Share

Hanya Ingin Bicara

“Ting!” Sendok terlepas dari tangan Zan. 

Dan hening menyapu ruangan itu, hanya suara terengah gadis itu yang terkadang terdengar.

“Wow!” seru Zan begitu keterkejutannya berakhir. “Tamu tak diundang yang mengejutkan!”

“Aku nggak bermaksud untuk-”

“Bos!” Kalimat gadis itu terpotong dengan kedatangan dua orang bodyguard yang menyusul Hana. Mereka berdua hampir saja bertabrakan karena berhenti mendadak.

“Kalian gagal?” sindir Zan sinis.

“Ma- maaf, Bos.” Mereka menunduk. Lalu, “Kami akan menyeret gadis kurang ajar ini keluar.”

“Hm.” Zan menggelengkan kepala. Lalu, mengangkat tangannya sebagai isyarat pelarangan. “Sepertinya ia hanya ingin bicara.”

Kemudian Zan menggerakan jarinya untuk meminta gadis itu maju.

Gadis itu melirik kesal ke arah dua bodyguard itu, lalu, ia berjalan beberapa langkah kemudian berdiri tepat di depan meja kaca di mana Zan berada.

Ia menginsyaratkan kedua bodyguard itu untuk menutup pintu. Keduanya menjalankan perintah itu, tapi nggak meninggalkan ruangan. Mereka bersiaga di belakang gadis itu.

Zan mengelap mulutnya, meletakan lap itu ke meja, lalu tersenyum. 

“Sepertinya pertemuan pertama kita di terminal kedatangan bandara membuatmu jatuh cinta padaku. Lihat! Kamu mengejarku ke sini!” Zan terlihat tenang. 

“Berhenti bermimpi!” seru gadis itu kesal. 

Zan tersenyum menyeringai. “Jangan-jangan bukan aku yang bermimpi. Kalau Kamu hanya ingin panjat sosial, aku bukan orang yang tepat, gadis lucu.”

“Aku yakin Kamu tamu tahu dengan pasti aku bukan jenis gadis seperti itu,” bantah gadis itu dengan cepat.

Zan mengedikan bahu. “Kuharap juga begitu.” 

“Aku sudah katakan sejak awal, aku hanya ingin bicara-”

“Tunggu!” Zan mengangkat tangannya. Gadis itu urung bicara.

“Dari mana Kamu tahu aku ada di Victory? Ah .... bahkan Kamu tahu aku sedang makan di Glorius.” Zan terlihat kesal.

“Aku punya cara. Kamu nggak perlu tahu itu,” jawab gadis itu enteng.

“Oh! O ya?” Zan tertawa mendengar itu. “Kamu orang pertama yang menolak perintahku Gadis Lucu.”

“Dengar! Mr. Zan Ducan, sekali lagi aku tegaskan, aku hanya ingin bicara!” seru gadis itu tegas.

“Oke. Dan sebelum bicara, sebutkan namamu!” Zan terlihat santai.

“Hana ... Hanasta,” sebut gadis itu singkat.

“Oke, Hana, apa yang ingin Kamu bicarakan?” Zan memundurkan posisi duduk, lalu, bersandar dengan posisi kaki menyilang.

“Tentang laki-laki berotot yang menjemputmu di bandara.” Tanpa sadar rahang Hana mengeras.

Sementara, Zan terlihat heran. “Dia?”

Hana mengangguk dengan cepat.

“Hana.” Zan mengarahkan pandangannya ke arah wajah gadis itu, lalu pandangan itu turun ke bawah hingga ke kaki, lalu pandangan itu kembali ke atas menatap wajah gadis itu dengan tajam. “Kurasa Kamu bukan gadis yang punya masalah dengan laki-laki sepertinya.”

“Aku nggak perlu komentarmu, aku hanya perlu tahu di mana dia berada-”

“Jangan kurang ajar!” sela salah satu bodyguard dengan berang.

Dengan cepat, Zan mengangkat tangan untuk mencegah kedua anak bodyguard-nya yang hendak menyambar Hana.

Kedua laki-laki gempal itu kembali ke posisinya.

“Hana, laki-laki yang Kamu cari adalah anak buahku. Dan semua orang-orangku berada di bawah tanggung jawabku,” elak Zan diplomatis.

“Kalau begitu, Kamu juga bisa mempertanggungjawabkan kejahatannya!” balas Hana tegas, suaranya meninggi.

“Kejahatan?” Mata Zan memicing. “Kamu nggak bisa menuduh tanpa bukti, Hana!”

“Bukti?” Hana menapakan tangan di meja. Ia menatap dengan tajam. “Aku punya bukti kuat. Jadi, katakan saja di mana dia berada! Ada hal yang harus ia jawab!”

Zan menghela napas dalam. Ia tersenyum mendengar gertakan Hana.

“Biasanya seseorang yang punya bukti akan membawa bukti itu kepolisi. Jadi, aku heran kenapa gadis sepertimu justru repot-repot mendatangi aku yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan urusanmu itu.” Zan mengedikan bahu.

“Aku butuh nama dan tempat tinggal anak buahmu itu untuk melakukan tuntutan. Aku nggak bisa menuntut orang tanpa identitas dan tanpa alamat,” tegas Hana tak surut.

“Sayang sekali ... aku nggak bisa begitu saja memberitahukan identitas salah satu anak buahku.” Zan bersikeras.

“Apa ini artinya tantangan untuk membawamu ke meja hijau?” tantang Hana tegas.

Wajah Zan terlihat menahan tawa. “Oke, kalau menurutmu Kamu bisa melakukannya, silahkan!”

Hana menatap tajam. Wajahnya memerah menahan marah. Tangannya terkepal erat. Ia menahan diri dengan keras untuk nggak menghantam wajah tampan di depannya.

“Oke. Aku bersumpah akan mendapatkan anak buahmu itu, tanpa bantuanmu!” tekad Hana berapi-api.

“Silakan!” Zan menggerakan tangannya dengan mengarahkannya ke arah pintu.

Hana menghela napas dalam.

“Antarkan Nona pemberani ini keluar! Jangan sentuh dia!” perintah Zan dengan tegas.

“Siap, Bos!” Bodyguard itu mendekat ke arah Hana yang masih enggan bergerak. Lalu, dengan halus memaksa Hana keluar dari ruang Glorius.

Hana menatap sinis Zan Ducan, tapi ia tahu nggak ada lagi yang bisa ia lakukan selain meninggalkan ruang itu.

Dua bodyguard itu mengiringi Hana menuju pintu utama.

“Hei Gadis kecil, untung saja bos lagi baik hari ini, kalau tidak bisa bahaya! Hm, aku nggak bisa bayangkan jika Kamu mengacau di Victory di malam hari, tentu kita yang akan dibinasakan bos.” Bodyguard itu terlihat sangat kesal. 

“Ya, untung saja saat ini klub ini belum buka,” sambut bodyguard yang lain seraya mengelus dada.

Hana mengabaikan itu. Ia meninggalkan halaman klub Victory bersamaan dengan berdatangannya mobil-mobil mewah ke klub itu.

“Aku terima tantanganmu, Zan Ducan. Aku akan mengajukan kasus ini ke polisi.” Hana mencegat taksi yang akan membawanya ke kantor polisi.

Beberapa saat kemudian, ia sudah duduk di depan meja polisi.

“Saya melaporkan hilangnya ayah saya, Pak. Saya punya bukti penganiayaan dan penculikannya.” Hana merasa sangat percaya diri.

“Baik, kami terima laporannya. Sejak kapan ayahnya hilang?” polisi itu bersiap mengetikan informasi.

“Empat tahun lalu.” Hana menatap tajam.

“Em-” Polisi itu batal mengetik. Ia menoleh ke arah Hana dan menatapnya dengan heran. “Kenapa baru lapor sekarang?”

“Ceritanya panjang, Pak. Saya bisa jelaskan nanti. Tapi, saya akan memberikan informasi inti lebih dulu,” balas Hana dengan cepat.

“Oke.” Polisi itu mengangguk. “Jadi, siapa nama ayahmu?”

“Armand,” balas Hana cepat.

Lalu, polisi itu menanyakan data identitas Ayah Hana yang lain. “Oke, tunggu! Kami proses dulu lamaran ini.”

Hana menunggu dengan penuh harap. Sambil menunggu, Hana memperhatikan wajah polisi itu.

“Eh!” seru Hana tertahan ketika melihat tiba-tiba raut wajah polisi itu berubah tegang. “Ada apa, Pak?”

“Hm, anu-” Polisi itu terlihat gugup dan bingung.

“Apa ada yang salah?” Hana berusaha mengintip layar monitor yang membelakanginya. Tapi, polisi itu mencegahnya.

“Begini ...,” ucap polisi itu dengan gugup. Ia enggan menatap langsung mata Hana. “Sepertinya, kami nggak bisa memproses laporan ini. Maaf.”

“Lo?!” Mata Hana membelalak. “Maksudnya gimana, Pak?!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status