Share

Semakin Dekat

"Ma, Nara jogging ya ma. Boleh ya?"

"Gak usah. Di rumah aja. Nanti kamu kehujanan." Timpal Kiki yang sedang mencuci piring.

Nara meletakkan kepalanya di atas meja makan. "Papa aja ngizinin masa mama enggak."

Masih pukul tujuh pagi, Nara membujuk Kiki. Ia ingin pergi jogging di pagi ini. Tetapi, Tata melarangnya dengan alasan cuaca sedang mendung. Nara sudah bilang kalo mendungnya palingan cuma sebentar, nanti matahari pasti terbit lebih cerah. Tetap saja mamanya itu kekeuh. Sifat keras kepala Nara memang turunan dari Ibunya.

"Ya udah cuci dulu sepatu kamu, tuh. Baru boleh pergi." 

"Udah dicuci, Ma. Kemarin pulang sekolah langsung Nara cuci." 

"Hmm gitu."

"Jadi boleh gak nih?" Tanya Nara memastikan.

Kiki yang tengah mengeringkan piring pun mengangguk.

"YEAY! Makasih, Ma." Nara melompat kegirangan. Ia mencium pipi Kiki. "Pergi dulu ya, Ma. Nanti kalo kehujanan Nara neduh tenang aja."

"Udah sana. Jangan lupa bawa air minum." Teriak Kiki pada Nara yang sudah keluar rumah secepat kilat.

"Iya."

#

Nara memakai pakaian serba hitam-hitam, warna favoritnya. Hoodie hitam, celana training, dan sepatu hitam. Ia tidak suka warna yang terlalu mencolok menurutnya terlihat sangat girly. Nara gak suka itu.

Tempat tujuan Nara setiap jogging selalu berbeda-beda. Kali ini Nara ingin ke taman komplek, sudah lama dia tidak ke sana. Katanya sih tempat itu sekarang sering ramai. Banyak orang yang duduk-duduk di sana. 

"Cewek."

"Cwitt cwiitt."

"Sendiri aja, kakak."

"Mau ditemenin gak?"

Kini Nara sedang berjalan melewati warung kopi yang isinya cowok-cowok gak jelas. Mereka semua membuat Nara heran, masih pagi begini sudah nongkrong saja. Apa mereka tidak punya kegiatan bermanfaat lain yang bisa dilakukan? Daripada kumpul tanpa tujuan, merokok bermain catur, godain cewek yang lewat, mending ngelakuin apa kek.

Ia tidak bisa diam saja. Geram dengan kelakuan cowok-cowok itu, Nara menghampiri mereka dengan raut marah. 

"Widih kita didatengin cewek."

"Maksudnya apaan kayak gitu?" Nara menatap tajam satu-satu dari mereka.

Mereka semua terdiam. Berpura-pura sibuk sendiri. Cih, Nara sangat jijik melihatnya. Dasar cowok mental yupi.

"Heh, gue tanya maksudnya apa!?" Tanyanya lagi dengan intonasi suara yang mulai meninggi.

Cowok di hadapannya mengibaskan tangan. "Enggak. Becanda doang neng."

"Iya kaku amat."

"Gak bisa diajak becanda nih."

"Main-mainlah sesekali."

Kesabaran Nara mulai habis. Lima orang cowok yang duduk di sana sangat menyebalkan. 

Nara menarik napas dalam sebelum berkata. "Kalian tau gak kalo itu catcalling? Hah? Catcalling masuk dalam kategori pelecehan. Cewek-cewek pada takut digituin. Ngerti gak!"

Bukannya menjawab, mereka semua malah tertawa seakan perkataan Nara hanya sebuah lelucon. 

Geram, Nara membuka tutup botol air mineral yang dibawanya dari rumah, lantas menyiramnya ke cowok-cowok itu sampai habis. Membuat semuanya terkejut atas tindakan berani cewek itu. Botol air mineral itu ia lempar asal. 

"Susah banget ya ngehargain cewek? Dasar cowok mental yupi." Itu kata terakhir yang Nara ucapkan sebelum pergi. 

"Berani amat tuh orang." Gerutu salah satu dari mereka. Sekarang mereka semua basah.

#

Nara melanjutkan jalannya dengan bersungut-sungut. Meskipun gemetar, Nara tetap harus memasang wajah galak. Cowok-cowok kayak mereka itu memang harus ditegasin agar tidak semakin bertingkah seenaknya. Mereka gak tahu aja beberapa cewek malas keluar rumah karena diganggu manusia-manusia aneh semacam itu.

Sampai di taman komplek, Nara duduk di bangku panjang yang ada di sana. Ia melihat sekeliling, beberapa orang sedang duduk-duduk, bersepeda, lansia yang jalan kaki, dan anak kecil yang bermain.

Cewek itu menutupi rambut dengan hoodie. Kepalanya mendongak melihat langit yang gelap. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir jam delapan tapi matahari masih tertutup awan hitam. Sepertinya perkataan Kiki benar, hujan akan turun. 

Di dekat taman, ada lapangan basket kecil. Nara melangkahkan kakinya ke sana. Ia bosan kalau duduk saja. 

Diambilnya bola dalam keranjang lalu mulai memantul-mantulkan secara asal. Kemudian, dia bergerak mendribble bola dan melemparkannya ke ring. Entah ring yang terlalu tinggi atau tubuh Nara yang terlalu pendek, bola itu gagal lolos dari jaring. Nara sadar dirinya tidak tinggi, tubuhnya hanya 158 cm.

"Bukan gitu cara mainnya."

Seseorang datang mengambil alih bola. Nara berdebar menyadarinya.

Raffa.

"Gini. Yang paling utama, lo harus fokus." Tutur Raffa.

Nara yang masih bingung pun memperhatikan dengan pikiran kosong. Banyak pertanyaan di kepalanya.

Raffa mulai mencontohkan cara bermainnya. Selama beberapa menit Raffa menjelaskan dan  mempraktekkan, Nara hanya mengangguk bingung.

"Nah, coba lu rebut bola ini dari gua ya. Bisa gak." Tantang Raffa.

"Bisalah. Gampang."

Cowok itu mendribble bola, menjauhkan bola itu dari Nara sehingga susah baginya merebut. Dia tertawa melihat ekspresi Nara yang menurutnya lucu.

Ketika ada kesempatan, dengan cekatan Nara mengambil bolanya. Karena terlalu bersemangat, Nara sampai tersungkur.

"Aduh."

Raffa panik, dia berjongkok di depan Nara. "Eh lu gak papa?"

"Aw- sakit." Ringis Nara.

Tangan Raffa menggoyangkan bahu Nara pelan. "Nara, lu kenapa?" Ia semakin panik.

"Prank!!"

Nara bangkit berdiri lalu membersihkan celananya yang kotor. Tawanya melebur seketika saat Raffa nampak kesal karena dikerjain.

Nyatanya Raffa gak benar-benar marah. Raffa mengejar Nara sampai dapat. Nara terbahak sambil berlari menghindari kejaran Raffa. Bersembunyi di balik pohon, sampai sembunyi di bunga-bunga.

"Hayo loh, kena lu!"

Raffa berpura-pura menggorok leher Nara dengan tangan, membuat cewek berambut sebahu itu tertawa kegelian sampai terduduk di rumput.

"Hahaha. Udah udah. Ampun bang jago."

Mereka berdua ngakak bersama.

Tak berhenti sampai disitu, Raffa meletakkan tangan kanannya di kepala Nara seakan sedang menangani orang kesurupan. Menggoyang-goyangkannya. Raffa tertawa lepas.

"Halo, ini siapa? Setan dari mana lu. Kembaliin Nara please, dia belum bayar utang gorengan kantin. Ngakunya beli dua padahal ngambil tujuh."

"Ngawur ya! Orang gue ngambil dua puluh, kok."

"Sama aja, Maimunah."

Nara tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Ia tidak tahu kalau Raffa ternyata punya humor yang receh.

Tiba-tiba rintik hujan turun ke muka bumi. Nara mengajak Raffa berteduh di gazebo taman. Hanya ada satu gazebo di sana. Yang lain cuma bangku panjang. Ukurannya sedang, cukuplah untuk dua orang saja.

"Lo kok bisa di sini, sih?" Tanya Nara. Pertanyaan itu yang sangat ingin ia tanyakan dari kemarin.

"Rumah gua di sekitar sini, cuy. Gak jauh dari rumah lu. Gue sering ke sini kalo lagi bosen."

"Baru pindah?"

Raffa menggeleng. "Nggak. Udah lima tahun."

Mulut Nara membulat ber-oh ria. "Gue baru dua tahun di sini. Jadi masih terbilang baru."

"Gue boleh nanya gak, Raf."

"Boleh."

Nara memanjangkan hoodie, menutupi tangannya sebab hawa semakin dingin.

"Punya adek enak gak, sih? Lo berapa bersaudara?"

"Gue sama Vio berdua doang. Ada enaknya ada enggaknya. Enaknya gue punya temen kalo di rumah. Nggak enaknya gue selalu ngerasa gak tega kalo harus ninggalin dia di rumah." Jelas cowok itu. Diliriknya Nara sebentar. "Lu anak tunggal?"

Nara mengangguk lesu. "Kayaknya lo sayang banget ya sama adek lo. Kemarin, gue liatnya gitu."

"Ya iyalah. Vio butuh kasih sayang gua. Kalo bukan gua siapa lagi yang sayang sama dia."

Bisa Nara lihat raut sedih Raffa saat menceritakan tentang adiknya. Sekarang Nara bisa tebak ada sesuatu yang terjadi pada keluarga Raffa. Namun, cewek itu paham situasi, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ia takut akan melukai perasaan Raffa.

"By the way, lo suka outfit item ya?" Nara mengalihkan pembicaraan. Detik itu juga ia baru sadar, entah sejak kapan mereka bisa sedekat ini.

Raffa memakai jaket hitam, kaos hitam, topi hitam, dan sepatu hitam. Tidak jauh berbeda dengan Nara.

"Isi lemari gue kebanyakan item."

"Sama. Gue sampe diledekin gak pernah ganti baju tau, gara-gara sering pake item."

"Dih, ikut-ikut." Cibir Raffa sambil menahan tawa.

"Ngeselin ya." Nara memukul lengan Raffa.

Raffa mengaduh kesakitan. "Aw. Lu mukul luka gua yang kemaren, Ra."

Nara panik. Dia membuka lengan jaket Raffa, benar saja lukanya masih diperban.

"Duh, sorry. Gue lupa."

Cowok itu semakin meringis.

"Sakit banget ya? Gue minta maaf." Ucapnya menyesal.

"Prank balik!"

Kaget, Nara sampai memegang jantungnya. Membuat Raffa terkekeh menyaksikan itu.

Sudah pukul setengah sembilan, hujan semakin deras, udara semakin dingin. Nara sadar bahwa perkataan Mamanya benar. Hujan turun.

Raffa melihat cewek di sebelahnya sedang menggigil kedinginan. Memang, Nara sudah pakai hoodie tapi dia masih kedinginan. Biasanya kalau hujan begini Nara meringkuk di kamarnya dengan selimut tebal dua lapis. Nara paling gak bisa kedinginan. Kemarin, modal nekat dia hujan-hujan alhasil langsung sakit esoknya.

Hatinya tergerak untuk memberikan jaket pada nya. Raffa membuka jaket dan memakaikannya  ke Nara.

"Nih, pake. Tambahan."

Deg.

Jantung Nara kembali heboh. Demi Tuhan, posisi ia dan Raffa sangat dekat. Nara menahan napas sampai Raffa menjauh.

"Fiuhh." Hembusan napas Nara terdengar.

"Kenapa lu?"

"Pake nanya lagi. Ya lo pikir aja sendiri, gimana rasanya duduk dideket orang yang lu sukai." Batin Nara berbisik.

"Gak papa." Jawabnya singkat. Nara berharap Raffa tidak mendengar detak jantungnya yang sedang berdisko.

Mimpi apa dia semalam. Berduaan bersama Raffa menunggu hujan reda, dan diberikan jaket. Plus, dipasangin pula jaketnya.

"Raffa."

Yang dipanggil menoleh. "Hmm."

Kini, mereka bertatapan.

"Garis takdir kita bersinggungan lagi."

Alis Raffa bertaut, tak mengerti apa maksud Nara. "Maksud lu?"

Nara menggeleng pelan, lantas menunduk, matanya terpejam rapat. Lagi dan lagi dia teringat ucapan Erika. Ia harus tahu batas. Ia tidak boleh begini. Ia tidak seharusnya keluar jalur.

"Lupain aja."

Hujan sudah reda. Bau sesudah hujan sangat menenangkan bagi Nara. Dia sedang berjalan keluar area taman bersama Raffa. Sedari tadi mereka mengobrol banyak hal random, tentang teman-temannya Bintang, Rizki, Dendi, tentang basket, tentang kelucuan Vio, dan tentang kartun upin ipin yang baru saja mengeluarkan episode terbaru. Nara bersyukur Raffa gak menceritakan tentang Thalia.

"Apapun masalah yang terjadi lo harus semangat ya. Gue yakin lo bisa laluin itu." Nara berucap ketika mereka akan berpisah jalan.

Raffa tertegun. Bibirnya melengkungkan senyuman yang manis. Ia memasukkan tangannya ke saku jaket, kemudian merapatkan topi.

"Thanks, Ra."

"Iya. See ya!" Nara melambaikan tangan.

"Nice to meet you."

Nara pergi duluan. Disenyumin Raffa seperti itu membuatnya ingin salto seketika. Setelah jauh baru Nara bisa melompat lompat kegirangan.

"Ganteng banget, Mamaaa mau nangis. Raffa lo ganteng banget, sial." Pekiknya heboh.

"Bisa gak sih lo aja yang jadi jodoh gue." Lanjut Nara.

"Cowok ganteng sih banyak tapi yang bikin gue gila ya cuma elo, Raffa!"

Orang-orang yang lewat memandang Nara dengan tatapan aneh.

Tunggu, Nara baru sadar kalau Raffa memanggilnya dengan sebutan "Ra". Biasanya orang lain menyebut "Na atau Nar." Hanya Papanya yang memanggil "Ra".

Sampai di rumah, Nara masuk ke kamar sambil senyum-senyum sendiri. Kiki yang baru saja keluar kamar pun terheran melihat kelakuan anaknya.

#

Upacara Hari Senin.

Nara berdiri di barisan paling belakang, bersembunyi di belakang teman-temannya yang lebih tinggi. Terlalu malas di depan karena berhadapan dengan guru, juga sinar matahari pagi yang menyengat. Ia tidak sanggup.

Mata Nara tak sengaja melihat Raffa di barisan kelasnya. Ia jadi teringat kejadian kemarin. Dan upacara senin lalu, saat dia dan Raffa dihukum bersama. Tidak terasa sudah seminggu saja.

#

Geovan membasahi rambut dengan air keran. Cowok itu berkaca di cermin. "Gila, ganteng banget gue." Gumamnya.

"Ganteng apaan. Mirip kodok zuma kok ganteng." Aji, temannya menyahut. Aji baru saja keluar dari toilet.

"Tiap abis upacara gue selalu ngerasa jelek, bro. Tapi pas ngaca lagi beuuh ternyata gue masih seganteng Zayn Malik, Ji."

"Hoax."

Geo keluar kamar mandi sambil bersiul. Tangannya berulang kali merapikan rambut.

Dia semakin geer ketika kakak kelas cewek yang lewat senyum-senyum ke arahnya.

"Asek. Kenapa kak? Saya ganteng kan?"

Seorang adik kelas menghampirinya. "Kak Geo, resleting celana kakak kebuka. Kolor kakak warna pink keliatan, tuh." Kemudian, cewek yang rambutnya digerai itu pergi.

Geo mengecek celana. Ia menepuk jidatnya sendiri. Benar yang dikatakan adik kelasnya. Cepat-cepat ia tarik resletingnya naik.

"Malu banget anjir." Aji datang mengejeknya.

"Diem lo. Yang penting gue ganteng."

Geo berpapasan dengan Nara yang sedang bercanda dengan Erika. Nara berjalan mundur ke belakang. Sebuah ide terlintas di otaknya.

"DORR!"

"Eh, Mak!" Nara kaget.

Ketiganya tertawa menyaksikan itu.

"Gue kirim juga lo ke Israel ya." Kata Nara seraya melipat tangan di dada.

"Dih enak aja."

"Ke palestina aja, berjuang disana." Erika menimpali.

"Lumayan mati syahid masuk surga, Ge." Aji pun tidak mau kalah.

Tiba-tib Geo maju ke hadapan Nara. Jarak mereka kini berdekatan.

"Apaan, sih." Ketus Nara.

"Tolong rapiin dasi gue dong, Kak."

"Rapiin sendiri lah masa harus gue."

"Gue maunya lo yang rapiin kak."

Nara mengembuskan napas lelah. Malas berdebat, Nara maju merapikan dasi Geo yang memang berantakan.

Aji dan Erika hanya diam saja memperhatikan. Suasananya sangat awkward.

"Baju kalian tuh dimasukin. Jadi siswa harus rapi." Itu suara Erika.

"Gak mau gerah."

"Gini aja udah keren kali, kak."

Nara mengajak Erika pergi, namun ditahan Geo.

"Gue suka sama lo, Kak Nara." Ujar Geo gak ada angin gak ada hujan.

"Hah?" Nara dan Erika bersahut serentak.

Wajah Erika mendadak berubah tak enak menyaksikan pemandangan di depannya.

"Jangan mau kak, dia playboy. Pacarnya sampe dua. Beneran deh." Celetuk Aji.

"Wah, parah lo, Ji."

Geo berpura-pura akan menonjok cowok itu.

Nara memutar bola matanya malas. "Apaan sih gak jelas banget lo, Geo." Tawa kecilnya terdengar.

Kemudian, Nara menarik tangan Erika mengajaknya untuk pergi. Mengabaikan dua anak absurd itu yang kini berkelahi.

#

Sehabis istirahat pertama, khusus kelas dua belas diberi jam kosong sebab para guru yang mengajar kelas tiga dipanggil rapat oleh kepala sekolah.

Semua siswa bersorak heboh termasuk Nara. Pikirannya langsung tertuju pada Raffa. Nara meminta Erika untuk menemaninya ke toilet. Tapi melalui tangga kanan, sengaja biar bisa melewati kelas Raffa.

Nara bingung sedari tadi Erika diam saja. Tidak biasanya dia badmood seperti ini. Padahal, Erika paling senang saat jam kosong. Meskipun begitu, Nara tak mau ambil pusing. Mungkin cewek itu cuma lelah.

Keduanya berjalan di koridor yang ramai, para siswa berhamburan keluar kelas. Lalu, rombongan anak ekskul PASKIBRA dan PRAMUKA berpapasan jalan dengan Nara dan Erika. Nara yang kurus membuatnya jadi terombang-ambing, berdesakan dengan padatnya siswa lain.

"Nara Nara, lewat sini. Pegang tangan gue."

Nara menggandeng lengan Erika, mengikuti langkahnya menerobos kerumunan. Tinggi mereka memang sama, tapi Nara merasa badan Erika lebih ideal dibanding dirinya.

Akhirnya, mereka bisa bernapas lega setelah berhasil melalui itu.

"Aduh, pengap banget." Napas Erika memburu.

"Niatnya mau liat mas crush, eh malah ketiban para galah."

Ucapan Nara yang spontan membuat Erika melotot seram.

"Oh, jadi lo minta lewat sini karena mau liat Raffa?"

Nara hanya menyengir saja. "Tapi gue beneran kebelet pipis, kok."

#

Sekembalinya dari toilet, Nara dan Erika dikejutkan dengan pengumuman heboh yang sedang guru diskusikan sekarang. Katanya, Senin depan ada praktek renang untuk anak kelas tiga. Tetapi, dibagi menjadi dua rombongan. Alias tidak semua serentak pergi bersama.

Rombongan pertama, kelas unggulan IPA dan IPS 1, 2, 3. Rombongan kedua, kelas IPA dan IPS 4, 5, 6. Itu artinya Nara bisa melihat Raffa.

"Kas kas kas. Tolong dibayar kasnya ya anak baik."

Tuti, bendahara kelas sedang berkeliling mengutip uang kas. Dia mendatangi meja Nara dan Erika.

"Eh, Tuti. Kumpul uangnya kapan?" Tanya Nara.

"Besok udah bisa dikumpul."

"Sama lo, kan?" Giliran Erika bertanya.

Tuti mengangguk kemudian pergi ke meja lain.

#

Pulang sekolah, Nara menunggu angkot di pinggir jalan. Dia tidak sendiri, anak sekolah lain juga ada.

Tanpa sengaja matanya melihat Raffa yang sedang membonceng Thalia dengan motornya. Nara mengira kalau Raffa hanya mengantar Thalia, setelah itu kembali lagi ke sekolah, pasalnya cowok itu tidak membawa tas.

Ia tersenyum kecut. Mereka mesra sekali. Juga sangat cocok. Nara teringat kejadian kemarin pagi, ketika dia berdua bersama Raffa. Setiap gerak gerik Raffa terekam jelas diingatannya. Mana mungkin Nara bisa melupakan setiap detik yang terjadi saat itu.

Sebuah angkot berhenti. Nara dan penumpang lainnya naik mengambil tempat duduk. Ia memilih duduk di dekat pak supir.

Tiba-tiba Geovan ikut masuk dan duduk di sebelahnya. Nara terkejut.

"Loh, kok lo naik angkot?"

Geovan mengangkat bahunya acuh. "Kenapa emangnya? Gak boleh?"

"Bukan gak boleh. Aneh aja tiba-tiba dateng kayak jelangkung."

"Cih." Bibir atas Geovan naik sebelah, mencibir ucapan Nara.

"Motor gue dibawa temen laknat, Kak. Bilangnya minjem bentar tapi sampe sekarang gak dibalikin. Ya gue naik angkotlah, males nunggu."

Nara mengangguk paham.

"Gue suka lo, Kak."

"Mulai."

Tangan Nara mencubit lengan Geo, membuatnya mengaduh kesakitan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status