LOGIN"Dasar peta murahan... tersesat lagi aku," gumam seorang pria yang muncul dari balik pepohonan. Dia mengenakan jaket hiking berwarna biru tua dengan celana cargo, ransel besar terlihat berat di punggungnya.
Pria itu tertegun ketika melihat Selvia. Matanya membulat, seolah tidak menyangka menemukan seseorang di tengah hutan terpencil. Selvia sendiri membeku, siap untuk melarikan diri kapan saja. "Eh... halo?" kata pria itu perlahan, mengangkat tangannya seperti menenangkan hewan liar. "Saya tidak bermaksud buruk." Selvia tidak memahami kata-katanya, tapi dia bisa merasakan nada suara yang ramah. Lycus, yang awalnya menggeram, sekarang mulai mendekati pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Wah, kucing yang cantik," kata pria itu, berjongkit dan mengulurkan tangan untuk membelai Lycus. Dengan santainya, Lycus menggosokkan kepalanya ke tangan pria tersebut. Selvia memperhatikan bagaimana pria itu memperlakukan Lycus dengan lembut. Ada sesuatu tentang caranya tersenyum yang membuat Selvia merasa sedikit lebih tenang. "Nama saya Jean," kata pria itu, menunjuk dirinya sendiri. "Jean Ahmad." Dia kemudian mengeluarkan botol air dari ranselnya dan sepotong roti yang dibungkus plastik. Dengan gerakan hati-hati, Jean menawarkan makanan dan minuman tersebut kepada Selvia. "Untuk kamu," ujarnya dengan suara lembut. "Kamu pasti lapar." Selvia hanya menatapnya, tidak mengerti maksud kata-katanya. Tapi bahasa tubuh Jean yang tidak mengancam membuatnya perlahan menurunkan kewaspadaannya. Lycus mengeong keras, seolah mendorong Selvia untuk menerima tawaran itu. "Aku tidak bermaksud buruk, sungguh," Jean mencoba meyakinkan lagi. "Aku juga tersesat di hutan ini. Mungkin kita bisa saling membantu." Meski tidak memahami bahasanya, Selvia bisa merasakan ketulusan dalam suara Jean. Dia perlahan mendekat dan menerima botol air yang ditawarkan. Tangannya yang halus bersentuhan sebentar dengan tangan Jean yang lebih kasar, membuat keduanya sedikit terkejut. "Terima kasih," bisik Selvia dalam bahasa Transilvania. Jean tersenyum lega. "Sama-sama. Eh, maksudku... you're welcome." Mereka duduk di dekat sungai, dengan Lycus yang asyik bermain di antara mereka. Jean mencoba berkomunikasi dengan gerakan tangan, menunjuk arah matahari terbit dan kemudian menunjuk ke arah tertentu sambil mengeluarkan peta dari tasnya. "Kita harus mencari jalan keluar dari hutan ini," ujar Jean sambil menunjukkan peta. "Aku pikir arahnya ke sini." Selvia mengamati peta itu dengan penasaran. Dia tidak pernah melihat sesuatu seperti itu sebelumnya. Di Transilvania, mereka menggunakan peta magis yang bisa bergerak sendiri. "Kamu mengerti tidak?" tanya Jean penuh harap. Selvia hanya menggelengkan kepala, lalu tersenyum kecil. Senyumnya yang lembut membuat Jean terpana sejenak. "Tidak apa-apa," kata Jean cepat. "Kita coba saja bersama-sama." Mereka memutuskan untuk berjalan bersama. Jean dengan peta sederhananya, Selvia dengan insting alaminya. Lycus dengan riang melompat-lompat di antara mereka, kadang mengejar kupu-kupu atau bermain dengan daun yang berguguran. Sepanjang perjalanan, Jean terus berbicara meski tahu Selvia tidak mengerti. "Aku bekerja di pabrik sepatu di kota kecil dekat sini. Bosnya baik sih, tapi pekerjaannya membosankan. Makanya aku suka hiking di hari libur." Selvia mendengarkan dengan saksama, kadang menoleh dan tersenyum ketika Jean menatapnya. Nada suara Jean yang dalam dan tenang membuatnya merasa nyaman. "Kamu dari mana sih? Pakaianmu... unik sekali." Selvia melihat gaun hitamnya yang sudah kusam, lalu menatap Jean dengan mata berbinar. Dia ingin menjelaskan, tapi tahu itu tidak mungkin. Tiba-tiba, Lycus yang sedang bermain di depan mereka berhenti mendadak. Bulu di tubuhnya berdiri lagi. Selvia juga merasakan sesuatu - getaran magis yang samar, seperti energi yang berasal dari portal yang belum sepenuhnya tertutup. "Ada apa?" tanya Jean, memperhatikan perubahan sikap Selvia dan Lycus. Selvia memandang sekeliling dengan waspada. Dia merasakan adanya mata yang mengawasi mereka dari balik pepohonan. Tapi ketika dia memusatkan perhatian, perasaan itu menghilang. "Mungkin hanya hewan hutan," gumam Jean, tapi dia juga mulai merasa tidak nyaman. Mereka terus berjalan, tapi sekarang dengan kewaspadaan yang lebih tinggi. Hutan yang awalnya terang oleh sinar matahari mulai berubah lebih gelap, meski hari masih siang. Awan hitam mulai berkumpul di langit. "Sepertinya akan hujan," kata Jean sambil melihat ke atas. "Kita harus mencari tempat berteduh." Mata Jean menatap dalam ke wajah Selvia. Selvia pun menoleh dengan wajah yang merah merona. "Umm kita balik saja.. " ucap Selvia. Tiba-tiba, saat Selvia mulai melangkah, kakinya tersandung akar pohon. Ia pun hampir terjatuh. Dengan sigap, jean menangkap tangan Selvia. Jean merasakan kulit tangan Selvia yang lembut. Dengan tarikan yang kuat, Selvia tertarik kearah Jean. Dan refleks memeluk Jean. "Sepertinya kita harus kembali.. " Ucap Jean dalam momen canggung itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke gubuk. Tiba-tiba, Lycus yang sedang bermain di depan mereka berhenti mendadak. Bulu di tubuhnya berdiri lagi. Selvia juga merasakan sesuatu - getaran magis yang samar, seperti energi yang berasal dari portal yang belum sepenuhnya tertutup. "Ada apa?" tanya Jean, memperhatikan perubahan sikap Selvia dan Lycus. Selvia memandang sekeliling dengan waspada. Dia merasakan adanya mata yang mengawasi mereka dari balik pepohonan. Tapi ketika dia memusatkan perhatian, perasaan itu menghilang.Nadia mendesis, matanya yang hijau berkilat marah. Sihirnya telah pecah. “Berani-beraninya kau merusak rencanaku!” geram Nadia, kini wajahnya tak lagi cantik dan lembut, tetapi keriput oleh amarah dan keserakahan. “Bodoh! Liontin itu bukan sekadar perhiasan! Itu adalah kunci!” Jean merasakan liontin di lehernya semakin panas dan bergetar hebat. Cahaya putih kebiruan, seperti es, tiba-tiba memancar dari liontin, menerangi seluruh ruangan. “Kunci untuk apa?” tanya Jean sambil terus melindungi Rara di belakangnya. “Untuk sesuatu yang tak akan kau pahami, manusia biasa!” hardik Nadia. Ia mengangkat tangan, energi gelap terkumpul di telapaknya. Rara memegang erat lengan Jean. “Bang, kita harus lari! Sekarang!” Tiba-tiba, cahaya dari liontin semakin terang, membentuk sebuah pola rumit di dinding kosan. Pola itu berputar, membuka semacam portal berwarna ungu tua. Di balik portal, terlihat pemanda
Ancaman itu datang lagi, dan kali ini lebih dekat dari yang mereka duga. Hujan deras menghantam atap seng kosan Nadia, menciptakan irama gaduh yang memenuhi seluruh ruangan. Angin malam menerpa melalui pintu yang terbuka lebar, membawa serta percikan air hujan dan sosok Pak Cello yang basah kuyup. Pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu, napasnya tersengal-sengal, matanya melotot penuh ketakutan. Air mengalir dari ujung rambutnya yang acak-acakan dan menetes dari ujung hidungnya. “Losmen... losmenku kebakaran lagi!” teriak Pak Cello, suaranya parau dan hampir hilang diterpa deru hujan. “Ada makhluk baru! Aneh sekali wujudnya!” Jean yang tadinya duduk di sofa, langsung melompat berdiri. Tangannya refleks meraih liontin perak yang menggantung di lehernya. Benda itu terasa hangat, bahkan hampir panas, dan bergetar kencang di genggamannya, seolah punya hidup sendiri. Nadia yang berdiri di dekat jendela, memalingkan wajahnya dari hujan. Matany
Jean berdiri di bawah pohon kelapa di Pantai Losari, menatap laut yang berwarna keemasan di bawah sinar matahari sore. Angin laut bertiup lembut membawa aroma asin dan sedikit aroma ikan. Dia memegang dua gelas es kelapa muda, kondensasi air membasahi tangannya. Rasanya aneh berada di sini, dalam situasi yang seharusnya berupa kencan, tapi motivasinya sama sekali bukan romantis. Ingatannya kembali ke liontin yang bergetar dan simbol es yang muncul di dadanya tadi pagi. Itu pertanda yang tidak bisa dia abaikan. Tapi Nadia berjanji akan memberitahukan hal penting tentang Rara dan dunia sihir. Jean merasa tidak punya pilihan.Dia melihat Nadia datang dari arah parkiran. Wanita itu berjalan dengan langkah ringan, tapi ada kecanggungan dalam caranya melangkah, berbeda dengan ketegasan yang dia tunjukkan semalam. Rambutnya yang bergelombang tertiup angin, dan kali ini dia mengenakan jeans dan kaus casual berwarna biru muda, bukan jubah pemburu."Maaf ya, macet di ja
Setelah meyakinkan Pak Cello untuk pergi ke kamarnya dan mengemasi barang-barang, Nadia kembali menghadap Jean dan Rara. Hujan mulai reda di luar, meninggalkan suasana lembap dan sunyi yang menyesakkan."Nadia," kata Jean, memecah keheningan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka akan kembali, bukan?"Nadia mengangguk, wajahnya serius. "Mereka pasti akan kembali. Itulah sebabnya kita harus proaktif." Dia menatap langsung ke mata Jean. "Bang Jean, besok malam. Aku ingin kau ikut denganku."Jean mengerutkan kening. "Ikut? Ke mana? Masih mau ajak aku jalan setelah semua ini?""Ini bukan sekadar jalan-jalan biasa," tegas Nadia. "Ini adalah bagian dari misi. Aku perlu memberitahumu hal-hal penting. Hal-hal tentang Rara, tentang dunia lain yang kusebut tadi, dan..." dia berhenti sebentar, "...tentang dirimu sendiri.""Tentang aku?" Jean terkejut. "Apa tentangku? Aku cuma seorang pelayan bar biasa.""Kau bukan 'hanya'
Bayangan itu mendarat dengan lembut di atas ubin yang retak, suara langkahnya hampir tak terdengar di balik deru hujan dan desis sisa api yang padam. Sosoknya tinggi, mengenakan jubah hitam yang basah kuyup, sebuah busur panjang terlihat di punggungnya. Jean mengencangkan pelukannya pada Rara yang masih gemetar, tubuhnya siaga. Siapa orang ini? Apakah dia yang menembak makhluk itu? Atau musuh baru? Lycus melangkah maju, tubuhnya rendah, sebuah geraman dalam terdengar dari kerongkongannya. Dia mengendus udara, mencoba mengenali aroma sang pendatang. Pak Cello masih tak bergerak di sudut, tergeletak di antara puing-puing sebuah meja yang hancur. Sosok berjubah itu berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi penuh keyakinan. Dia berhenti beberapa meter dari mereka, tangannya yang bersarung tangan mengangkat dan melepas tudung yang menutupi kepalanya. Rambut panjang bergelombang yang basah terurai, dikenali Jean seketika. Mata
"Dia di sini, Bang. Selamat," kata Rara, melihat ke arah meja terbalik dimana sepasang mata hijau bersinar dari balik kegelapan.Jean kemudian melihat sekeliling. Losmen Barokah hancur sebagian. Sebagian atap di dekat tangga bawah tanah ambruk, membuat air hujan deras masuk, membantu memadamkan sebagian api. Ruangan dipenuhi puing-puing kayu dan pecahan kaca. Lampu neon sudah mati total, hanya cahaya dari api yang masih menyala dan sesekali kilat dari luar yang menerangi.Dan kemudian, dari balik asap yang mulai memudar di lorong bawah tanah yang terbuka, sesuatu mulai muncul.Pertama-tama, yang terlihat adalah sepasang mata merah menyala, besar dan penuh kebencian. Kemudian, bayangan besar itu perlahan menaiki tangga yang rusak, menginjak puing-puing dengan berat. Makhluk itu muncul sepenuhnya.Tingginya sekitar tiga meter, hampir menyentuh langit-langit losmen yang rendah. Tubuhnya tampak terbuat dari asap hitam pekat yang terus berger







