Share

Unjuk Diri

Nara sedang menemani Papanya mengantar hasil kebun dengan menggunakan mobil maxim, untuk diantar ke penjual buah yang sudah memesan. Mobil ini hanya pinjaman dari sahabatnya Firdaus. 

"Wih seger-seger ya, Daus." Puji Pak Toni, si pembeli yang seumuran dengan Firdaus. 

"Yo jelas. Baru semua ini boss." Firdaus menanggapi. 

Nara membantu mereka menurunkan buah-buahan dan sayuran ke tempat yang disediakan. 

"Dek Nara, sehat?" Tegur Hesti, istri Pak Toni. 

"Alhamdulillah, Bu sehat." Nara menyunggingkan senyum. 

Ya, suami istri itu memang langganan Firdaus. Nara sudah mengenal mereka karena dia sering menemani Papanya. 

Selesai. 

Firdaus berbincang sebentar dengan Pak Toni. Nara memutuskan kembali ke mobil. Saat Nara baru saja akan membuka pintu mobil, ia  mendengar teriakan dari arah kiri. 

"COPET!"

"COPET!"

"TOLONG ADA  COPET!"

Seorang Ibu-ibu berteriak. Pencopet tersebut berlari sembari membawa dompet. Dan kebetulan dia akan berlari melewati Nara. 

Grep. 

Dengan cekatan Nara berhasil menarik kaos si pencopet sampai tubuh pria itu termundur ke belakang. 

"Mampus. Kena lo!"

"Apasih lo cewek gak jelas."

Entah bagaimana caranya, Nara bisa memegang kedua tangan pria itu ke belakang. Menjepitnya hingga berbunyi "klek". Nyaris terkilir. 

"Aduh aduh. Tangan gue." Rintihnya kesakitan. 

Firdaus datang menghampiri, dia mencekik leher pria itu di antara sikunya. 

"Gimana? Enak?" Tanya Firdaus. 

Nara berancang-ancang akan menendang kaki si pencopet. 

Bugh! 

"Aakkh-"

Kemudian, beberapa warga sekitar datang beramai-ramai. Membawa copet itu ke kantor polisi. 

Nara mengambil dompet hitam yang terletak di tanah. Lalu memberikannya pada seorang Ibu-ibu yang bisa Nara tebak sangat sosialita. 

"Makasih ya, dek. Kalo gak ada kamu saya gak tau lagi deh."

"Sama-sama, bu. Ibu gak papa, kan?"

Ibu itu mengangguk. Menurut Nara, beliau masih cantik meskipun sudah ada sedikit kerutan di wajahnya. 

#

Rabu. 

Hari yang ditunggu pun tiba. 

Hari di mana jantung Nara berdebar selain karena Raffa penyebabnya. 

Sepanjang berjalan di koridor Nara tidak sengaja menabrak orang beberapa kali. Efek terlalu deg-degan. Ia meremas tangan yang dingin. Sejak dari rumah Nara gugup gak karuan. Dia gugup bukan karena disuruh bernyanyi, tapi tampil di depan. 

Sampai di ruang musik, Nara mencari keberadaan Erika. Ah iya, para siswa diperintahkan langsung ke ruang musik. 

Di dalam sana sudah disediakan kursi untuk para siswa duduk. Jika kalian bingung, posisinya itu seperti panggung dan di depannya ada tersusun kursi untuk penonton, yang mana siswa kelas Nara sendiri. Nah, di sebelah kanan dekat penonton ada meja khusus untuk Bu Dwi. 

"Erika!"

Erika melambaikan tangan. "Sini!"

Nara menghampiri Erika yang sudah duduk di bangku paling depan, cewek itu sedang berlatih main gitar. 

"Ingat nomor absen masing-masing ya, Na. Jangan bengong." 

"Iya iya."

"Liat, Er. Gue tremor, gila." Nara menunjukkan tangannya yang gemetar. 

"Calm down, girl. Absen lo masih jauh."

Nara menetralkan napas, menarik, menahan, dan mengembuskannya. 

Acara pun dimulai. 

Absen pertama dari huruf A. 

"Anna Syahputri." Panggil Bu Dwi. 

Anna naik ke atas panggung. Senyuman tidak lepas dari wajahnya. 

"Anna, mau nyanyi lagu apa?" Tanya Bu Dwi, ia memakai microfon agar suaranya terdengar seruangan. 

"Perfect dari Ed Sheeran." Kata gadis itu sembari berdiri di tengah panggung. Ia tidak bermain alat musik apapun. 

Anna mulai bernyanyi. 

Semuanya tidak menyangka bahwa Anna memiliki suara yang merdu. 

Di tempat duduknya, Nara terus menenangkan diri. Melihat Anna yang terlihat percaya diri membuatnya tidak yakin pada diri sendiri. Memang, ia pandai menyanyi tapi Nara takut ketika sudah sampai di atas panggung dan ditonton semua orang, bisa saja konsetrasi menyanyinya buyar seketika. 

Anna selesai bernyanyi. Semua bertepuk tangan untuknya. 

"Santai aja. Absen lo masih jauh," bisik Erika tiba-tiba. 

Nara mengangguk paham. 

Waktu terasa sangat cepat. Kini, giliran Erika yang tampil. Nara menyemangatinya dari bangku penonton, Erika melihat itu kemudian tersenyum. 

"Mau nyanyi lagu apa?"

"At my worst dari Pink Sweets."

Erika mulai memetik senar gitar, satu bait lagu ia nyanyikan. 

Damn. 

Nara salut pada Erika. Ketekunan ia dalam belajar gitar sungguh patut diapresiasi. Suaranya bagus meskipun ketika berbicara Erika terdengar cempreng. 

Erika sangat rileks dan tenang. Senyumnya merekah. Tidak ada gelagat panik, takut, dan cemas. 

Tepuk tangan menggema di ruangan itu ketika Erika menyelesaikan lagunya. Erika turun, menghampiri Nara dengan semangat yang membara. 

"Erika, lo berhasil!"

"Ya ampun akhirnya kelar juga. Lega gue." 

"Bagus, Er pernampilan lo."

"Gue harap lo juga berhasil."

Siswa satu persatu dipanggil. Sebentar lagi giliran Nara. Jantungnya sudah berdetak gak karuan. Tak hentinya dia terus merapalkan doa. 

"Nara Amanda."

Nara melangkah dengan kaki gemetar seperti jeli. 

"Semangat, Nara!" Teriak Erika di bangku penonton. 

Nara menduduki dirinya di kursi piano. Kini, seluruh pasang mata tertuju ke arahnya. Untuk kali ini, Nara berusaha fokus menyanyi saja, tak ingin menatap penonton. Ia tahu, meskipun mereka adalah teman-teman sekelas sendiri, tetap saja rasanya sulit. 

"Nara mau nyanyi lagu apa?"

"Love Story dari Taylor Swift."

"Oke, go."

Hembusan napas berulang kali Nara keluarkan. Kemudian, jari cewek itu mulai menekan tuts piano, menghasilkan alunan nada yang merdu. Ia pun bernyanyi. 

Segerombolan anak basket tidak sengaja melewati ruang musik. Ketika rombongannya sudah berlalu, Raffa membuka pintu sedikit, mengintip apa yang sedang terjadi di dalam sana. Matanya otomatis terarah ke panggung, melihat Nara sedang bermain piano dan... Bernyanyi. 

Raffa tidak melepaskan padangannya ke Nara. Ia terkejut, suara Nara sangat merdu, alunan nada piano yang dimainkannya pun sangat luar  biasa. Membuat suasana di sana sangat hening, benar-benar cuma fokus ke Nara.

Sebelumnya, Raffa gak pernah sekalipun suka dengan acara musik. Tapi kali ini, penampilan Nara sukses membuat Raffa mematung. Suara bising dari siswa lain sama sekali tidak masuk ke gendang telinganya, Raffa terpaku beberapa saat. Raffa ingin cewek yang ada di atas panggung sana tahu bahwa dirinya layak mendapat apresiasi lebih dari orang-orang. 

Nara selesai bernyanyi. Semua bertepuk tangan. 

Dengan cepat Raffa keluar dan menutup pintu. Lantas berlari menyusul temannya. 

"Apa gue bilang? Lo bisa, Na."

Tangan Nara meremas seragam. Gugup. Ia duduk dan langsung memeluk Erika. 

"Thanks ya, Er. Udah support gue."

"Iya, sama-sama. Yang jelas lo keren sumpah. Ini satu ruangan kek cuma fokus ke lo doang. Oh iya, lu ga tau kan ekspresi Bu Dwi tadi takjub liat lo." Erika melepas pelukan. 

"Untung aja gak ada kepeleset nih lidah." 

"Nara gue gak nyangka suara lo bagus woi." Ujar Sisil yang duduk di sebelah Erika. 

"Bener. Gue juga gak nyangka lo bisa main piano. Buset kalo gue pinter main piano udah gue pamerin ke orang-orang tau gak." Itu suara Tuti. 

Nara hanya tersenyum malu. "Makasih ya semua."

#

Pukul dua belas pas, anak kelas Nara diperbolehkan makan siang terlebih dahulu. Sisa sepuluh siswa yang belum tampil. Nanti setelah istirahat akan dilanjutkan. Sepertinya hari ini mereka bisa pulang ke rumah lebih cepat dari kelas lain. 

Nara dan Erika tengah menyantap makanan kantin. 

Seisi kantin sepi, jam istirahat kedua belum dimulai. Hanya ada beberapa siswa itupun dari kelas Nara. Karena mereka telat istirahat. 

"Enak gak mie ayamnya?" Tanya Nara. 

Erika mengangguk. "Banget, cuy."

"Akhir-akhir ini gue alergi makan ayam. Selalu gatel-gatel gitu."

"Tapi kemarin yang waktu kita makan ayam mekdi lo gak papa, kan?"

"Dulu mah enggak. Ini baru-baru aja. Kayaknya udah saatnya gue makan makanan sehat, deh."

"Harus itu. Lo ga doyan sayur kan. Banyakin makan sayur sama buah. Bokap lo punya kebun buah dan sayur tapi anaknya malah gak doyan."

Nara tertawa receh. "Gue usahain."

Beberapa menit kemudian, Nara melihat Raffa bersama ketiga temannya memasuki kantin. Mereka mencari tempat kosong. 

Jantung Nara kembali berulah. Ia berhenti memakan corndog. 

Erika sadar akan situasi yang terjadi. Tangannya menyikut Nara yang salah tingkah. 

"Na, mas crush lo, tuh." Goda Erika. 

Mata Nara memelototi Erika. "Ya Allah pacar orang, Er."

"Becanda. Haha."

"Lo pernah bilang ke gue kalo gue harus tau batas. Tapi sekarang lo malah godain gue. Gimana ceritanya."

"Ih. Becanda doang."

Nara meneguk air putihnya. "Gue sadar gue gak tau diri. Beberapa hari belakangan ini, Tuhan kayak sengaja pertemuin gue dan dia."

Erika memegang bahu Nara. "Denger ya. Terkadang kita dipertemukan dengan seseorang bukan tanpa sebab. Dan.. Ya, bertemu bukan berarti lo udah pasti jodohnya dia."

"Er, kata-kata lo menusuk. Tapi fakta."

Raffa yang sedang memesan makanan langsung menyadari keberadaan Nara di sana. Tampak cewek itu sedang asyik mengobrol dengan Erika. Sebuah ide terlintas di otaknya. 

"Oi, duduk di sana aja." Telunjuk Raffa mengarah ke meja Nara dan Erika. 

"Maksudnya sama dua cewek itu?" Tanya Dendi. 

"Iya. Kenapa? Salah?" 

"Ya enggak. Yang gak pernah-pernah aja lo duduk sama cewek lain selain Thalia." Ucap Rizki. 

Raffa berjalan menuju meja Nara. Diikuti ketiga temannya di belakang. 

"Mampus! Dia jalan ke sini, Er?"

"Kayaknya, deh. Persiapin diri lo biar gak kebablasan, Na. Haha."

"Lo mah ngeselin." Nara menyenggol Erika. 

Tanpa aba-aba, Raffa, Rizki, Dendi, dan Bintang menarik kursi dan duduk satu meja dengan Nara dan Erika. Jadi sekarang posisinya, Nara dan Erika duduk bersebelahan. Nah, Raffa duduk berhadapan dengan Nara. Sementara itu, Dendi, Rizki, dan Bintang duduk sejajar dengan Raffa. Singkatnya, dua cewek sedang duduk berhadapan dengan empat cowok. 

"Hai," sapa Bintang. Cowok itu memang terkenal ramah. 

"Ngapain duduk di sini, Raffa?" Nara bertanya dengan wajah serius. 

Raffa tersenyum jail. "Kasian liat kalian berdua doang. Mending kita ikut gabung." 

"Baik, kan kita?" Tanya Bintang. 

Dendi dan Rizki membuka ponsel, Dendi mulai bermain game sementara Rizki menghubungi pacarnya. 

Bintang menyadari sesuatu. "Eh, bentar. Guys, gue keknya pernah liat lo, deh. Tapi di mana ya?" Telunjuknya mengarah ke Nara. 

"Gue?" Nara menunjuk dirinya sendiri. 

"Salah liat kali." Celetuk Erika. 

Rizki menatap Nara dengan seksama. "Lah lo yang ujan-ujanan kemarin, kan? Yang di kedai itu." 

Nada bicaranya seperti meledek. Membuat Nara malu, ingin rasanya dia lari dan menyembunyikan wajahnya ke dalam loker. 

"Udah ah gak usah diinget gak penting." Nara mengibas tangannya di udara. 

Bintang tertawa. "Haha iye bener. By the way baswey, nama kalian siapa?"

"Nara."

"Erika."

"Kelas berapa?" Bintang bertanya lagi. 

"Ngapain, sih. Mau interview kerja lo?" Ketus Erika. 

"Jangan galak-galak dong. Kan sayah jadih takudh." Bintang melawak. 

Erika melempar tissue ke Bintang. 

"Ra, sumpah penampilan lu tadi keren banget." Raffa berbicara sembari jari-jarinya menekan meja, seakan sedang mempraktekkan main piano. 

Nara bingung kapan cowok itu melihatnya? Setahu Nara pintu ruang musik tertutup, di dalam ruangan pun hanya ada anak kelasnya. 

"Lo.. Liat?"

"Gua ngintip bentar tadi."

"Buat apa?"

"Suara lu bagus ternyata."

Deg. 

Ingin rasanya Nara salto sekarang juga, namun itu tidak mungkin. Harga dirinya jauh lebih berharga. Raffa pikir muji begitu membuatnya berdebar? Ya jelaslah. Banget. 

"Thanks." Kata Nara cuek, agar tidak terlalu ketara saltingnya.

"Banyak juga bakat terpendam lu."

"Ih, udahlah. Berhenti muji gue."

"Tapi muka lu serius banget. Kek gini, nih." Raffa mencontohkan ekspresi Nara saat itu. 

"Ngeselin ya, lo."

Kedua tangan Nara meninju Raffa, membuat cowok itu menutupi tangannya demi berlindung diri. Tak lupa tawa khasnya menyembur. Suara tawa, cuma Raffa yang punya. 

Rizki, Erika, Dendi, dan Bintang mendadak awkward dengan situasi ini. Mereka semua terheran menyaksikan kedekatan Raffa dan Nara sekaligus tidak pernah menyangka jika kedua orang itu sudah sedekat ini. 

Dendi berdehem pelan. " He'em em em."

Bintang berpura-pura batuk. 

"Batuk Pak Haji?" Rizki menambahkan. 

Erika mengibaskan tangannya seakan sedang kepanasan. "Haduh, gue mencium bau-bau kecanggungan di sini."

Dua orang yang sedang asyik berdua itu langsung diam. 

Gak lama kemudian, makanan keempat cowok itu datang. Mereka mulai menyantap makanan masing-masing. 

"Serius, kalian kelas mana?" Rizki yang bersuara. 

"Dua belas IPS lima." Sahut Erika. Ia selesai menghabiskan semangkuk mie ayam. 

"Hampir tiga taun gue sekolah di sini gue gak pernah liat muka kalian." Papar Bintang. 

"I know right! Gua juga bilang hal yang sama kemarin." Canda Raffa. 

Erika mencibir, "shombong amat." Muka julidnya langsung on. 

"Iyalah jelas. Kami berdua bukan most wanted girl in this school. Juga bukan cewek yang pantes dikenal banyak orang. Beda sama kalian yang anak basket populer, incaran anak cewek." Nara berkomentar. 

"Ih, engga bermaksud gitu." Bintang mengecilkan suaranya, ia gak bermaksud menyinggung. 

"Iya iya paham."

Setelahnya, keenam orang itu masih melempar candaan ke satu sama lain. Tanpa  disadari ada seseorang yang merekam kebersamaan mereka. 

#

Raffa baru saja mengantar Thalia ke depan pintu gerbang. Kali ini cewek itu dijemput pak supir suruhan Papa Thalia. 

Setelah itu, Raffa membawa tasnya ke dalam ruang ekskul basket, tempat berkumpulnya anggota basket. Hari ini mereka kedatangan pelatih baru dari luar kota. 

Sambil menunggu semuanya datang, Raffa berbaring di lantai yang dingin, tas ransel itu dia jadikan sebagai bantal. Raffa membuka ponsel. 

"Bro!" 

Rizki datang dan ikut berbaring di lantai. 

"Gimana kabar, Vio?" Geng Raffa mengenal Vio. Raffa kadang membawa Vio ikut nongkrong. 

"Baik, alhamdulillah."

"Pa, kapan kita bisa main ke rumah lo lagi? Udah lama gak ke sana. Gue kangen main PS 5 punya lo."

"Ntar kapan-kapan. Kalo situasi udah kondusif." 

"Okelah." 

Rizki tidak ingin bertanya lagi. Dia paham itu adalah privasi keluarga Raffa. Bintang dan Dendi juga memahami. Tidak ingin  bertanya kecuali kalau Raffa yang cerita sendiri. 

#

Pukul lima sore, Raffa membelah jalanan Jakarta dengan motornya. Tadi, ia sempat membeli ciki untuk Vio. 

Sampai di depan pintu rumah, Raffa mengintip lewat jendela. Pemandangan yang sangat dibencinya. Terlihat Tata sedang bermesraan dengan pacarnya, Vio datang ingin memeluk Mamanya. Namun, Vio malah dihempas kasar oleh Tata. Mbak Sri menggendong Vio, membawa anak itu masuk ke kamar. Vio berteriak, menangis memanggil Mamanya. 

Rahang Raffa mengeras, tangannya mengepal kuat. Raffa membuka pintu dengan kasar. Ia menaruh ciki yang dibelinya di atas laci. 

Kedua orang itu kaget bukan main. 

"Raffa! Ngagetin tau gak." Ucap Tata cerewet. 

"Ganggu aja nih bocah." Sahut Pacar Tata. 

Napas Raffa memburu menahan amarah. 

"Vio itu anak Mama! Kenapa Mama tega kayak gitu?" 

Tata berdiri, wajahnya mengerut tak suka. "Kamu ini gak sopan ya sama orang tua. Didikan papa kamu nih pasti."

Kesal, Raffa melempar tasnya ke hadapan Tata dengan kasar. 

Kedua orang itu kaget dengan apa yang dilakukan. 

"Sadar gak sih ini masih rumah kita, Ma. Rumah keluarga kita! NGAPAIN KALIAN HARUS PACARAN DI SINI!" Raffa berteriak. 

"Lu juga." Raffa menarik kerah pacar Tata. "Tau diri dong, bangsat! Ini rumah keluarga gua, setan!" 

Bugh! 

Tangan Raffa meninju laki-laki itu. 

"Mau mesra-mesraan? Di luar sana banyak tempat. Gak harus di sini, biadab!" 

"Anak kurang ajar." Tata marah, ia menampar pipi Raffa hingga bunyi. 

Respons Raffa hanya tertawa miris. "Anda yang kurang ajar. Gak pernah ngehargain anak dan suami!" 

Raffa membanting vas bunga berukuran kecil ke lantai, membuatnya pecah dan berserakan. Menimbulkan teriakan lantang dari Tata. 

"RAFFA! SOPAN SANTUN KAMU DI MANA?"

"NGACA, DONG! SOPAN SANTUN KALIAN YANG DI MANA?" Telunjuk Raffa menunjuk kedua orang itu. 

"Kalo kelakuan kamu kayak gini. Mama nyesel lahirin kamu. Mending kamu lahir dari rahim orang lain aja. Percuma, gak bisa ngehargain orang tua. Ini pilihan Mama, kamu harus tau."

"Kenapa juga gua harus tau? Gak guna."

Pacar Tata meninju wajah dan perut Raffa. Tidak tinggal diam, Raffa pun membalas dengan brutal. Dia meninju rahang pacar Tata berkali-kali. 

"Udah, heri. Udah, stop! Kasian kamunya." 

Akhirnya, Tata bisa memisahkan mereka. Perempuan itu memeluk Heri. 

Wajah Raffa lebam, sudut bibir sobek, hidungnya mengeluarkan darah. Tanpa banyak bicara lagi, Raffa pergi dari rumah itu. Melajukan motornya menuju taman dekat komplek. 

Raffa memarkirkan motornya, lalu duduk di bawah pohon dekat danau, menjauh dari orang-orang. Punggungnya dia sandarkan ke batang pohon, kedua kakinya dia selonjorkan. Dia memandang danau dengan tatapan kosong. 

Menyedihkan. 

Ia bingung harus bagaimana. Realita kehidupan memang menyakitkan. Kata-kata Tata terus terngiang di pikiran. 

/Kalo kelakuan kamu kayak gini. Mama nyesel lahirin kamu. Mending kamu lahir dari rahim orang lain aja. Percuma, gak bisa ngehargain orang tua./

"Siapa juga yang pengen dilahirin ke dunia?"

Air mata Raffa turun menetes. Ia benci menangis. Apalagi jika orang lain melihat. Mereka pasti akan menertawakannya. 

Raffa melempar batu-batu kecil ke dalam air danau yang tenang. Melampiaskan kekesalannya. Membuang segala amarah. Ia terisak, kemudian tertawa. Antara tawa dan tangis bercampur jadi satu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status