LOGINMika menghabiskan sisa watunya dengan penuh ketenangan. Sisa - sisa harinya di rumah Raka hanya disii dengan jalan - jalan singkat, menilik segala tempat yang ingi Raka tunjukann padanya. Menikmati sore lagi - lagi di kebun bunga matahari. "Kamu yakin kita pulang hari ini?" Tanya Mika diambang pintu, sementara itu Raka tengah mengemasi barangnya yang hanya sedikit.Raka menatap ke arah Mika, wajah Mika tidak terlihat jelas karena membelakangi cahaya, hanya siluetnya hitam. Raka tak bisa melihat ekspresi keberatan dan sedih di wajah Mika, meski begitu terdengar jelas sekali kalau Mika tak ingin meninggalkan rumah Raka. "Kenapa? Kamu sudah bertanya untuk yang ke sepuluh kalinya... Ayo kemasi barangmu..."Raka bangkit dari rajang sembari meggendong tasnya, berjalan ke arah pintu dan melihat Mika tertunduk lesu."Kita bisa pulang ke rumah ini kapanpun kamu inginkann...". Bujuk Raka. Tapi Mika masih tertunduk lesu. Raka meremas bahu Mika pelan dan mentoel pinggang Mika, mencoba untuk m
"Temanmu tadi cantik juga yaa..." Raka melirik ke arah Mika, ia tengah fokus menyetir mobil, "Maksudnya?" Tanya Raka tak mengerti. Mika memutar bola matanya, sembari jemarinya meremas telapak tanganya, "Yah.... Cantik." Ucap Mika, "Memang menurut kamu dia jelek?" Tanya Mika lagi.Pandangan Raka fokus ke jalan, "Yah tidak jelek juga." Jawab Raka.Mika berdecak kesal, "Jadi cantik kan?" Tegas Mika. Raka menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Yah semua perempuan itu cantik." Jawab Raka. "Lebih cantik mana? Temanmu atau aku?" "Kamu." Jawab Raka tanpa pikir panjang."Alah pasti terpaksa." Mika meninggikan suaranya dan nada bicaranya seolah tak percaya. Raka mengernyitkan dahinya, "Terpaksa kenapa? Kamu kan memang cantik," ujar Raka. Ia tak tau kenapa setiap jawabanya malah semakin membuat Mika terdengar kesal. Mika malah melempar pandangan keluar jendela, tidak mau menatap Raka. Entahlah... Mika sendiri tidak tau kenapa ada rasa gemuruh di dadanya yang terasa seperti amarah tak beral
"Aku belum pernah makan sebanyak ini..." Ucap Mika dengan nada puas sembari tangan kirinya mengusap perutnya yang kekenyangan. Bagaimana tidak? Mika menghabiskan hampir seluruh jajanan yang di belinya, ini seperti membeli kepuasan masa kecil karena dulu ia di larang makan sembarangan. Tapi hari ini semua terbalaskan. Raka hanya bisa tersenyum geli karena Mika berusaha mengedurkan roknya, tapi tidak bisa, perutnya buncit mendadak dan ia merasa tak bisa berjalan sekarang ini. "Mau kemana lagi?" Tanya Raka.Mika berpikir keras, ia tak tau tujuan selanjutnya."Biasanya kamu kemana? Setelah makan es krim dan jajan di sini?" Tanya Mika."Pulang," jawab Raka. Mika berdecak kesal, "Mana mungkin...." Ucap Mika dengan nada tak percaya...."Ada tempat lain lagi?" Tanya Mika, berusaha mengulur waktu agar mereka tidak cepat pulang. Lagi pula... Mika masih sangat betah di sini. "Aku tidak melakukan hal lain selain pergi bersama temanku, makan di sini, dan membeli buku. Hanya itu, setelah itu
Mika terpukau dengan penampilannya saat ini, mengenakan kemeja berwarna putih dan rok abu - abu panjang khas SMA. Mika berputar pelan."Bagaimana?" Tanya Mika meminta pendapat Raka. Raka bertepuk tangan kecil dan tersenyum lebar."Cocok..." Ucap Raka.Mata Mika membulat, "Benarkah? Bohong.... " Tuduh Mika. Usia tidak bisa bohong, mana mungkin ia terlihat seperti anak sekolah belasan tahun?"Aku tidak berbohong, bukan gayaku." Raka menyikapkan tanganya. Mereka tengah berada di dalam toko sepatu, Mika menggati sepatunya dengan sepatu yang menurut Raka lebih nyaman untuk berjalan lama. Karena Raka akan mengajak tour kecil. Mengajak Mika berjalan - jalan di kota kecil ini sebagai anak sekolah. Toh tidak ada yang mengenali Mika di kota ini. Raka yakin dengan penampilan Mika ini, orang - orangpun akan percaya kalau Mika mengaku sebagai anak sekolah pindahan. "Mau berjalan ke taman kota?" Tanya Raka."Dimana itu?" Mika bertanya dengan tak sabaran, ia melebarkan roknya dan memasang ekspres
Mikaila Abraham. Tubuhnya mungil dan ringkih. Bibirnya tipis dan lengkungan bibirnya seperti bentuk hati. Indah, namun lebih sering terlihat pucat. Jemarinya lentik, kulitnya tipis seperti kulit bayi. Memerah jika mengenakan pakaian dengan kain yang kasar. Mika sangat suka buah dan benci rasa pahit. Sayangnya, ia harus terbiasa menelan pil pahit. Mika terduduk di tepi pantai dengan pasir putih yang menempel di telapak kakinya, tanganya memainkan pasir basah, mengeruknya sedikit demi sedikit dan melemparnya sampai tersapu oleh ombak kembali.Raka duduk di samping Mika, mengamati Mika yang asik bermain pasir."Indah bukan?" Tanya Mika tanpa memalingkan pandangan dari pantai."Apanya?" Tanya Raka. "Pantainya, pasirnya putih dan bersih...." Ucap Mika sembari mengangkat pasir di genggaman tangannya, kemudian melemparnya ke depan."Lautnya biru kehijauan, membentang luas seperti tak memiliki pembatas..." Lanjut Mika. "Aku tidak peduli, entah laut itu biru, hijau bahkan merah atau hitam s
"Bagaimana dengan kamu, sayang?" Tanya Raka pada Mika.Tidak mungkin kan Mika mengatakan kalau ia memikirkan ide yang sama sampai ia tersedak barusan?"Apa?" Kini Mika sedikit syok karena keberanian Kama memanggilnya dengan panggilan yang mesra. "Bagaiamana dengan kamu sayang, apa kamu senang kalau kita tinggal disini begitu punya anak?" Tanya Raka."Sayang? Hah.. aku?" Ulang Mika menunjuk dirinya sendiri. Raka mengangguk, terulas senyum jahil di bibirnya. Ia sengaja menggoad Mika di depan ayahnya. "Iya, bagaimana dengan kamu sayang. Kamu tidak keberatan?""Ahahah...." Mika tertawa canggung, "Tentu saja tidak sayang.... " Jawab Mika sembari menepuk bahu Raka dengan sekuat tenaga.Raka tersenyum kecil, ia tau kalai Mika sedang menahan diri agar tidak makin salah tingkah. "Baguslah kalau kamu tidak keberatan disini Mika..." Ucap Ayah Raka.Mika mengambil cangkir tehnya, menyeruputnya dengan hati - hati agar tidak tersedak lagi seperti sebelumnya."Ayahmu bilang, kamu bisa main piano







