tengah menciptakan huru-hara yang kerap disebut goro-goro.

Desa Ujung Batu termasuk desa dengan panorama yang indah dan alamnya yang sangat memanjakan mata, tak jarang pelancong dari kota berkunjung berbondong-bondong demi menyaksikan matahari terbit atau sekedar melepas penat dari rutinitas kerja setiap harinya dengan menyaksikan keindahan alam desa Ujung Batu.

Sudah beberapa minggu ini wahana wisata di desa Ujung Batu sepi pengunjung. Para warga termasuk Pak Lurah Ngadiono selaku pemangku adat desa Ujung Batu merasa resah. 

Pagi ini mereka tengah membahas keadaan desa di sebuah saung atau rumah kecil tengah sawah sebagai tempat peristirahatan sehabis mengerjakan sawah-sawah mereka. Membahas keadaan desa yang semakin hari semakin paceklik pangan. Sebab hanya mengandalkan pertanian diera jaman sekarang mana cukup untuk memenuhi kebutuhan warga. 

“Pak Lurah bagaimana ini panen kita kali ini macet Pak. Hasil panen walaupun melimpah ruah, tetapi kita tidak bisa menjualnya ke kota. Sebab jalan akses ke kota belum jua dibuka,” ucap Pak Sardun salah satu warga desa yang kali ini menggantungkan nasib keluarganya dari hasil pertanian sawahnya. Sebab wahana wisata yang biasa mereka andalkan tengah lesu pengunjung.

“Benar Pak apalagi wisata yang kita kelola akhir-akhir ini sepi pengunjung. Sebenarnya ini semua ada apa sih Pak Lurah?” tanya Pak Joni salah satu ketua rukun tetangga di desa Ujung Batu.

“Sebenarnya saya juga kurang paham dengan keadaan akhir-akhir ini yang sangat tidak jelas Pak Sardun dan Pak Joni. Saya jua belum dapat kabar dari Pak Camat mengenai hal ini. Mau dapat kabar bagaimana Pak Joni dan Pak Sardun listrik akhir-akhir ini sering mati dan sangat berpengaruh pada sinyal hanpone kita. Apa lagi letak desa kita yang berada di atas bukit tentu sangat susah sekali mendapatkan sinyal sedangkan jalan menuju kota belum di buka juga,” jawab Pak Lurah Dongkol menjelaskan keadaan tidak menyenangkan yang iya rasakan tentang kondisi desanya.

“Dengar-dengar nih Pak ya, kota Jombang sudah hancur rata dengan tanah dan porak-poranda oleh ulah para pemuja setan yang sesat. Sebagaimana berita yang kita dengar selama ini Pak,” tutur Pak Joni memaparkan sebuah anggapan tanpa sumber yang jelas.

“Saya juga telah mendengarkan berita tersebut Pak Joni. Bahkan saya mendapatkan kabar terbaru bahwa desa Kembang Sri desa pertama sebagai awal masuk ke gunung Anjasmara telah hancur. Kabar burungnya desa tersebut semalam telah dibakar habis oleh oknum-oknum para dukun pembawa setan dan siluman yang memang sengaja diperintahkan entah siapa untuk menghancurkan kota-kota di seluruh dunia termasuk negara kita ini. Dan mulai malam kemarin mereka telah sampai di perbatasan utama gunung Anjasmara menghancurkan desa Kembang Sri. Bahkan kabar yang saya terima dari sumber yang dapat dipercaya, seluruh penduduk warga desa Kembang Sri tak ada yang selamat,” ucap Pak Lurah Dongkol memberi tahu kabar yang iya terima.

“Berarti malam ini kita harus berjaga Pak Lurah. Kita adakan lagi ronda keliling kampung setiap malam seperti dulu lagi demi amannya desa kita. Tapi kalaupun seluruh desa di gunung Anjasmara di hancurkan, mungkin desa kita desa yang terakhir didatangi. Sebab desa Ujung Batu terletak di atas bukit dan sebagai desa paling terakhir di pegunungan Anjasmara,” kata Pak Sardun kemukakan pendapatnya.

“Walau memang benar adanya demikian Pak Joni. Kita harus tetap waspada dan harus tetap mengadakan ronda kembali seperti saran Pak Joni tadi. Kita tidak tahu desa mana dahulu yang di datangi para dukun tersebut,” jawab Pak Lurah Dongkol sambil menyeruput kopi satu bungkus plastik kecil yang dibawakan oleh Pak Sardun.

Sementara itu detik berganti menit dan menit berganti jam serta waktu jua terus bergulir meninggalkan Pak Lurah Dongkol, Pak Joni dan Pak Sardun dengan pembahasan tentang keadaan desa mereka.

Pada akhirnya malam kembali datang menggantikan terang menjadi gelap. Menggantikan sang raja siang yakni matahari di ganti oleh rembulan yang tengah mengawal kegelapan yang menyelimuti desa Ujung Batu.

Dikala semua mata telah terpejam dan semua tubuh telah lelap merebah di atas kasur dan ranjang-ranjang mereka. Seperti biasa kejadian masa goro-goro selalu ditandai dengan kabut gelap putih nan pekat merambat-rambat diantara bangunan-bangunan rumah warga. Kali ini kabut datang menyelimuti desa Ujung Batu. 

Diatas bukit paling atas desa Ujung Batu Ki Bargowo tengah berdiri dengan mata tajam memandang ke bawah. Seakan iya ingin meluluh lantakkan seluruh bangunan desa beserta seluruh penduduknya. 

Sesaat iya membuat sebuah segel tangan berpola teratur dengan jari-jemari membentuk sebuah kode akan pemanggilan sebuah makhluk peliharaan dari wujud siluman. 

“Musnahkan desa ini sampai tiada tersisa, timbun rumah-rumah warganya dengan tanah. Buat longsoran yang begitu besar dengan gerak tanah yang begitu cepat sehingga para warga tak akan sempat untuk menghindar,” ucap Ki Bargowo memerintahkan sesosok siluman ular yang begitu besar yang datang setelah ia panggil. Sosok setan atau siluman separuh berbadan ular separuh lagi serupa manusia.

“Baik Bargowo sesuai  perintahmu,” ucap si siluman dengan cepat iya masuk ke dalam tanah membuat rekahan besar dan perlahan pecah.

Keadaan di dalam desa Ujung Batu dimana seluruh warga tengah menikmati istirahat mereka. Begitu pulas di atas kasur-kasur empuk dengan alam mimpi tentang semua cita dan cinta mereka. Mereka tiada menyadari ada sebuah ledakan besar yang membuat tanah di atas bukit yang pas berada di atas desa Ujung Batu terbelah lalu meluncur deras begitu cepat.

Duar, 

Gratak, gratak, 

Suara ledakan yang diakibatkan dari rekahan tanah bukit paling atas membangunkan satu keluarga yang tengah beristirahat dengan tenang di dalam rumahnya. 

“Allahuakbar Bu bangun Bu, ledakan seperti ini biasanya akan terjadi longsor,” ucap Pak Lurah Dongkol membangunkan istrinya Bu Siti Maimunah. Seraya bergegas turun dari atas kasur diikuti oleh sang istri Bu Siti Maimunah.

“Pak Putri kita Pak Khusnul aku ambil dulu. Bapak tolong ambil surat-surat penting milik kita ya Pak dan lekas kita mengungsi ke tempat yang paling aman,” teriak Bu Siti Maimunah pergi menuju kamar bayi perempuan mereka yang bernama Khusnul Khotimah.

Sementara di luar rumah Pak Lurah warga desa sudah berlarian turun menghindari reruntuhan dari tanah longsor atas bukit yang terus melahap serta menghancurkan rumah-rumah penduduk yang iya lewati. Begitu cepat pergerakan longsoran sehingga sudah ada puluhan warga desa yang telah terkubur bersama rumah mereka sebab belum sempat terbangun dari tidurnya.

Tolong, tolong, tolong,

Teriakan meminta pertolongan menggema dari setiap sudut desa. Serta jeritan-jeritan ketakutan terkubur tanah longsoran melengking bagaikan suara-suara sakaratul maut yang di terima oleh manusia menjelang ajalnya. 

“Pak Lurah-Pak Lurah ayo kita pergi desa kita sudah habis terkubur longsor Pak. Kita selamatkan diri kita sendiri-sendiri Pak. Longsor begitu cepat bergerak Pak, tidak...!” teriakan Pak Joni yang berlari bersama keluarganya namun tiada sempat lagi berlari sebab longsor telah menimbunnya bersama puluhan warga yang lain.

“Bu cepat lari Bu, bawa anak kita Khusnul ke tempat yang aman hanya dia satu-satunya harapan kita. Agar kelak ada yang bercerita bahwa pernah ada suatu desa paling atas di pegunungan Anjasmara bernama desa Ujung Batu. Sebuah Desa paling indah diantara desa lainnya. Ini Bu selamatkan putri kita dia berhak untuk hidup,” ucap Pak Lurah Dongkol memberikan Khusnul yang masih bayi kepada istrinya Bu Siti Maimunah.

“Pak Jangan kembali mari pergi bersama Ibu. Kita bersama-sama mencari tempat yang paling aman, Pak jangan pergi,” teriak Bu Siti Amanah terlihat meneteskan air mata di pipi indahnya. Iya masih menatap punggung suaminya yang berlari kembali ke desa dengan rasa tanggung jawab akan warganya sebab ia adalah Pak Lurah.

“Nak ini sudah pas di atas tebing putriku sayang, kalau Ibu di suruh pergi lebih jauh lagi dari sini dan meninggalkan Bapakmu sungguh Ibu tidak sanggup lagi sayang. Kau baik-baik ya Khusnul tetap selamat, tetap hidup ya sayang,” ucap Bu Siti Maimunah tengah memanjat pohon besar yang menjorok ke jurang. Menaruh sang Putri di atas batang pohon yang besar. 

Pikirnya pohon ini berukuran besar dan berusia ratusan tahun dan hanya satu-satunya yang tumbuh di ujung desa Ujung Batu. Pohon seperti demikian tentu tak akan goyah walau di terpa longsor yang amat dahsyat begitulah dalam benak pemikiran Bu Siti. 

Setelah meletakkan si buah hati diatas batang pohon besar, di atas tebing yang menjorok ke arah jurang. Bu Siti Maimunah kembali berlari masuk ke arah desa. Namun naas baginya longsoran tanah telah menyapanya lalu menimbun Bu Siti tiada ampun.

Pada akhirnya longsoran tanah berhenti tepat di batang pohon besar di tepi jurang. Dimana Khusnul yang masih bayi diletakkan di salah satu batang besar pohon tersebut. Akibat tergoyah oleh longsoran tanah dari arah desa Ujung Batu. Pohon besar berusia ratusan tahun tumbang jua jatuh ke bawah jurang.

Oek, oek, 

Suara tangisan Khusnul yang ikut terlempar kearah jurang terdengar begitu melengking. Tapi tiba-tiba tubuh Khusnul yang masih bayi disahut sebuah bayangan milik lelaki tua bertopi caping mirip topi pak tani.

“Hop, Ah, aku tangkap kamu Ndok cah ayu (Panggilan untuk anak wanita dalam bahasa Jawa). Sudah-sudah jangan menangis ada Kakek disini,” dengan tangan kuatnya Si Kakek tua meraih Khusnul lalu membawanya pergi dengan cara berjalan di atas udara atas jurang.

“Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo,” begitulah sepenggal syair yang di dendangkan oleh Pak Tua bertopi caping berjubah hitam-hitam membawa pergi Khusnul berjalan di udara atas jurang meninggalkan desa Ujung Batu yang sudah tertimbun longsoran.     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status