Share

Pasar Malam

"Loh ini siapa? Kok muka kalian pada luka gitu?Sini masuk nak masuk." 

Kiki membantu Nara yang kesusahan berjalan karena betisnya sakit ditendang. Ia juga mempersilakan Raffa duduk di sofa. 

"Kalian tunggu di sini dulu ya. Mama bawa kompres dan obat-obatan lainnya." Kiki panik, dia berlari cepat ke dapur. 

"Papa anaknya ini lukaaa."

Firdaus buru-buru keluar dari kamarnya. "Ya ampun. Kok bisa gini, Ra? Ini temennya juga lebam gitu." 

Nara menceritakan kronologinya. Kedua orang tua Nara terkejut. 

Nara dan Raffa duduk bersebelahan di sofa yang sama. 

"Sini sini Mama obatin. Nama kamu siapa nak? Temennya Nara ya?" Tanya Kiki sembari menyiapkan kompres handuk pakai air hangat. 

Gadis itu membuka balutan hoodie di tangan Raffa. "Ma, Pa. Luka Raffa harus cepet diobatin nanti infeksi."

"Ya Allah. Pa, papa obatin Nak Raffa. Mama ngurusin Nara ya. Sana cepetan!" Perintah Kiki. 

"Iya iya." Firdaus dengan cekatan membersihkan luka Raffa. 

Reaksi Raffa hanya diam saja. 

Kiki menuntun Nara untuk pindah sofa. Ia memberi antiseptik ke sudut bibir Nara yang terluka. Kaki Nara yang sakit dia pijit dengan minyak urut. 

Sementara itu, Firdaus tengah melilitkan perban ke luka Raffa. Lebam biru di tulang pipinya Firdaus kompres pakai handuk hangat. Menimbulkan ringisan kecil dari Raffa. 

Raffa hanya merasa.. Senang. Dia berharap di rumahnya ada orang tua yang perhatian seperti yang dilakukan orang tua Nara. Pasti dia akan sangat bahagia. 

"Udah selesai." Ucap Firdaus seraya membereskan obat-obatan. 

"Makasih ya, Om, Tante. Makasih banyak." 

"Ih engga. Harusnya kami yang ngucapin makasih ke kamu. Kalo gak ada kamu, Nara gak ada yang bantuin." Tandas Kiki yang masih memijit kaki Nara yang rebahan. 

Raffa tersenyum canggung. 

"Minum dulu, Nak Raffa." Tawar Firdaus menyodorkan teh hangat. 

Raffa menurut. Kebetulan sekali dia sedang haus. 

"Ngomong-ngomong kamu ini temen sekelas Nara ya?" Kiki bertanya. 

"Bukan-"

"Ngga. Kami satu sekolah, cuma kenal biasa aja. Tadi gak sengaja ketemu." Potong Nara cepat. 

Untungnya Mama dan Papanya Nara tidak banyak bertanya lagi. 

"Kalo begitu saya pulang dulu ya, Om, Tante. Mama udah nyariin di rumah." Bohong. Mana mungkin Mamanya mencari. 

Kiki dan Firdaus mengizinkan. Keduanya berterima kasih lagi pada Raffa. 

Raffa bangkit berdiri, lalu meraih hoodie hitam Nara yang berdarah itu. "Ini gue cuci ya, Nara. Nanti kalo udah bersih dikembaliin."

"Jangan. Gak usah. Sini tante aja yang cuci." Sergah Kiki sambil merebut hoodie itu. 

"Baiklah Om Tante kalo gitu saya pamit pulang ya."

"Hati-hati ya, Nak."

Orang tua Nara mengantarnya sampai ke depan rumah. 

#

Sampai di rumah, Raffa disambut kesunyian. Sepertinya Vio sudah tertidur ditemani Mbak Sri-asisten rumah tangga yang baru. Mbak Suti mengundurkan diri karena tidak bisa bekerja seharian. Jadilah Anton mencari pengasuh Vio yang baru, yang bisa bekerja full time sebab Raffa sibuk latihan basket, kecuali weekend. 

Setelah selesai mandi, Raffa menatap wajahnya di cermin sembari mengeringkan rambut dengan handuknya. 

Jujur, ada rasa iri ketika ia di rumah Nara tadi. Kedua orang tua Nara sangat perhatian. Sangat berbeda dengan Papa Mamanya. Papa sibuk bekerja sampai lupa waktu, sedangkan Mama hangout bareng teman dan date bareng pacarnya. Raffa dan Vio hanya diberi uang, bukan kasih sayang. 

Omong-omong soal Nara, tadi dia sedang membeli es krim untuk Vio. Tapi ketika ingin bergegas pergi, dia mendengar suara perempuan dari ujung gang. Ia sempat melihat Nara bertarung melawan dua orang itu. Sama sekali tidak menyangka kalau cewek sepertinya ternyata jago berantam. 

"Hah. Melelahkan." 

Sebelum tidur, Raffa mengecek luka ditangannya yang dibalut perban. Menurutnya tidak terlalu parah seperti yang orang lain lihat. Sakit memang, tapi dia biasa saja. Masih bisa menahan. 

#

"Kok dia bisa ada di sana ya? Dari mana datengnya Raffa? Haduh gue gak sempet nanya lagi." Ocehnya sendiri di depan cermin. Ia sedang memakai skincare. 

Luka di bibirnya sangat ketara sekali, ia yakin besok lusa Erika akan melemparkan banyak pertanyaan untuknya. Ya, besok Nara dilarang sekolah oleh Tata. Nara meyakinkan mamanya namun tetap saja Tata tidak mengizinkan. 

Nara mengingat kembali kejadian yang dialaminya tadi. Sungguh, diluar dugaan. Ia pikir ia akan habis di tangan preman-preman itu. 

#

Hari ini, Raffa tetap pergi sekolah. 

Ia berangkat sekolah demi melihat Thalia. Gadis itu pasti akan sangat merindukannya. Mereka sudah berbaikan. 

Lagi pula, luka ditangan Raffa sudah diobati. Dia juga ada latihan basket. 

Raffa ingin menikmati masa-masa bermain basket yang mungkin gak akan terulang lagi kalau putih abu-abu sudah berakhir. Ia dan timnya berambisi memenangkan semua lomba yang tersisa sebelum mereka tamat sekolah. 

Meskipun tidak seambisi dulu, Raffa tetap harus berjuang. Kalau menang, lumayan uangnya bisa dia tabung untuk masa depan. 

"Ya ampun Raffa, kamu kenapa ini mukanya?" Tangan Thalia mengelus pipinya. "Ini juga tangan kamu luka. Kok bisa?" Lanjutnya. 

Raffa terkekeh kecil melihat raut panik Thalia. Baginya sangat lucu.

"Ih, jawab. Bukan ketawa!" Cewek itu mencubit Raffa. 

Para siswa yang berlalu lalang di koridor tidak heran lagi. Sepasang kekasih itu memang aneh, kerjaannya bertengkar, baikan, bertengkar lagi. Begitu seterusnya. 

"Berantem sama preman tadi malem."

"Haduh, gimana ceritanya?"

"Ya gitu. Aku nolongin mbak-mbak yang diganggu." Raffa tak mau menceritakan perihal Nara, ia tahu watak Thalia, cewek itu pasti akan sangat cemburu. 

"Ututu sayang.."

#

Hari Sabtu. 

Jam istirahat kedua dimulai. Nara dan Erika shalat di mesjid. Baru setelah itu mereka latihan di ruang musik. 

Ah iya, tadi pagi Erika heboh bukan main ketika Nara menampakkan diri di hadapannya. Bagaimana tidak, sahabatnya itu datang dengan luka di bibir serta kaki yang pincang. Erika sampai membantu Nara berjalan hingga saat ini. 

Nara sedang melipat mukena, Erika sedang sibuk merapikan ikatan rambut. Tak sengaja, Nara melihat punggung Raffa lagi. Ia teringat kejadian semalam. Rasanya mimpi, Raffa datang ke rumahnya. Raffa memegang lengannya. Raffa diobati oleh Mama Papanya. Jika benar itu mimpi, Nara berharap seseorang tak membangunkannya. 

"Ayo, Nar." Ajaknya.

Erika membantu Nara berjalan. Padahal, Nara sudah bilang bahwa ia tidak apa-apa. Kakinya tidak sesakit kemarin, Mama Nara memang ahli dalam memijat. 

Saat sedang berjalan menuju gedung ekskul, mereka bertemu Geo yang sedang diceramahi guru. Pak Iman memegang pesawat buatan dari kertas, ulahnya Geo. 

"Kenapa tuh anak?" Erika cekikikan saat melewati Pak Iman dan Geo. 

"Gak tau tuh. Paling berulah lagi." Bisik Nara. 

Sesampainya di ruang musik, mereka duduk di bangku panjang. Semua alat di ruang musik ini milik anak ekskul band. Di SMA Harapan Abadi, ada tiga band yang terbentuk. Masing-masing angkatan mempunya Band sendiri. Nah, mereka biasanya latihan di ruang ini. Para siswa yang lain diperbolehkan memakainya asal izin dulu dengan pembimbing ekskul musik, Bu Rere. 

"Lo harus main piano ya, Na." 

Erika menunjukkan ponselnya ke Nara, berisi kunci lagu Love Story versi slow. Nara menurut saja. Ia sudah memikirkan matang-matang. Menyiapkan diri untuk tampil minggu depan. Lagi pula, jika bernyanyi sambil main piano, wajahnya tidak terlalu nampak ke penonton, bukan? 

Nara duduk di kursi piano. Jari-jarinya mulai memainkan alunan nada sesuai kunci. 

We were both young when I first saw you

I close my eyes and the flashback starts

I'm standing there

On a balcony in summer air

See the lights, see the party, the ballgowns

See you make your way through the crowd

And say hello

Little did I know

Nyanyian Nara sangat santai dan adem di telinga. 

Erika berdiri di sebelah Nara, bertepuk tangan tanpa suara sambil mendengarkan suara Nara dengan seksama. 

Hanya ada mereka berdua di sana. Anak-anak ekskul band sedang tidak latihan. Mereka biasanya latihan ketika kegiatan belajar mengajar selesai, pulang sekolah. 

Romeo, take me somewhere we can be alone

I'll be waiting, all there's left to do is run

You'll be the prince and I'll be the princess

It's a love story, baby, just say yes 

Erika bertepuk tangan heboh saat Nara menyelesaikan lagunya. "Gila! Sekali main lo langsung bisa. Luar biasa."

"Gue berusaha semaksimal mungkin."

"Lo tuh gak usah latihan juga udah bagus, Na."

"Yang bener aja."

Erika berdecak sebal. "Lo mah gitu."

Nara tertawa. 

#

Sore ini Raffa membawa Thalia dan Vio jalan-jalan ke pasar malam. Bocah tiga tahun itu senang bukan main. Atas permintaan Thalia, mereka bertiga naik mobil. Vio duduk di depan, dipangkuan Thalia. Ia sangat semangat bertemu Thalia lagi. 

"Duh, Tuhan. Nih bocah gak bisa diem banget." Batin Thalia berbisik. Anak itu mengangguk-angguk saat Raffa menyetel lagu balonku, membuat dagu Thalia tersikut. 

"Vio, jangan gitu. Kasian Kak Thalia mukanya kena kepala kamu." Larang Raffa sambil fokus menyetir. 

"Sorry," ucapnya pelan sambil menampakkan puppy eyes. 

Sampai di sana, Vio digendong Raffa. Akhirnya Thalia bisa bernapas lega terlepas dari anak itu. Sejujurnya ia tidak suka anak kecil, karena menurutnya mereka berisik dan tidak bisa diam. Efek anak bungsu, Thalia jadi begitu. 

Orang-orang yang melihat mereka pasti akan menyangka Raffa, Thalia, dan Vio adalah keluarga bahagia. Pernah waktu itu ada ibu-ibu yang memuji seperti ini, "Pantes anaknya cakep keterlaluan. Orang papanya ganteng, Mamanya cantik. Klop sekali." Thalia cuma bisa tersipu malu dan mengaminkan ucapan Ibu itu. Raffa tertawa dan menjelaskan padanya bahwa mereka baru pacaran bukan menikah. 

Ketiganya memakan jajanan disana. Thalia suka makan, Vio merengek meminta gulali warna pink yang dijual abang-abang. Raffa gak mengizinkan, takut Vio sakit gigi. Alhasil, anak itu menangis kencang. 

Thalia sedang makan seblak. Ia memutar bola matanya malas, terlalu berisik. 

"Udah beliin aja, Yang. Pulang dari sini kan Vio bisa sikat gigi."

Raffa menuruti saran Thalia, dibelikannya Vio gulali tersebut. Kemudian, anak itu pun diam. 

"Vio mau naik bianglala atau komidi putar?" Tanya Raffa lembut, tangannya menyapu air mata Vio. 

"Bianglala terlalu tinggi, aku gak ikut." Sahut Thalia. 

"Aku mau main pancingan ikan aja." Ucap Vio. 

Raffa menurutinya. Kini, mereka menemani Vio bermain pancing memancing. Thalia bergelayut manja di lengan Vio. Cewek itu sungguh bosan dan moodnya jadi jelek. Selalu saja seperti ini. Ia tidak suka keluar membawa Vio karena menurutnya bocah itu mengganggu waktu berdua dia dan Raffa. Dari tadi hanya menemani Vio bermain. 

Selesai main, mereka bertiga duduk di bawah pohon rindang, rerumputannya bersih jadi aman duduk di sana. 

"Sayang, aku mau makan es krim." Pinta Thalia. 

"Kamu mau es krim gak, dek?" 

Vio yang sedang main mobil-mobilan pun mengangguk semangat. "Mau, dong!"

"Oke, bentar ya abang beli. Mau rasa apa?" Tanyanya lagi pada Vio. 

Thalia berdecak sebal. "Aku mau rasa stroberi."  Serunya. 

"Mangga!" Giliran Vio yang menyahut. 

"Oke, tunggu ya abang beli dulu. Tunggu ya, Lia."

Sepeninggalan Raffa, Thalia hanya diam sembari fokus bermain handphone. Sampai-sampai tak memperhatikan Vio yang sudah berjalan jauh entah kemana. 

Raffa datang membawa dua cup es krim. 

"Lah, yang, Vio mana?"

Thalia tersentak dan menyadari bahwa Vio tidak di sini. "Tadi sama aku, kok. Beneran."

"Kamu mah gitu." Raffa menaruh es krim di bawah pohon dan berlari mencari Vio. 

Begitu juga Thalia, ia takut Raffa marah padanya. Apapun yang berkaitan dengan Vio, Raffa sangat emosional. 

"Vio! Kamu di mana?" Teriak Raffa

"Vio!"

Raffa mencari ke sekitar, sepertinya Vio belum terlalu jauh. Salahnya mengantri es krim terlalu lama, Thalia juga asyik sendiri dengan ponselnya sampai tak memperhatikan Vio. 

#

"Nih pentol enak banget ya ampun, mau nangis aja rasanya."

"Gue udah lama gak makan telor gulung. Jajanan SD, nih." Komentar Nara seraya meminum es cappucino cincau. 

"Mie ayam juga ada, Nar."

Erika dan Nara sedang duduk di bangku milik penjual pentol, telor gulung, bakso bakar. Keduanya menikmati semua jajanan itu sampai kekenyangan. Bahkan ingin nambah lagi. 

Tadi Erika tiba-tiba datang naik motor ke rumah Nara, menjemput Nara untuk jalan-jalan sore. Padahal, mereka gak janjian sebelumnya. Erika bilang dia sedang ngidam jajanan pedas. Ya, Nara mau-mau saja. Kebetulan dia sudah beres membantu Mamanya menyiapkan barang jualan. 

"Er, lo wajib banget cobain telor gulung. Parah, sih. Gue ketagihan makannya."

Erika menggeleng. "Gue mau nyoba mie setan aja. Bang, mie setan satu porsi ya." Ucapnya pada abang-abang penjual. "Lo gak mau?"

"Nggaklah. Gue gak doyan pedes." Nara mengumpulkan lidi tusuk bekas telor gulung, lalu membuangnya ke tempat sampah. Oh iya, kaki Nara sudah sembuh. Ini semua berkat Tata yang rutin memijat kakinya. Bahkan pulang sekolah tadi. 

Nara bersendawa panjang. Membuat Erika melayangkan pukulan pelan di bahu Nara.

"Jorok oi!"

"Biasalah."

Kemudian, mereka tertawa bersama. 

Nara merasa ada yang menarik bajunya. Kepalanya menoleh ke belakang. 

"Kakak, boleh tolong bukain permen ini?" Seorang bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun menyodorkan permen kaki padanya. 

"Eh iya boleh, sini kakak bukain." Nara membuka bungkusan permen itu. 

"Kamu anak siapa, hei. Nyasar ya?" Erika mendekati anak itu, berjongkok di depannya. "Mana orang tua kamu?"

"Ini permennya."

"Thanks yuu ya, kakak." Ucap anak itu.

"Anak siapa, Na?"

Nara mengangkat bahunya sebagai tanda tidak  tahu menahu. Kemudian, Nara ikutan berjongkok di depannya. 

"Dek, kamu nyasar ya?" Tanya Nara. 

Anak laki-laki itu hanya diam saja. 

"Vio!"

"Vio!"

"Astaga, Vio!"

Nara dan Erika melihat ke sumber suara. Begitu kagetnya mereka berdua ketika Raffa dan Thalia mendatangi tempat mereka. 

"Vio, kamu ngapain jauh banget jalannya?" Raffa memegang tangan Vio, menyapu keringat di dahi anak itu. 

Thalia memandang Nara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Kemudian, dia ingat cewek ini adalah cewek yang sama sewaktu di tangga.    

Raffa menggendong Vio, Erika dan Nara ikut berdiri. 

"Makasih ya, Nara. Lo juga-" 

"Erika." Sahut Erika. 

"Iya, Erika. Untung aja Vio larinya ke kalian." Tutur Raffa ramah. Ia tersenyum. 

Nara membalas senyuman itu. "Iya, santai."

"Lain kali dijaga ya adeknya. Jangan lalai." Erika menambahkan. 

"Udah yuk cepetan, yang. Kita ke tempat lain. Udah mau maghrib soalnya." Itu suara Thalia. Cewek itu menggandeng lengan Raffa dan menyeretnya pergi. 

"Sekali lagi, thanks ya." Bisik Raffa sebelum pergi. 

Nara menghela napas lesu, iri melihat kemesraan Raffa dan Thalia. Terlebih vibes mereka sudah seperti pasangan suami istri muda yang jalan-jalan sore bersama anak. Menurutnya, mereka sangat cocok. Ganteng dan cantik. Jika ia jalan bersama mereka pasti sudah disangka pembantu. 

"Uy, ayo lanjut makan." Erika menepuk lengan Nara yang dari tadi melamun. Dia langsung menyantap mi setan yang masih panas. 

"Mereka kayak raja sama satu ya, Er." Nara tertawa miris, ia menyesap es capucino cincaunya. 

"Gue kok sebel ya sama Thalia. Mukanya waktu liat kita kayak julid banget. Mana pake make up dewasa banget lagi."

Mode gosip Erika sedang on. 

"Gue nebak-nebak si Thalia kenal gue kayaknya." Tebak Nara. 

"Iyalah. Lo gak inget yang di tangga?"

Nara menepuk jidatnya sendiri. "Haduh bener juga."

#

"Loh, kok pulang, sayang?" Tanya Thalia kesal, dia berlari kecil mengejar langkah lebar Raffa yang berjalan menuju mobil mereka. 

Raffa menulikan pendengarannya. Ia terus melangkah sambil menggendong Vio. 

"Aku masih mau main, yang." 

Dibukanya pintu mobil dan menyuruh Thalia masuk. Thalia memutar bola matanya malas, lalu masuk ke mobil, memangku Vio di pahanya. 

Cowok itu melajukan mobil keluar pekarangan pasar malam. 

"Kamu marah, yang?"

"Raffa." 

Pertanyaan Thalia berkali-kali diabaikan oleh Raffa. 

"Yang, ih. Jangan marah." 

Thalia memegang tangan kiri Raffa yang masih terbalut perban, menimbulkan ringisan pelan dari Raffa. 

"Maaf ya, yang. Aku tadi terlalu fokus hape, sampe Vio gak aku perhatiin. Maaf yaa." 

"Lain kali jangan gitu lah. Ini bukan sekali dua kali loh, Lia. Gimana kalo terjadi apa-apa sama Vio? Kamu kan tau kalo soal Vio aku selalu over." Jelas Raffa, pandangannya hanya lurus ke depan. 

Thalia memandang Vio di pangkuannya. "Kakak minta maaf ya, Vio. Kakak janji deh gak ngulangin lagi."

"Iya, kakak. Gak masalah kok." Jawab anak itu dengan polosnya. 

"Tuh, Vio aja santai, kok." 

Raffa mengembuskan napas lelah. "Udah mau maghrib, aku antar kamu ya."

Bibir Thalia cemberut, ia membuang pandangannya ke luar jendela. Pacarnya itu sangat sensitif tentang apapun yang menyangkut Vio. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status