Share

Sudut Pandang

Pulang sekolah, selesai makan Nara membantu Papanya membersihkan ubi ungu dari tanah yang menempel. Di belakang rumah Nara, ada gubuk khusus yang dibuat Firdaus. Biasanya tempat itu digunakan untuk keperluan hasil kebun. 

Nara memakai kaos oblong warna biru dan celana panjang hitam. Keringat membasahi baju. Tangannya dengan sigap merontokkan tanah di ubi dengan sikat. 

Firdaus juga di sana. Dia sedang memisahkan wortel, ubi ungu, tomat, dan timun ke keranjang masing-masing. 

"Nih, minuman sama rotinya ya." Kiki datang membawa nampan berisi makanan. Lalu ikut duduk di sana. 

"Makasih, Ma." Ucap Nara. 

"Nara, yang kemarin itu beneran temen kamu?" Tanyanya kepo. Nara merasakan ada maksud lain.

"Iya, temen, Ma. Kenapa?"

Kiki menggeser duduknya menjadi lebih dekat ke Nara. 

"Ganteng tau. Kamu gak mau sama dia?"

Nara mengangguk semangat. "Maulah. Aku kan emang suka sama dia, Ma. Tapi dia udah punya pacar." Jujur Nara. Ia selalu berterus terang pada orang tuanya.

"Ya udah tungguin aja sampe Nak Raffa putus," usul Kiki. 

"Rencananya gitu, Ma. Bukan-"

"Heh bicarain apa. Gak ada pacar-pacaran ya, Ra." Firdaus yang sejak tadi menguping pun menyahut. 

Kiki cemberut. "Ih papa. Emang papa gak mau punya menantu seganteng Raffa?" 

Firdaus menyentil dahi istrinya. "Ya nggak sekarang juga. Jangan pacaran ya, Ra. Kamu harus fokus belajar dulu. Lulus kuliah baru boleh." 

Nara hanya terkekeh saja melihat itu semua. 

"Iya, Pa. Iya."

#

Turun dari angkot, Geovan jalan sebentar untuk sampai ke rumahnya. 

Tiin tinn! 

Dua motor berhenti di dekat Geo. Lantas memberi Geo kunci motor miliknya yang dipinjam tadi. 

"Noh, Ge. Thanks ya. Gue balik dulu, babay!" Ujar Aji sembari naik di motor temannya satu lagi. 

"Oy, setan. Bensinnya abis woy!" Teriakan Geo percuma saja, Aji sudah ngebut terlalu jauh. 

"Definisi temen laknat." Umpatnya. 

Kemudian, Geovan pulang ke rumahnya naik motor. 

Sampai di pekarangan rumah, Geo melihat tiga motor dan satu mobil terparkir di sana. Ia bisa menebak apa yang sedang terjadi di dalam rumahnya. 

Geo memasuki rumah. 

Benar saja dugaan Geo. Vano, abangnya sedang berpesta alkohol bersama empat orang temannya. Mereka semua sedang kumpul di ruang tamu. Rumahnya sekarang sudah seperti kapal pecah. Botol alkohol bertumpuk di meja, kulit kacang berserakan, beberapa bungkus jajanan ringan juga ada. Lengkap. 

Manusia-manusia yang ada di sana tertawa bersama, ada juga yang teler, tertidur di sofa. 

Hanya helaan napas yang keluar dari bibir Geo. Ia sudah lelah dengan kelakuan abangnya yang semena-mena. Berulang kali Geo memperingatkan jangan mabuk di rumah, namun cowok dua puluh empat tahun itu mengabaikan. Perkataan Geo hanya dianggap angin lalu saja. 

Di rumah seluas ini mereka hanya tinggal berdua. Mama Geovan sudah tiada, sementara papa Geovan tinggal bersama istri barunya yang ia nikahi dua tahun lalu. Meskipun begitu, dia masih mengirim uang jajan tiap bulan. Tinggal bersama Vano membuat Geovan sering sakit kepala. Terkadang Vano membawa cewek-cewek ke rumah. Entah apa saja yang mereka lakukan. Ia tidak habis pikir. Vano kadang memasang lampu disko ala-ala. 

Geovan masuk ke kamarp mandi dan berganti baju. Setelah ini, ia akan pergi keluar, tidak betah di rumah. 

"Rame gak, bang?" Geovan menelpon teman setongkrongannya.

"Belum rame. Dateng aja."

"Otw."

Cowok itu memakai jaket kulit warna hitam, lalu menyambar kunci motor. Dia melajukan motornya menuju base camp. 

Setiap hari Geo seperti ini. Terlalu malas berada di rumah. 

Sampai di sana, Geo bergabung bersama yang lain. Mereka adalah sekelompok geng motor, Black Bird namanya. Basecamp ini sengaja dibuat oleh ketuanya. Tempat ini bisa dibilang seperti rumah. Ada sofa, kulkas, tempat tidur, tivi, dan fasilitas lainnya. Geovan masuk ke geng ini sejak kelas tiga SMP. Anggota Black Bird rata-rata berusia di atas Geo. 

"Ge," sapa Fadil ketua Black Bird. Dia ikut duduk bersama Geo di bangku depan. 

"Yo, bang."

Fadil memberi Geo minuman kaleng. "Minum dulu. Biar lega."

Geo menerimanya. 

Fadil bukan orang yang seram, kecuali saat sedang bertarung. Cowok itu sangat ramah pada anak-anak buahnya. Gak heran kalau Geo sangat betah di sini. Fadil tahu masalah apa saja yang dihadapi setiap anggotanya. 

Tangan Geo mengambil sepuntung rokok, menjepitnya di mulut, lalu dibakarnya dengan korek. Ya, inilah Geo yang sebenarnya. Ketika di  luar sekolah, ia adalah pribadi yang serius, cuek, dan tak banyak basa basi. Berbeda ketika di sekolah karena itu semua hanya topeng saja. 

"Sekolah gimana? Aman?"

"Ya, gitu. Seru, sih. Udah kayak taman bermain. Haha."

Fadil mengangguk paham. 

"Anggota labby ngajak kita taruhan, satu lawan satu. Mau ikut gak lo?" 

Geovan mengembuskan napas yang disertai asap. "Boleh. Taruhannya apa?"

"Duit lima puluh juta. Gue yakin lo pasti mau. Kalo kita menang kan lumayan." 

"Gaslah. Ngikut aja gue mah." Ujarnya santai. 

Fadil tertawa sembari menepuk bahu Geo. "Masuk gih. Anak-anak lagi pada mabar."

#

Pukul lima sore, Geo melajukan motornya pulang ke rumah. Matahari sore menyilaukan mata, membuat Geo harus menyipitkan penglihatan. 

Mata Geo tidak sengaja melihat seorang cewek yang sepertinya dia kenali. Benar saja. Itu Erika. Erika di pinggir jalan dengan motornya yang berhenti. Geo berhenti di dekat Erika, lalu membuka helmnya. 

"Kak Erika?" Tanya Geo memastikan apakah benar itu Erika. 

Yang dipanggil menoleh. Erika terkejut. "Geo?"

"Kenapa motor lo, Kak?" 

"Bannya bocor. Gue kira kempes."

Tadi, Erika sedang dalam perjalanan pulang dari rumah pamannya. Cewek itu membawa gitar sang paman, demi latihan persiapan untuk praktek besok. Bisa dibilang Erika sangat totalitas. Ia berlatih nyanyi dan main gitar dengan giat. Semua itu dilakukannya demi nilai. 

Terlihat Geo yang tengah mengecek ban motor Erika. Lalu, cowok itu menelpon tukang bengkel langganannya. 

"Nanti gue share loc ya, bang.""

Oke, makasih."

Erika menaruh gitar di bangku yang kebetulan ada di pinggir jalan. Dia tidak menyangka akan bertemu Geo di luar sekolah. 

"Nanti tukang bengkel dateng benerin motor lo. Tunggu sebentar ya, Kak." 

"Eh, gue gak bawa duit."

"Gak masalah. Gue yang bayarin, kak."

"Makasih banyak ya."

Geovan mendorong motor besarnya ke pinggir. Erika juga ingin melakukan hal yang sama pada motornya, namun Geo dengan cepat memindahkan motor Erika. 

"Thanks, ya. Geovan." Erika tersenyum. 

Anggukan pelan Geo tunjukkan. Gak lama kemudian, tukang bengkel datang, langsung dia perbaiki. 

Geo berbincang sebentar dengan abang bengkel itu. Lalu berjalan ke arah Erika. 

Sambil menunggu motornya, kedua orang itu duduk di bangku. Suasana sangat canggung, dari tadi tidak ada yang membuka percakapan. 

"Lo dari mana?" Akhirnya, Erika memecahkan keheningan. 

"Nongkrong bareng temen."

"Ooh."

Hening lagi. Erika bertanya-tanya, apakah Geo yang sekarang di sampingnya ini adalah orang yang sama dengan Geo yang menyebalkan di sekolah? Entah kenapa Erika rasa mereka beda orang. 

Geovan yang ini tampak sangat serius, terlebih penampilannya semakin membuat Erika yakin bahwa mereka beda orang. 

"Kok jadi awkward gini. Perasaan di sekolah kita gak gini deh, Kak." Tutur Geo tiba-tiba. 

Erika memukul bahu Geo. "Idih, gue kira gue aja yang mikir gini. Vibes lo bikin gue serem tau."

"Serem apanya. Emang gue limbad. Emang gue deddy composer."

"Corbuzier."

"Loh, kok hapal? Cie ngefans ya..."

"Dih, ogah banget bro."

Lantas keduanya tertawa bersama. Mereka bercerita random selama beberapa menit. Geovan ternyata bisa bermain gitar. Dia memetik senar gitar dan Erika bernyanyi. Geovan bilang suara Erika cempreng tapi pas nyanyi bagus. Terakhir, Erika cerita kalau besok lusa mereka ada praktek menyanyi. 

"Udah, bro." Abang tukang bengkel berkata. 

Menyadari itu, Geo dan Erika bangkit berdiri. Setelah basa basi sebentar, mereka pulang ke arah rumah masing-masing. 

Erika naik motor sambil senyum dan tertawa sendiri. Bahkan sampai ke rumah pun masih begitu. Dia merebahkan dirinya di kasur, mengambil ponsel dan mengunjungi instargram, mencari profil Geovan di kolom pencarian. 

Ketemu. 

Akun Geo sepertinya tidak aktif lagi. Tidak ada postingan, tidak ada bio, foto profilnya juga kosong. Erika menghela napas kecewa. 

Jempol Erika memencet icon follow. Lalu mengirim pesan di dm. 

"Follback, jangan sombong." Begitu tulisnya. 

Semenit kemudian, ada notifikasi dan ternyata Geo memfollback. Erika kira akunnya udah gak aktif. 

"Udah. Kapan, sih gue sombong?"

Geo membalas pesan Erika. Cewek itu menahan untuk tidak berteriak kesenangan. 

Percakapan mereka di dm semakin seru. Sampai akhirnya, Geo meminta pindah ke whatsaap. 

Menurut Erika, Geo anaknya seru dan asik diajak bercanda. Berkali-kali Erika tertawa atas lelucon garing yang dilemparkan Geo. 

Edo, abang Erika membuka pintu kamar. Ia memakai sarung, mulut mengunyah, tangannya sedang memegang pisang yang tinggal setengah. 

"Apaan?" Ketus Erika. 

"Ngapain lo senyum-senyum gitu liat hape? Udah gila."

Erika melempar bantal tepat sasaran ke target. "Kepo banget. Sana!"

Edo selalu datang ke kamar Erika, berdiri di ambang pintu tanpa tujuan. Membuat Erika kesal sendiri dibuatnya. 

Bahu Edo terangkat acuh. Dia pergi begitu saja tanpa menutup pintu lagi kamar. 

"Ih! Rese banget, sih. Apa susahnya tutup pintu!" 

Erika mencak-mencak meluapkan kekesalan. 

"GANGGU AJA!"

#

Hari Selasa. H-1 sebelum praktek menyanyi. Rencananya besok Rabu dikosongin satu hari full khusus untuk pelajaran bahasa inggris. Ya, jelas siswanya aja tiga puluh orang. 

Bel masuk belum berbunyi. Tetapi semua siswa kelas Nara sudah masuk ke dalam. 

"Gimana persiapan lo buat besok?" Tanya Erika. 

Nara menempelkan dagunya di atas meja. "Yang jelas gue deg-degan sekarang."

"Santai. Lo udah bisa kok. Pokoknya anggap aja gak ada yang nonton. Pas main piano nih lo fokus aja, jangan pandang penonton. Oke." Saran Erika. 

"Bismillah aja." 

"Nara. Ada yang panggil." Fira datang ke meja Nara. 

Nara mengerutkan keningnya. "Hah? Siapa?" 

"Katanya sih nama dia Geovan. Cepetan." Lantas, Fira berlalu. 

"Geo? Ngapain tuh anak ke sini?" Erika bertanya. Mata Erika menangkap sosok Geo yang sedang bersandar di tembok. 

"Bentar ya, Er."

Nara menghampiri Geo. 

"Ngapain lo nyari gue?" Ketus Nara. 

"Jangan galak-galak, dong. Gue mau minjem pulpen doang, hehe. Boleh kan?" Alis Geo naik turun. 

Nara menggaruk kepalanya. "Kurang kerjaan banget. Emangnya temen lo gak punya pulpen lebih apa?"

"Nggak punya, Kak. Makanya gue kemari."

Nara menghela napas, lelah dengan tingkah Geo yang susah ditebak. Cewek itu mengeluarkan pulpen di saku seragam, lantas memberikannya pada Geo. 

"Nih. Dah, sana pergi." Usir Nara. Ia masuk ke dalam tanpa berkata lagi. 

Geo menyengir lebar ketika menyadari Erika memandangnya dengan wajah datar sejak tadi. Dia langsung pergi dari sana. 

"Er, ke gedung kelas dua belas itu butuh effort loh. Emangnya dari sekian banyak siswa di gedung kelas sebelas gak ada yang punya pulpen banyak? Mesti gitu ke sini. Aneh tuh orang." Gerutu Nara. 

Erika menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dia emang aneh, Na."

"Kemarin, dia naik angkot bareng gue. Tiba-tiba muncul entah dari mana. Gak jelas emang si Geo." 

Perkataan Nara membuat Erika termenung lama. Sebenarnya, apa tujuan Geo melakukan itu semua? Erika rasa Geo menyukai Nara. Meskipun Geo mengatakan hal itu kemarin dengan main-main, mungkin saja dia serius saat bilang dia suka ke Nara. 

#

Nara dan Erika sedang makan di kantin. Nara bilang dia sedang ngidam nasi padang. Jadilah dia makan nasi padang, dan tak lupa menggunakan tangan biar lebih nikmat katanya. 

Tak lama kemudian, Geo datang bersama Aji seraya membawa makanan. Nara memutar bola matanya malas. Erika tertegun. 

"Ini pulpennya, Kak. Makasiiiiih." Geo meletakkan pulpen hitam itu di hadapan Nara. 

"Modus." 

Celetukan Aji membuat Erika berhenti memakan baksonya. Mendadak selera makannya hilang. Untuk sekarang Erika menelan saliva aja rasanya susah sekali. 

Geovan dan Aji melawak tak tentu arah. Sampai-sampai Geovan tertelan permen, ia tersedak. 

Cepat-cepat Erika memberikan minum, Geo pun meneguknya sampai habis. 

"Makanya jangan pecicilan." Nara berkomentar. 

"Au dah, kek cacing kedinginan." Aji menambahkan. 

"Kepanasan!" Seru mereka serentak. 

#

Pelajaran matematika. Masing-masing siswa harus menjawab soal di papan tulis kalau mau cepet istirahat kedua. Yang bisa jawab boleh keluar, yang gak bisa jawab harus tetap di kelas sampai bel berbunyi. 

Mereka dipanggil sesuai absen. Erika sudah duluan keluar dan menunggu Nara di depan kelas. Sebentar lagi giliran Nara. Semoga saja ia bisa menjawabnya. 

"Nara Amanda."

"Fuuh. Bisa yuk bisa." Bisiknya pada diri sendiri. 

Dan... Yap. Nara bisa mengerjakannya. Untung saja soal ini pernah Erika ajarkan. 

"Yey!"

Erika dan Nara berpegangan tangan sambil melompat lompat kegirangan. Sampai tidak sadar Nara menabrak seseorang. 

"Eh."

"Liat-liat dong." 

Itu Kevin, teman sekelas Nara. Kebetulan Nara gak pernah berinteraksi dengan dia. Anaknya dingin dan cuek. Kevin termasuk salah satu cogan incaran yang berasal dari kelas Nara. Cowok itu masuk tim futsal, makanya banyak digilai cewek. 

"Iya, maaf ya." Ucap Nara menyesal. Dia mundur beberapa langkah, mempersilakan Kevin lewat. 

"Dih, sok edgy banget." Bisik Erika setelah Kevin pergi. Muka julidnya ketara sekali. 

"Huss."

#

Dua sahabat itu shalat zuhur di mesjid. Bagai de javu, Nara kembali melihat punggung Raffa, di tempat yang sama ketika pertama kali Nara melihat dia. 

Nara memakai sepatunya, Erika juga. 

"Nara, kemarin ban motor gue bocor di tengah jalan. Terus Geo dateng manggil orang buat perbaikin." 

"Oh ya? Kok lo baru cerita, Er."

"Belum selesai. Nah, dia bilang gak usah bayar kan. Dan lo tau gak apa yang bikin kaget?"

"Apa?"

"Dia kek beda orang, Na. Penampilan dia kayak anak geng motor gitu. Pake jaket kulit warna item terus naik motor gede. Gue juga ngehirup bau asap rokok di deket dia. Asli gue jadi serem pas pertama kali liat Geo yang gitu." Jelas Erika panjang. 

Nara memicingkan mata curiga. "Kok bisa lo inget sedetail itu? Hayo. Oh, gue paham sekarang. Jangan-jangan...." Tangannya mencolek dagu Erika. 

"Apaan?" Erika berdiri. 

"Lo suka sama Geo ya? Cieee." Goda Nara, membuat wajah Erika jadi merah menahan malu. 

"Sssttt. Nara, lo mah nyebar hoax, ih." 

"Hahaha. Enggak ada yang denger kali, santuy." 

Saat berjalan keluar pekarangan mesjid, Nara melihat Raffa lagi. Cowok itu bersama ketiga temannya, Bintang, Rizki, dan Dendi. 

Sejujurnya Nara merindukan Raffa. Terakhir mereka ketemu kemarin sewaktu hujan di hari Minggu. Sejak saat itu, dia gak melihat Raffa lagi. 

#

Hari ini tim basket gak latihan. Jadi Raffa bisa langsung pulang ke rumah. Saat ini dia sedang membonceng Thalia, jalan-jalan sebentar ke mall. 

Mereka menghabiskan waktu dengan menonton film di bioskop, bermain capit boneka yang sayangnya gak dapat, main permainan basket, belanja baju untuk Thalia, dan makan ayam goreng. Tak lupa, Raffa membelikannya juga untuk Vio, anak itu pasti suka. 

"Udah? Kemana lagi kita?" Tanya Raffa lembut. 

Thalia menggandeng lengan Raffa. "Ayok pulang, aku udah capek banget, Yang."

Raffa menurutinya.

Pukul empat sore, Raffa dan Thalia pulang. 

"Yang, bensinnya abis ternyata." Ujar Raffa dibalik helmnya. 

"Kok bisa?"

"Udah sekarat ini."

"Jadi gimana dong?"

"Tuh. Mogok."

Motor Raffa jalannya jadi tersendat-sendat, gak lama kemudian berhenti total di pinggir jalan. 

Raffa menyuruh Thalia turun, ia mengecek motornya. "Abis beneran, Yang."

Thalia mengerucutkan bibir, kesal. "Di sini gak ada tukang jualan bensin lagi."

"Jalan kita."

"Hah? Jalan?" Thalia melepas helm. 

Anggukan pelan Raffa berikan. "Iya. Yuk. Aku aja yang dorong, kamu gak usah. Di perempatan jalan sana seingatku ada jual bensin." 

"Ya udah." Helm yang ada di tangan Thalia, cewek itu sangkutkan di motor. 

Raffa melepas helm. Lantas mulai mendorong motornya. Thalia mengekori dari belakang. Sebal tapi dia gak bisa marah. 

Sekitar lima belas menit berjalan, Thalia mengeluh lelah. "Capek, Raffa."

"Sebentar lagi, Lia. Itu udah deket." Tunjuknya ke arah depan. 

Kaki Thalia menghentak kesal. Ia menyapu keringat di dahinya. 

"Udahlah. Aku pulang duluan ya, naik grab. Capek banget, Yang." Rengek Thalia. 

Raffa mengerutkan kening. "Kamu kok gitu. Kamu tega ninggalin aku sendirian?"

"Itu kan salah kamu sendiri. Kenapa gak dicek dulu sebelum jalan? Kan gini jadinya."

Bungkusan belanjaan miliknya, Thalia ambil. Lalu memesan grab melalui ponselnya. Ia mengabaikan perkataan Raffa. 

"Yang." Raffa berusaha meraih tangan Thalia, namun dengan cepat gadis itu tepis. 

"Thalia."

"Raffa, please. Ngertiin aku dong, aku capek jalan. Kaki aku pegel. Terus panas pula. Matahari sore ini nyengat banget."

Raffa gak habis pikir dengan perkataan Thalia. 

Selang beberapa menit, grab yang dipesan Thalia pun datang. Cewek itu masuk ke mobil, meninggalkan Raffa sendirian di tengah jalan. 

"Bener-bener ya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status