Helaan napas ringan ia berikan untuk menanggapi dunianya yang sangat membosankan. Jikalau tak pasal Abian Malik Guinandra, si saudara tiri permasalahan yang menimpa Xena adalah pasal dunia sekolah dengan tugas yang tak kunjung sirna. Mati satu tumbuh dua puluh milyar! Kalimat itu adalah deskripsi tugas dan pekerjaan yang dilimpahkan padanya. Tatapan Xena tak pernah absen dari rentetan huruf penyusun kata dan kalimat berteori yang menjadi bahan rangkumannya siang ini. Tak ada Nea juga tak banyak teman-teman sekelas yang menemaninya sekarang ini. Sebagian besar sudah kembali ke dalam kelas mereka masing-masing. Menyambut datangnya bel jam istirahat yang baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu.
Xena mempercepat gerakan tangannya, semakin luwes pena hitam milik gadis itu menari di atas kertas. Kasar ujung pena menggores dan menciptakan tulisan miring berukuran kecil khas milik Xena Ayudi Bridella. Gadis itu menghela lagi napasnya. Kapan akan selesai? Itulah kiranya yang
Tatapan tajam, embusan napas kasar yang menggebu, sesekali berdecak kasar sembari mendesah tak tentu iramanya. Abian Malik Guinandra, si remaja jangkung yang berdiri dengan tatapan aneh yang terkesan malas ingin memakan teman sebaya yang ada di depannya saat ini. Daffa Kailin Lim. Jikalau si teman sebangku tak memaksanya dengan embel-embel kalimat betapa menyeramkannya tatapan seorang Daffa ketika sedang murka, Malik tak akan datang kemari. Bukan hal aneh nan asing kala mengatakan bahwa remaja itu mengabaikan perintah, permintaan, dan kalimat seorang ketua OSIS berwibawa idola kaum hawa itu. Malik adalah remaja yang berpegang teguh pada pendiriannya. Kalau tidak, ya tidak!"Lo kangen sama gue?" ucapnya menyela keheningan. Remaja jangkung itu mulai bosan dengan keadaan yang ini-ini saja. Hanya diam saling menatap, menghabiskan waktu istirahat yang amat mepet seperti ini adalah sesuatu yang dibenci oleh Abian Malik Guinandra, apalagi kalau dihabiskan bersama seorang Daffa Kailin
Wajahnya masam, bak seseorang yang tak sengaja menggigit buah mengkal yang baru saja di petik dari atas pohon. Xena membisu. Tak berniat untuk membuka mulutnya atau sejenak menoleh dan menatap remaja jangkung berponi naik di sisinya. Tak ada siapapun sekarang ini. Di tempat yang dipilih Xena untuk menyeret tubuh si saudara tiri bisa dibilang tak strategis dan tak pernah ramai, apalagi kalau jam pelajaran sedang berlangsung. Bel nyaring berbunyi beberapa detik yang lalu, mengisyaratkan pada semua untuk segera kembali pada kewajiban mereka. Jam istirahat sudah selesai. Kiranya sekarang adalah waktu untuk kembali menjadi siswa dan siswi yang berbudi luhur dengan rajin juga giat dalam menimba ilmu. Xena mengkhianati gelar itu. Memilih untuk tetap berada di sisi Malik yang menahannya pergi beberapa detik yang lalu. Gadis itu mengira jikalau Malik akan mengajaknya berbincang pasal kasus penting sekarang ini, namun sayang amat disayangkan Xena mengabaikan fakta untuk tidak mempercayai manu
Kalimat berteori yang apik disusun padukan dengan sekumpulan angka gila yang berjajar rapi di sisinya menjadi salah satu fokus tujuan remaja jangkung bertubuh kerempeng yang baru saja melahap habis seluruh soal di papan tulis. Kini ia meletakkan spidol hitam kembali pada tempatnya. Sejenak menatap sang guru yang hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya setuju. Daffa memulai semuanya dengan lancar, menikmati proses, dan mengakhiri dengan baik tanpa ada kesalahan sedikitpun. Tak perlu diheran-herankan lagi, sebab semua sudah paham benar kalau Daffa adalah si remaja populer dengan tingkat kepintaran luas biasa tinggi tak ada yang bisa menandinginya.Daffa bukan anak emas, namun ia cukup berpengaruh dengan kedudukan dan prestasinya. Si nomor pertama dengan nama Abian Malik Guinandra yang mengikutinya di nomor kedua. Jikalau saja Daffa tak pandai hanya berotak biasa-biasa saja layaknya remaja muda pada umumnya, mungkin saja ia akan setara dengan Abian Malik Guinandra.
Sore datang namun senja belum indah menyinarkan cahaya jingganya. Surya masih mengintip di balik celah awan yang membentang di atas cakrawala. Semburat awan putih menghias. Seakan berjalan mengikuti langkah kaki gadis bertubuh tinggi yang tegas menyapu trotoar jalanan dengan sepasang sepatu pekat yang ia kenakan. Tatapan Xena mengudara sesekali. Menatap luasnya langit yang menjadi payung peneduhnya sore ini, kemudian kembali menatap fokus jalanan yang ada di depannya. Tujuan Xena adalah halte bus di ujung trotoar jalanan. Di mana tempat itulah yang akan menjadi peraduan terakhir dirinya untuk menjemput sore dan menyambut senja datang. Bus akan datang lebih terlambat sore ini, bukan dirinya yang dikhianati namun Xena-lah yang menjadi pengkhianat. Dirinya pulang sekolah sedikit terlambat sore ini, sebab harus menyelesaikan beberapa tugas kelompok yang selalu ditunda-tunda olehnya dalam satu minggu terakhir.Ada Malik yang menawari gadis itu untuk pulang bersamanya. Menjadi pemb
Bus berjalan membelah padatnya Kota Jakarta kalau senja menyapa begini. Suasana khas langit berwarna jingga yang agung berbaur dengan sinar sang surya di atas sana. Langit indahnya, seindah dan sedamai hati Xena sore ini. Tak banyak yang bisa ia katakan untuk memulai percakapan dengan teman sebangku yang menjadi peneman untuk dirinya duduk di dalam bus. Xena lega, setidaknya ia tak terlihat menyedihkan sekarang ini. Ada Bara meskipun secara pribadi dirinya sangat merasa asing sekarang ini.Xena bukan pembuka percakapan yang handal. Dirinya adalah si orang pendiam yang masuk dalam golongan pengikut suasana dan topik yang ada. Jadi, ia menunggu Bara untuk memulainya kembali.Gadis itu membuang tatapannya. Entahlah apa yang menarik dari jalanan padat terlihat riuh nan kotor yang ada di sisinya sekarang ini, namun bagi Xena itu lebih baik ketimbang dirinya harus menatap paras Bara yang masih fokus dengan ponsel di dalam genggamannya. Bara sibuk, bak seseorang yang seda
Langkahnya gontai bak seekor macan gurun yang sedang kelaparan. Tatapannya sayu sedikit nanar. Menatap pintu kayu yang masih tertutup rapat. Selepas Xena berpisah dengan Bara gadis itu enggan banyak memberi komentar. Baginya apapun yang dikatakan oleh Bara masih terasa begitu abstrak untuknya saat ini. Bara adalah orang asing untuk Xena, begitu pula sebaliknya, mungkin. Remaja itu baru mengenal Xena beberapa hari berjalan, akan tetapi membeberkan rahasia seperti itu tentu membuat Xena merasa terkejut dan canggung. Gadis itu menghindar. Entah dari tatapan maupun perilaku. Bukan takut, namun lebih pada ketidakpercayaan sebab baginya Bara bukan remaja nakal yang akan melakukan hal sekeji itu.Menghamili seorang gadis yang menjadi teman sebayanya? Gila! Bahkan mencoba untuk mengingatnya saja sudah membuat Xena gila. Dari tatapan Bara dan senyuman remaja itu tak melukiskan sedikitpun tentang kehidupan seorang pelaku kejahatan. Dirinya nampak tenang dan menguasai semuanya. Bisakah,
Hela menarik kursi kayu yang ada di sisinya. Duduk menatap lantai atas tempat Xena menghilang selepas suara pintu kamarnya rapat ditutup. Gadis itu berpamit selepas mempersilakan Hela masuk ke dalam rumahnya. Menjadikan dirinya sebagai tamu baik yang disambut penuh keramahan oleh si tuan rumah. Xena beralasan ingin mengganti baju dan sebab mulai tak nyaman dengan seragamnya. Toh juga, besok baju itu dipakai lagi 'kan? Xena tak ingin jikalau seragam miliknya kotor dan berdebu.Hela kini mengeluarkan apapun yang ada di dalam totebag bawaannya. Sebuah paket lengkap buah di dalam keranjang kecil untuk Xena senja ini. Bukan tanpa alasan Hela datang kemari, sebab rasa bersalah ada di dalam hati selepas masalah terjadi pada gadis baik itu. Xena bukan tipe gadis yang suka mencari gara-gara, jadi setidaknya ia harus bersikap baik sebab ingin menebus kesalahan yang sudah diperbuat olehnya.Tatapan mata gadis yang begitu anggun dengan kemeja seperempat lengan dan rok pe
Jantungnya berhenti berdetak. Tatapan mata indahnya tepat mengarah pada remaja jangkung yang masih melingkarkan rapi tangan berotot pepak miliknya tepat di atas pinggang gadis yang menatapnya lamat-lamat. Abian Malik Guinandra, remaja siyalan yang sukses membuat Xena bak mayat hidup yang tak mampu bergerak sedikitpun sekarang ini. Dari sekian banyak tempat untuk berpelukan dalam posisi intim, mengapa harus di dalam kamar mandi pribadinya? Bahkan jikalau Xena melepas segala pendiriannya dan memutuskan untuk hanyut dan larut masuk ke dalam suasana sekarang ini, tak akan ada yang mengetahuinya. Papa dan mama sedang tak ada di dalam rumah sekarang, juga si tamu baik yang menunggu di luar tentu tak akan pernah menyangka bahwa Malik berada di dalam kamar mandi bersama dirinya.Akan tetapi, cinta Xena kepada Malik tak pernah bisa menggantikan besarnya cinta Xena pada kedua orang tuanya sekarang ini. Xena paham bahwa apa yang dimiliki olehnya amat sangat berharga selepas kepergi