Selvia melihat gaun hitamnya yang sudah kusam, lalu menatap Jean dengan mata berbinar. Dia ingin menjelaskan, tapi tahu itu tidak mungkin.
"Mungkin hanya hewan hutan," gumam Jean, tapi dia juga mulai merasa tidak nyaman. Meskipun ia tahun Selvia tak paham yang ia ucapkan. Mereka terus berjalan, tapi sekarang dengan kewaspadaan yang lebih tinggi. Hutan yang awalnya terang oleh sinar matahari mulai berubah lebih gelap, meski hari masih siang. Awan hitam mulai berkumpul di langit. "Sepertinya akan hujan," kata Jean sambil melihat ke atas. "Kita harus mencari tempat berteduh." Mereka berbalik arah menuju gubuk tempat Selvia tinggal. Baru saja mereka sampai, hujan mulai turun dengan deras. Butiran air menghantam atap daun dan kayu reyot, menciptakan suara gemericik yang konstan. Jean berhasil menyalakan api kecil dengan ranting-ranting kering yang dia kumpulkan. Cahaya api menerangi sudut gubuk, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding kayu. Aroma asap kayu bercampur dengan wangi tanah basah memenuhi ruangan kecil itu. Selvia duduk mendekat ke api, tangannya menggenggam erat jaket yang masih dia kenakan. Gaun tipisnya basah oleh hujan, membuatnya menggigil kedinginan. Bibir mungilnya bergetar, matanya berkedip-kedip menahan kantuk. "Kamu kedinginan ya?" tanya Jean dengan suara penuh perhatian. Dia melepas jaket hikingnya yang masih relatif kering dan memberikannya kepada Selvia. "Ini, pakai saja." Selvia melihat jaket itu, lalu menatap Jean yang juga mulai menggigil. Dengan suara lembut dia berkata dalam bahasa Transilvania, "Tapi kamu juga kedinginan." Jean tidak mengerti kata-katanya, tapi memahami nada suaranya. "Aku tidak apa-apa. Yang penting kamu jangan sampai sakit." Ucapnya dengan meyakinkan. Akhirnya Selvia menerima jaket itu. Tapi ketika melihat Jean masih menggigil, dia tanpa ragu mendekat dan memeluk Jean dari samping. Tubuh hangatnya menempel pada Jean, memberikan kehangatan yang tidak terduga. Pelukan itu berlangsung beberapa saat, kemudian Selvia membuka jaket yang baru saja diberikan Jean dan menempatkannya di atas bahu mereka berdua. Jaket itu kini menyelimuti kedua tubuh mereka yang saling berdekatan. Jean terkejut, jantungnya berdetak kencang. Dia tidak menyangka Selvia akan melakukan hal seperti itu. Tapi pelukan itu terasa tulus dan hangat, membuatnya merasa tenang. Perlahan, tangan Jean merangkul bahu Selvia, menariknya lebih dekat. Kepala Selvia bersandar di bahu Jean, rambutnya yang harum tercium oleh Jean. "Terima kasih," bisik Jean, meski tahu Selvia mungkin tidak mengerti. Mereka duduk berpelukan dalam keheningan, hanya diiringi suara hujan di luar dan suara api kecil yang membakar kayu. Lycus meringkup di antara mereka, mendengkur pelan. Jean menatap wajah Selvia yang diterangi cahaya api. Dia melihat bagaimana cahaya api memantul di mata Selvia yang berwarna gelap. Selvia mengangkat wajahnya, menatap Jean dengan tatapan yang dalam. Jarak antara wajah mereka hanya beberapa sentimeter. Jean bisa merasakan hembusan napas Selvia yang hangat. Perlahan, Jean mengangkat tangan dan menyentuh pipi Selvia dengan lembut. Selvia tidak menolak, matanya berkedip perlahan. Jean membelai rambut Selvia yang halus, lalu tangannya turun ke bahu Selvia, menariknya lebih dekat lagi. Dahi mereka sekarang saling bersentuhan. Mereka tetap dalam posisi itu untuk beberapa saat, menikmati kehangatan dan kedekatan yang mereka bagi. Tiba-tiba, suara auman mengerikan mengguncang gubuk. Bukan suara hewan hutan biasa, tapi suara yang dalam dan penuh amarah, disertai desisan seperti api. Selvia langsung melompat berdiri, matanya membulat. "Itu dia..." Jean juga berdiri, dengan refleks melindungi Selvia. "Apa itu?" Dari balik jendela gubuk yang pecah, terlihat sepasang mata merah menyala di kegelapan. Seekor makhluk besar dengan tubuh bersisik hitam dan sayap berselaput muncul dari balik pepohonan. Makhluk itu memiliki bentuk seperti serigala raksasa, tapi dengan sisik naga yang mengilap dan cakar yang tajam. "Selvia de Dracul!" suara auman itu bergema dalam bahasa Transilvania. "Kau tidak bisa lari dari Kerajaan Draco!" Selvia menggenggam tangan Jean erat-erat. "Dia datang untuk menangkapku." Jean, meski tidak memahami kata-kata makhluk itu, bisa merasakan niat jahatnya. Dengan berani dia berdiri di depan Selvia, siap melindunginya dengan apa pun yang dia punya. Lycus menggeram, bulu di seluruh tubuhnya berdiri. Dia melompat ke depan, siap menghadapi ancaman yang jauh lebih besar dari dirinya. Makhluk itu mendekat, langkahnya membuat tanah bergetar. Mata merahnya tertuju pada Selvia, mengabaikan Jean yang berdiri di antara mereka. "Bersiaplah untuk kembali, Putri Dracul," desis makhluk itu. "Pangeran Lucius menunggumu."Selvia mengangguk, meski ada sedikit ketegangan di wajahnya. “Desa… berarti banyak orang, ya?” tanyanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian. Jean tersenyum menenangkan. “Tenang aja, mereka baik kok. Lagipula, aku di sampingmu yang akan selalu menjaga kamu. Kalau ada apa-apa, tinggal aku yang urus.” Ia menepuk dadanya dengan percaya diri, meski dalam hati ia sedikit khawatir bagaimana menjelaskan kehadiran Selvia kepada warga desa. Matahari sudah condong ke barat ketika mereka akhirnya tiba di desa kecil di pinggir hutan. Desa itu sederhana, dengan rumah-rumah kayu dan jalan tanah yang ramai oleh anak-anak yang bermain dan ibu-ibu yang membawa keranjang sayur. Di ujung desa, ada sebuah penginapan kecil dengan papan nama sederhana bertuliskan “Penginapan Bunga Hutan”. Jean menghela napas lega—"akhirnya, ada juga tempat untuk istirahat!" Jean tersenyum tipis." Jangan takut desa ini bukan tempat asing, aku akrab dengan warganya hehe." Ucap Jean. Sementara Selvia hanya mengangguk seola
Jean terbangun dalam keadaan setengah sadar. Kepalanya masih pusing. Dia merasa ada kehangatan di pipinya. Perlahan dia membuka mata. Selvia masih tertidur di sampingnya. Kepala gadis itu bersandar di bahu Jean. Tangannya masih memegang lengan Jean dengan lembut. Rambut hitamnya yang panjang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Jean melihat sekeliling. Gubuk masih gelap. Hujan sudah berhenti. Hanya suara angin malam yang terdengar. Api unggun sudah padam, hanya menyisakan bara yang masih kemerahan. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya samar-samar. Dia ingat hujan deras. Ingat suara geraman dari luar. Tapi setelah itu... kosong. Seperti ada bagian yang terhapus. Dia melihat Selvia yang tertidur. Gadis itu menggigil kedinginan. Napasnya mengeluarkan uap putih di udara dingin. "Kasihan, mungkin dia kedinginan," gumam Jean pelan. Sembari menatap wajah Selvia hingga ia terpesona. Dia mencoba bergerak perlahan. Tangannya meraih selimut yang terlipat di dekatnya.
Selvia berdiri, wajahnya pucat. "Beast... utusan ayah..." katanya sambil menunjuk ke luar. Dia berbicara campuran bahasa Transilvania dan beberapa kata yang Jean tidak pahami. "Kamu tidak perlu takut," kata Jean, meski tahu Selvia mungkin tidak mengerti. Dia mengambil sebatang kayu dari lantai. Kayu itu kokoh dan cukup berat. Selvia menarik lengan Jean. "Tidak Jean! Ini berbahaya!" katanya dengan mata membesar. "Beast itu kuat... sangat kuat!" Jean menggeleng. "Saya tidak mengerti semua yang kamu katakan, tapi saya tahu kamu dalam bahaya." Dia berdiri lebih tegak di depan Selvia. Matanya menatap tajam ke arah mahkluk itu. Pintu gubuk berderak keras. Sebuah cakar besar muncul menerobos kayu pintu. Cakar itu seperti besi, panjang dan tajam. Makhluk itu mendorong masuk, memperlebar lubang di pintu. Beast memasukkan kepalanya. Kepala serigala raksasa dengan mata merah. Sisik hitam menutupi wajahnya. Asap keluar dari hidungnya. "Selvia, kamu akan menyesal melarikan diri," ge
Selvia melihat gaun hitamnya yang sudah kusam, lalu menatap Jean dengan mata berbinar. Dia ingin menjelaskan, tapi tahu itu tidak mungkin."Mungkin hanya hewan hutan," gumam Jean, tapi dia juga mulai merasa tidak nyaman. Meskipun ia tahun Selvia tak paham yang ia ucapkan. Mereka terus berjalan, tapi sekarang dengan kewaspadaan yang lebih tinggi. Hutan yang awalnya terang oleh sinar matahari mulai berubah lebih gelap, meski hari masih siang. Awan hitam mulai berkumpul di langit."Sepertinya akan hujan," kata Jean sambil melihat ke atas. "Kita harus mencari tempat berteduh."Mereka berbalik arah menuju gubuk tempat Selvia tinggal. Baru saja mereka sampai, hujan mulai turun dengan deras. Butiran air menghantam atap daun dan kayu reyot, menciptakan suara gemericik yang konstan.Jean berhasil menyalakan api kecil dengan ranting-ranting kering yang dia kumpulkan. Cahaya api menerangi sudut gubuk, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding kayu. Aroma asap kayu bercampur dengan wangi
"Dasar peta murahan... tersesat lagi aku," gumam seorang pria yang muncul dari balik pepohonan. Dia mengenakan jaket hiking berwarna biru tua dengan celana cargo, ransel besar terlihat berat di punggungnya. Pria itu tertegun ketika melihat Selvia. Matanya membulat, seolah tidak menyangka menemukan seseorang di tengah hutan terpencil. Selvia sendiri membeku, siap untuk melarikan diri kapan saja. "Eh... halo?" kata pria itu perlahan, mengangkat tangannya seperti menenangkan hewan liar. "Saya tidak bermaksud buruk." Selvia tidak memahami kata-katanya, tapi dia bisa merasakan nada suara yang ramah. Lycus, yang awalnya menggeram, sekarang mulai mendekati pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Wah, kucing yang cantik," kata pria itu, berjongkit dan mengulurkan tangan untuk membelai Lycus. Dengan santainya, Lycus menggosokkan kepalanya ke tangan pria tersebut. Selvia memperhatikan bagaimana pria itu memperlakukan Lycus dengan lembut. Ada sesuatu tentang caranya tersenyum yang memb
Selvia masuk ke portal, melewati ruang dan waktu yang berbeda. Hingga ia tak sadarkan diri akibat perjalanan itu. Selvia de Dracul masih setengah sadar, tangannya memegang gaun hitamnya yang telah sobek di beberapa bagian, rambut panjangnya terurai menutupi bahu. Nafasnya pelan, tubuhnya lelah setelah menempuh perjalanan menembus portal ajaib yang hanya bisa dibuka dengan segel kelelawar dari penjaga Darkbat. Wajahnya yang cantik dan pucat, dengan bibir mungil yang sedikit gemetar, membuatnya tampak seperti boneka rapuh di tengah kegelapan. Ia menunduk, memejamkan mata sejenak. Ia terdampar di dunia manusia meninggalkan Negeri Transylvania Tak berapa lama, tiba-tiba di telinganya terdengar suara imut dan tak asing. Ia memperhatikan sekelilingnya. Mencari sumber suara. "Lycus...? " Seketika seekor kucing hitam meloncat ke pangkuan Selvia. Wajah Selvia yang awalnya bermuram durja, seketika menjadi ceria dengan senyum manis dan indah yang ia pancarkan. "Ihhh kamu ikuti aku ya...?