MasukUdara dingin menerpa kulit wajah Mikaila. Dengan di sertai rasa nyeri. Rasanya, udara dingin makin memperparah rasa sakitnya. Tapi sentuhan lembut di dahinya, dan kemudian merambat ke lehernya. Dan berlanjut ke lengannya. Membuat Mikaila mau tak mau merasakan nyaman. Sentuhan tangan yang sangat asing baginya, tapi membuatnya nyaman. Dan dalam sekejap, rasa nyeri di dadanya yang tadinya membuncah itu. menghilang secara ajaib, mistrius.
“Kalau pasien sudah sadar, secepatnya.” Ucap suara bariton yang sangat maskulin di telinga itu. membuat telinga Mikaila yang sangat menikmati lantunan suara selanjutnya dari orang yang sama.
“Jangan lupa, beri suntikan obat penenang setiap empat jam sekali untuk mengurangi rasa sakit bekas jahitan operasi kemarin.”
“Baik Dok.” Jawab suara perempuan kali ini. Mikaila belum bisa membuka matanya. Padahal ia ingin sekali membuka matanya dan melihat sosok si pemilik suara bariton yang sangat maskulin itu. Mikaila, sangat penasaran. Sungguh!
Dan suara pintu yang di tutup secara perlahan membuat Mikaila sadar kalau pemilik suara itu sudah pergi. Dan pemilik suara perempuan itu juga sudah pergi, Mikaila yakin. Perempuan itu adalah salah satu perawat.
Setelah berjuang beberapa lama untuk membuka mata. Mikaila akhirnya bisa melihat sekarang. Di mana ia berada. Tepat sekali, seperti dugaanya. Bukan lagi hal yang mengejutkan kalau ia sedang berbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak sekali alat penopang kehidupan yang menempel padanya.
Bahkan Mika bisa melihat demografi jantungnya yang sangat menyesakan.
“Heran, jantung cuman satu tapi nyusahin.” Pekik Mika pada dada kirinya yang selalu nyeri dari kapan tahun itu. ia meremas dadanya dengan pelan karena merasakan ada remasan yang menghimpit dadanya itu.
“Dasar, jantung ambekan! Di omelin dikit langsung ngambek!” hentak Mika lagi pada jantungnya yang mulai menyerangnya. Tanpa sadar Mika merasakan kalau udara di rumah sakit kian memuakan. Membuat ia tak bisa bernafas sekaligus merasa frustasi.
Mika melihat ke arah kalender, sudah tanggal dua puluh empat febuari. Padahal Mika sangat yakin kalau tanggal terakhir yang ia ingat adalah tanggal dua puluh febuari. Jadi .....? Mika sudah tak sadarkan diri empat hari setelah paska operasi.
Di samping Mika, ada nakas yang sudah terisi penuh dengan bunga bunga. Pastilah dari keluarganya yang sudah pergi untuk bekerja lagi. Tanpa sadar, Mika menghirup nafas dalam dalam. Makin menyesakan saja.
Rasanya sudah mau mati, tapi tak ada keluarganya yang peduli. Jadi apa bedanya, hidup dan mati untuk Mika? Mungkin sama saja. Tapi Mika belum siap untuk mati.
^^^
Raka berjalan keluar dari ruangan pasien yang ke lima yang harus ia monitori secara langsung. Dengan perasaan yang tak karuan. Raka menarik kursi kerjanya dan duduk dengan sangat marah. Brian, si pengacau yang mengatakan kalau ia yang akan menghandle beberapa operasi Raka beberapa hari yang lalu itu. Ternyata malah pergi meninggalkan rumah sakit untuk berpacaran.
“Heh! Setan!” teriak Raka pada Brian yang mendatanginya dengan senyuman yang tak kalah setan. Julukan itu sangat cocok untuk Brian yang mendatangi Raka tanpa permintaan maaf ataupun rasa bersalah. Gara gara Brian, empat operasi harus di tunda dengan resiko akan ada salah satu pasien yang tidak selamat. Atau malah? Mereka tidak akan selamat?
“Maaf maaf.... “ akhirnya Brian mengucapkan kata kata pamungkasnya. Setelah di pukuli Raka, tidak di pukul dengan kekerasan tentunya. Raka akan sangat menyayangkan kalau tangannya yang terluka. Ia takan bisa melakukan operasi lagi nantinya.
“Kita bagi pasien jadi dua.” Potong Raka sebelum Brian membuat alasan yang sudah pasti adalah bualan untuk mengelak dari kesalahannya.
Brian tak mau menolak. Ia tau, gara gara kejadian itu pasti Raka jadi kebanjiran pasien. Pasti sangat melelahkan, hanya bisa beritirahat selama tujuh jam dalam sehari dengan pasien sebanyak itu. Bekerja dua shift sekaligus dalam sehari. Pasti.
“Jangan nyimpen dendam kawan.” Kekeh Brian dengan sangat santai tanpa bisa menyadari kesalahan fatalnya itu. Raka menghirup nafas dengan cepat. Tersenyum simpul dan menunjuk ke pintu keluar ruangannya.
“Keluar sekarang.” Perintah Raka yang di balas dengan tatapan enggan oleh Brian.
“Keluar sekarang, dasar setan!” dan semprotan Raka itu membuat Brian sadar. Kalau ia takan selamat sekarng ini. Sudah, yang penting selamat saja sekarang. Dengan cepat Brian berlari menuju ke pintu keluar, sedangkan di sebrang sisi sana. Raka menghempaskan punggungnya ke leher kursi. Merasakan bagaimana rasanya itu istirahat setelah tenaganya di pacu begitu keras untuk melakukan operasi dan pemantauan beberapa pasien tentunya.
Raka memutuskan untuk keluar berjalan jalan dari ruangannya. Menatap jam tanganya, sudah pukul delapan malam yang harusnya, shiftnya bekerja sudah berakhir. Raka melirik ke sudut ruangan. Tepatnya di tempat ia biasa menggantungkan jas kerjanya. Jas putih selutut yang berlogokan Rumah Sakit Alexandria.
Mata Raka memicing sekarang, ia mengingat berapa jumlah jas kerja yang ia miliki. Jumlahnya tak kurang dari tiga. Tapi di sana hanya satu, terhitung dua dengan yang ia kenakan. Lalu? Kemana perginya jasnya yang satu itu?
Mata Raka tertutup dengan usaha untuk mengingat, tempat mana yang harusnya menjadi tempat paling potensial ia meninggalkan jasnya.
“Bukan ruang operasi...” tutur Raka dengan sangat yakin. Karena ia sudah bolak balik ke ruangan operasi tanpa melihat kain putih itu di sana. Kembali, Raka makin berpikir keras. Mencoba mengingat hari terakhir ia memakai jas yang menghilang. Dan itu sudah jauh sekali mungkin sekitar empat hari yang lalu.
Saat itu Raka sangat gerah setelah berlari menuju ke ruang operasi dan langsung memakai pakaian oeparsi tanpa melepaskan jasanya saat melakukan operasi. Dan saat Raka melepaskan setelan pakaian operasinya. Dia juga ikut mengantarkan pasien itu ke ruangannya.
Dengan berdecak sangat keras. Raka menjentikan jarinya karena akhirnya mengingat di mana letak jas ketiganya itu.
“Di ruangan cempaka VIP tiga!” ucap Raka dengan sangat yakin. Dengan gerakan cepat, Raka melepaskan jas yang ia kenakan, berjalan ke arah pojok ruangan dan menggantungkannya di sana, bersama satu jas lainnya. Dengan cepat Raka menuju pintu ruang kerjanya. Ia akan mengambil satu lagi jasnya. Dan setelah itu pulang.
Langkah Raka yang menyusuri lorong lorong itu bergema karena jam besuk sudah habis sejak dua jam yang lalu. Waktu malam adalah waktu tenang untuk pasien. Mereka harus beristirahat dengan tenang tanpa di ganggu. Dan juga, staff rumah sakit akan lebih bisa bekerja dengan fokus di malam hari tanpa kebisingan suara orang orang.
Raka berjalan dengan sangat santai. Tak nampak sebagai dokter karena sudah melepaskan atribut profesinya. Tapi tubuh tegap Raka dengan sepatu hitam mengkilatnya sudah cukup untuk membuktikan ketampanannya. Dan sayangnya. Di usia yang hampir menginjak usia tiga puluh tahun itu. Raka belum juga memiliki calon istri. Calon kekasih juga tak ada. Raka seperti terjun bebas ke dunia laki laki lajang yang hidup tanpa permpuan.
Bahkan sasat Dokter cantik di Rumah Sakit Alexandria. Dokter Pevita terang terangan mengejarnya. Raka justru menjauhi perempuan berparas sangat ayu itu dengan sama terang terangan juga.
Begitu langkah kaki Raka sampai di ruangan Cempaka VIP Tiga. Raka langsung membuka pintu dengan sangat tenang, ia takut mengganggu pasien. Karena Raka sendiri yang mengoperasi pasien yang sekarang berbaring di ranjang itu.
Raka masuk dengan sangat hati hati. Ia mengamati ruangan sambil meningat ingat, di mana ia melemparkan jas itu karena gerah. Gerah karena marah, berlari dan juga mengoperasi pasien itu. dengan ingatan yang sangat tajam, Raka jadi sedikit ragu. Jangan jangan Jasnya sudah berpindah tempat. Tapi ternyata, Raka bisa bernafas dengan lega. Karena jasnya masih berada di posisi yang sama bahkan terlalu sama seperti tak tersentuh sedikitpun. Seperti tak ada orang yang datang ke ruangan ini sama sekali. Tapi Raka tak ambil pusing, ia langsung berjalan ke arah sofa cokelat beludru khas ruangan VIP. Dengan tangan kirinya yang bergerak sangat lihai, Raka sudah mendapatkan jas putihnya dengan sekali hentak.
Senyum simpul Raka terukir karena ia berhasil menemukan jas itu. tapi suara di sebrang sana membuat Raka mengernyitkan dahinya.
“Kamu maling...?” tanya suara itu dengan nada yang sangat merendahkan harga diri Raka. Jelas jelas dia mengambil barang miliknya sendiri. Bukan maling namanya! Berbalik dengan tampang dingin yang kian dingin, Raka melihat kalau pasiennya itu sudah sadar setelah hampir hari ke limanya memejamkan mata.
Langkah dinging dengan aura yang dingin pula. Membuat Mika meneguk ludahnya dengan sangat ketakutan. Orang yang dia kira maling barusan, mendekatinya tanpa suara. Apa jangan jangan, ia akan di bunuh untuk menghilangkan bukti hidup atas tindakan kejahatan barusan? Tapi apa yang di curi dari ruangan VIP rumah sakit? TV Plasma? Mata Mika melirik TV yang masih utuh di tempatnya.
Tapi seringai Raka justru membuat Mika ngeri. Begidik lebih tepatnya.
“Dua puluh delapan jahitan dengan tulang rusuk yang di patahkan, pemasangan ring jantung untuk mengurangi penyempitan arteri di katup jantung yang bermasalah dan juga kebodohan karena addict dengan kafein padahal memiliki masalah jantung.” Ucap Raka dengan nada dingin tapi makin menegaskan kalau itu adalah kecerdasan yang sangat mulia karena mengetahui penyakit Mika dan tau apa yang terjadi pada wanita itu. tapi bukan itu poin utamanya. Lebih karena Mika sangat terkejut karena suara amat sangat sombong, menyombongkan kecerdasannya barusan. Sama seperti suara pagi tadi yang ia dengar.
“Kamu masih mengira kalau saya maling?” ucap Raka sambil menunjukan jas putih yang ia ambil dan kemudian Raka berlalu. Meninggalkan Mika yang melongo tanpa bisa berbicara ataupun berkomentar padanya. Mika masih terkejut dengan ketampanan Raka barusan.
Apa benar? Itu adalah dokter yang merawatnya selama beberapa hari iin? Ketampanannya, tidak manusiawi!! Kesombongannya juga tak kalah manusiawinya.
Mikaila Abraham. Tubuhnya mungil dan ringkih. Bibirnya tipis dan lengkungan bibirnya seperti bentuk hati. Indah, namun lebih sering terlihat pucat. Jemarinya lentik, kulitnya tipis seperti kulit bayi. Memerah jika mengenakan pakaian dengan kain yang kasar. Mika sangat suka buah dan benci rasa pahit. Sayangnya, ia harus terbiasa menelan pil pahit. Mika terduduk di tepi pantai dengan pasir putih yang menempel di telapak kakinya, tanganya memainkan pasir basah, mengeruknya sedikit demi sedikit dan melemparnya sampai tersapu oleh ombak kembali.Raka duduk di samping Mika, mengamati Mika yang asik bermain pasir."Indah bukan?" Tanya Mika tanpa memalingkan pandangan dari pantai."Apanya?" Tanya Raka. "Pantainya, pasirnya putih dan bersih...." Ucap Mika sembari mengangkat pasir di genggaman tangannya, kemudian melemparnya ke depan."Lautnya biru kehijauan, membentang luas seperti tak memiliki pembatas..." Lanjut Mika. "Aku tidak peduli, entah laut itu biru, hijau bahkan merah atau hitam s
"Bagaimana dengan kamu, sayang?" Tanya Raka pada Mika.Tidak mungkin kan Mika mengatakan kalau ia memikirkan ide yang sama sampai ia tersedak barusan?"Apa?" Kini Mika sedikit syok karena keberanian Kama memanggilnya dengan panggilan yang mesra. "Bagaiamana dengan kamu sayang, apa kamu senang kalau kita tinggal disini begitu punya anak?" Tanya Raka."Sayang? Hah.. aku?" Ulang Mika menunjuk dirinya sendiri. Raka mengangguk, terulas senyum jahil di bibirnya. Ia sengaja menggoad Mika di depan ayahnya. "Iya, bagaimana dengan kamu sayang. Kamu tidak keberatan?""Ahahah...." Mika tertawa canggung, "Tentu saja tidak sayang.... " Jawab Mika sembari menepuk bahu Raka dengan sekuat tenaga.Raka tersenyum kecil, ia tau kalai Mika sedang menahan diri agar tidak makin salah tingkah. "Baguslah kalau kamu tidak keberatan disini Mika..." Ucap Ayah Raka.Mika mengambil cangkir tehnya, menyeruputnya dengan hati - hati agar tidak tersedak lagi seperti sebelumnya."Ayahmu bilang, kamu bisa main piano
Setelah lima jam perjalanan, Raka akhirnya sampai ke tempat tujuannya. Mika kira, Raka akan membawanya ke sebuah hotel atau resort dekat dengan laut. Tapi Mika salah. Mobil Raka memasuki halaman sebuah rumah yang terlihat asri. Seorang satpam dengan sangat sigap langsung membukakan pintu gerbang, seolah sudah mengetahui kedatangan Raka."Kita dimana?" Tanya Mika, tak bosan ia menanyakan pertanyaan yang sama."Dirumahku." Ucap Raka dengan tenang. ***Mobil Raka berhenti di garasi, ia dengan sigap mengeluarkan koper milik Mika. Pantas saja Raka hanya menyuruhnya untuk berkemas, sedangkan Raka sendiri. Mika bahkan tak melihat tas atau koper berisi baju - baju Raka. Bodohnya, Mika malah masih mengira kalau ia akan diajak berlibur di hotel atau resort. "Tolong bawakan koper ini ke kamar," perintah Raka pada seorang art yang mengehampiri mereka berdua. "Baik Mas," jawab art itu dengan cepat mengambil alih koper Mika. Untung saja Mika tak jadi membawa koper 24 inchinya yang super bersar
Pagi ini terasa sangat sunyi, Mika menggerakan kakinya, meregangkan tubuh bagian bawah tapi tanganya menarik selimut lebih dalam untuk menutupi wajahnya. Ini tidak seperti biasanya, tepat sebelum pukul tujuh pagi, biasanya Raka akan membangunkanya, mengajak Mika untuk berjalan - jalan di taman. Atau mungkin Raka akan sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Tapi kali ini, bahkan sampai pukul tujuh lewat, Mika masih meringkuk di atas kasur dengan nyaman. Itu dia.... Mika bisa menciumnya, aroma tubuh Raka yang sangat khas. Wangi maskulin yang segar bercampur aroma keringat. Perlahan pria itu mendekat, ia melihat Mika yang bermalasan di atas kasur, kakinya tidak tertutup selimut, tapi tubuh bagian atasnya tertutup rapat oleh selimut. Raka menarik senyum tipis, Mika pasti sengaja menutup wajahnya agar tidak silau karena sinar matahari sudah menembus gorden. Dengan iseng, Raka malah menyibakan gorden agar sinar matahari menerobos masuk tanpa penghalang. Raka mendekati Mika, meny
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji







