Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga.
Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja.
Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh.
Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
"Pak kiri, Pak!"Angkot hitam itu segera menepi setelah mendengar instruksi seorang penumpangnya. Cewek dengan seragam putih abu-abunya itu turun dan memberikan selembar uang lima ribu pada supir."Makasih ya, Pak!""Yo!"Hari ini adalah hari pertama Nara Amanda duduk di kelas dua belas. Dia sangat senang menjadi kakak kelas paling tua di SMA Harapan Abadi. Libur semester kemarin membuat dia merindukan teman-temannya.Saking senangnya. Nara tak memperhatikan jalan. Sampai-sampai ada mobil yang menyipratkan genangan air sisa hujan semalam. Alhasil, seragam Nara basah dan kotor."Heh! Sopan gak langsung kabur kayak gitu!?" Teriaknya kesal. Orang-orang di sekitar sana memperhatikannya. Tak sedikit yang menahan tawa. Rasanya Nara ingin menangis saat itu juga."Gimana dong ini? Masa iya gue harus pulang ke rumah."Ia tidak punya ide. Sayang sekali. Padahal sedikit lagi sampai gerbang. Dan 7 menit lagi a
Selesai berganti baju ke seragam putih abu-abu milik teman Raffa, Nara bersama Erika kembali ke lapangan untuk membantu teman yang lain membereskan peralatan olahraga. Tanggungjawab bersama.Alat-alat seperti bola sepak, bola basket, bola voli, raket badminton, kock, tali skipping harus tersusun rapi di dalam gudang penyimpanan.Yang lain sudah selesai. Nara dan Erika terakhir datang, makanya mereka jadi yang paling terakhir.Nara meletakkan satu bola voli yang tersisa, namun bola tersebut ternyata menggelinding dari tempatnya. Hingga saat Nara mengejarnya, bola itu sampai di kaki seseorang yang tak Nara harapkan.Raffa.Entah mengapa rasanya hari ini semesta seakan sengaja mempertemukan mereka.Nara menatap Raffa lamat-lamat. Bingung harus berbuat apa."Bolanya gue ambil." Ujarnya seraya memeluk bola itu."Eoh? O-oke-" Nara mengangguk kaku. Detik itu juga Nara pergi keluar gudang, meny
Esok paginya di sekolah, Nara disambut kegaduhan. Jalannya menuju kelas jadi terhambat karena kerumunan siswa menghalangi jalan di koridor kelas dua belas."Demi Tuhan, ini masih pagi." Gerutunya sambil berusaha bertahan.Desak-desakan membuat tubuh kurusnya terombang ambing.Menyerah. Nara berjalan mundur ke belakang. Napasnya pengap seketika.Nara tidak tahu apa yang sedang terjadi di pusat kerumunan. Tubuh siswa siswi di sini menghalanginya. Hanya suara keributan yang dapat dia dengar.Mata Nara melihat sekeliling. Dia menemukan kursi kosong di balik pintu kelas IPA. Diambilnya kursi itu lalu naik ke atasnya. Kini, tubuhnya lebih tinggi dari siapa pun.Terlihat seorang cewek menarik rambut Tasya-anak IPA kelas dua belas. Fathur, sepupunya Tasya berusaha menenangkan anak cewek yang diketahui kelas sepuluh.Beberapa siswi di sana juga berusaha menengahi adik kelas yang seperti kesetanan itu.&
"Woi neduh dulu baju lo basah semua itu."Jantung Nara kembali heboh. Ia tahu itu suara Raffa. Dirinya tak menyangka Raffa akan menarik lengan bajunya lalu menyeret Nara seperti anak kucing."Engga ah gue mau langsung pulang." Nara melepaskannya. Sadar sedang diperhatikan keempat cowok itu, Nara menahan malu.Nara dan Raffa berhadapan dan bertatapan cukup lama."Keras kepala." Celetuk Raffa.Masa bodoh dengan ketiga temannya Raffa, ia berlari pergi begitu saja meninggalkan mereka.#Besoknya Nara demam, hari ini ia izin masuk sekolah.Kemarin, pulang sekolah Kiki mengomelinya habis-habisan. Benar yang dibilang mamanya, Nara sakit hari ini. Badannya panas disertai flu.Seharian ini dirinya cuma berbaring di kasur, tidur, makan, main handphone, tidur lagi. Begitu seterusnya sampai keesokan harinya, panasnya turun. Nara memutuskan masuk sekolah meski memb
"Loh ini siapa? Kok muka kalian pada luka gitu?Sini masuk nak masuk."Kiki membantu Nara yang kesusahan berjalan karena betisnya sakit ditendang. Ia juga mempersilakan Raffa duduk di sofa."Kalian tunggu di sini dulu ya. Mama bawa kompres dan obat-obatan lainnya." Kiki panik, dia berlari cepat ke dapur."Papa anaknya ini lukaaa."Firdaus buru-buru keluar dari kamarnya. "Ya ampun. Kok bisa gini, Ra? Ini temennya juga lebam gitu."Nara menceritakan kronologinya. Kedua orang tua Nara terkejut.Nara dan Raffa duduk bersebelahan di sofa yang sama."Sini sini Mama obatin. Nama kamu siapa nak? Temennya Nara ya?" Tanya Kiki sembari menyiapkan kompres handuk pakai air hangat.Gadis itu membuka balutan hoodie di tangan Raffa. "Ma, Pa. Luka Raffa harus cepet diobatin nanti infeksi.""Ya Allah. Pa, papa obatin Nak Raffa. Mama ngurusin Nara ya. Sana cepetan!" Perintah Kiki."Iya
"Ma, Nara jogging ya ma. Boleh ya?""Gak usah. Di rumah aja. Nanti kamu kehujanan." Timpal Kiki yang sedang mencuci piring.Nara meletakkan kepalanya di atas meja makan. "Papa aja ngizinin masa mama enggak."Masih pukul tujuh pagi, Nara membujuk Kiki. Ia ingin pergi jogging di pagi ini. Tetapi, Tata melarangnya dengan alasan cuaca sedang mendung. Nara sudah bilang kalo mendungnya palingan cuma sebentar, nanti matahari pasti terbit lebih cerah. Tetap saja mamanya itu kekeuh. Sifat keras kepala Nara memang turunan dari Ibunya."Ya udah cuci dulu sepatu kamu, tuh. Baru boleh pergi.""Udah dicuci, Ma. Kemarin pulang sekolah langsung Nara cuci."
Pulang sekolah, selesai makan Nara membantu Papanya membersihkan ubi ungu dari tanah yang menempel. Di belakang rumah Nara, ada gubuk khusus yang dibuat Firdaus. Biasanya tempat itu digunakan untuk keperluan hasil kebun.Nara memakai kaos oblong warna biru dan celana panjang hitam. Keringat membasahi baju. Tangannya dengan sigap merontokkan tanah di ubi dengan sikat.Firdaus juga di sana. Dia sedang memisahkan wortel, ubi ungu, tomat, dan timun ke keranjang masing-masing."Nih, minuman sama rotinya ya." Kiki datang membawa nampan berisi makanan. Lalu ikut duduk di sana."Makasih, Ma." Ucap Nara."Nara, yang kemarin itu beneran temen kamu?" Tanyanya kepo. Nara merasakan ada maksud lain."Iya, temen, Ma. Kenapa?"Kiki menggeser duduknya menjadi lebih dekat ke Nara."Ganteng tau. Kamu gak mau sama dia?"Nara mengangguk semangat. "Maulah. Aku kan emang suka sama dia, Ma. Tapi dia udah puny