Hancurnya rumah tanggaku berawal dari curhat. Kebiasaan Ibu Mertua yang selalu menceritakan segala kekuranganku kepada Linda—mantan kekasih suamiku—membuka jalan bagi perempuan itu untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahanku bersama Mas Hangga.“Salah apa sih, si Mirna itu, Ma?” tanya Linda kepada Ibu Mertua pada saat aku pergoki mereka tengah membicarakanku di rumah. Aku baru saja pulang dari pasar, membeli sayuran dan bahan masakan lain untuk acara kumpul keluarga lusa.“Salahnya Mirna itu cuma satu, karena dia bukan orang kaya! Andai saja dia orang kaya, Mama bisa terima dia meskipun dia mandul. Tapi karena dia orang tak berpunya, Mama jadi berpikir seribu kali untuk mempertahankannya sebagai menantu. Apa yang akan Hangga dapatkan darinya nanti? Keturunan? Harta? Tidak mungkin Mirna bisa memberikan semua itu. Dia anak yatim yang Hangga nikahi, dan malah menjadi beban bagi keluarga ini. Mirna tidak bisa memberikan perubahan apa-apa pada kami,” jawab Ibu Mertua.Aku memundurkan langk
Sorot mata Linda semakin menantang, aku jadi terpancing. “Kamu ambil saja Mas Hangga jika bisa. Akan kupastikan kamu yang menangis karena dia tak akan meninggalkanku!” Tanpa merasa takut aku membalas tantangan Linda. Sementara itu, Ibu Mertua menarik tangan Linda dan membawanya menjauh dari hadapanku. “Sudah, tak usah diladeni. Kami sekeluarga mendukungmu,” bisiknya pada Linda. Aku dapat mendengarnya bicara seperti itu meski jarak kami kini sudah lumayan jauh.***Tanganku sibuk memasang sprei di kasur yang akan ditiduri Linda malam nanti, dia akan menginap. Meski berat hati, aku tetap membereskan kamar tamu untuknya demi memenuhi perintah Ibu Mertua. Sambil bekerja, pikiranku terus berkecamuk tentang rencana pernikahan Mas Hangga dan Linda seperti yang selalu diperbincangkan seluruh anggota keluarga akhir-akhir ini. Tentu saja hatiku pun hancur berantakan, dan aku harus tetap waras dalam keadaan seperti ini. “Sedang apa?” Mas Hangga mengagetkanku dari ambang pintu.“Mas
Seketika aku langsung berlari ke kamar dengan menghentakkan kaki keras-keras ke lantai. Bukannya melawan ataupun membela diri di hadapan mereka, aku memilih pergi. Aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Jika aku marah dan mengeluarkan kata-kata sedikit saja, mereka pasti akan menang karena itu akan dijadikan senjata untuk menyerangku balik di hadapan Mas Hangga, mereka akan berdalih aku ini suka melawan dan tidak sabaran sehingga pantas diceraikan. Menghadapi posisi seperti ini, aku memang harus banyak mengalah dan banyak sabar pada mereka.“Mirna?”Suara Mas Hangga mengejutkanku dari depan kamar, dia mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Cepat kutatap cermin dan mengusap air mata yang membanjiri pipi.“Masuk saja, Mas. Tidak dikunci,” kataku, mengatur nada suara senatural mungkin agar tidak terdengar seperti orang habis menangis.Mas Hangga mendekat dan mendudukkanku di tepi ranjang. Dia pun mengusap sisa air mata di pipiku. “Mas tahu bagaimana perasaanmu, dan kesulitanmu selama ja
“Ada apa ini?” bantahku. “Mas Hangga memang menyuruhku pulang, tapi dia tak menyuruhku mengemasi semua barang dan baju. Aku akan pulang untuk sementara, tidak untuk selamanya.”“Ngeyel!” Linda menggerutu sambil berlalu dari hadapanku, meninggalkan koper-koper tergeletak begitu saja.Kini tinggal Ibu Mertua yang masih berdiri di depanku sambil menunjuk koper. “Bereskan. Terserah kamu mau pergi atau tidak, yang penting Hangga sudah menyuruhmu dan tak memberatkanmu. Jangan salahkan kami kalau nanti situasi di rumah ini tak sesuai seperti yang kamu harapkan,” katanya.*Tepat jam tiga dini hari aku bangun seperti biasanya, namun tak kudapati Mas Hangga di sisiku, padahal aku yakin sekali semalam dia tidur bersamaku bahkan suamiku itu menyelimuti dan membenarkan posisi kepalaku yang tak pas di bantal, kami juga sempat mengobrol sebentar tentang keinginan Mas Hangga yang kukuh menyuruhku pulang ke rumah Ibu.“Mungkin dia sedang pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu atau sedang di mushol
BAB 5“Kamu Harus Bantu-Bantu”“Linda dan keluarganya sanggup memberi modal usaha untuk kami. Kamu tahu sendiri kan kalau warung nasi Ibu akhir-akhir ini sepi karena kehabisan modal. Menu-menu yang dimasak setiap hari selalu banyak sisa, tidak laku, akhirnya modal Ibu habis. Sementara, tabunganku pun ludes dipinjam untuk pengobatan Uwak Halimah, sampai sekarang belum juga dikembalikan uang tabunganku itu.” Mas Hangga menjelaskan. Uang. Itulah alasannya, seperti dugaanku. Linda memang berasal dari keluarga kaya, uang puluhan juta mudah saja baginya. Selain itu, dia juga berpendidikan dan berprofesi sebagai bidan, meski belum lama berpengalaman namun menurut kabar yang kudengar dia akan segera membuka praktek. Memiliki itu semua, membuat Linda mudah diterima di keluarga ini, terlebih mereka sebelumnya sudah sangat dekat karena sebelum menikah denganku Linda adalah pacarnya Mas Hangga.“Aku harap, kamu bisa terima pernikahanku dengan Linda, ya,” lanjut suamiku itu.“Semudah itu kamu mem
BAB 6AKAN JADI MENANTU KEBANGGAAN“Ayo kembali ke kamar, jangan terbawa emosi. Aku minta maaf kemarin telah menyuruhmu pulang,” kata Mas Hangga seraya merebut koper dari tanganku. Dia lalu menuju kamar.Sementara itu, Ibu Mertua memberi isyarat agar aku mengikuti Mas Hangga. Sebenarnya, aku benar-benar ingin pulang tapi aku teringat lagi konsekuensinya, nanti di kampung aku pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang karena pulang sendirian tanpa suami. Belum lagi, ibuku juga akan kena imbasnya, bisa saja Ibu menerimaku namun dalam hatinya akan merasa sedih melihatku pulang tanpa Mas Hangga, sudahlah dapat ditebaknya apa yang terjadi dalam rumahtanggaku.Aku memang harus mempertimbangkan baik-baik sekali lagi keputusanku untuk pulang. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap tinggal. *Suara mobil begitu berisik di luar rumah. Aku yang baru saja pulang bersih-bersih di warung nasi Ibu Mertua langsung melihat siapa yang datang lewat jendela kamar. Ada lima mobil, itu adalah mobil ketiga k
"Mama memang paling bisa bikin Linda seneng," balas Linda.Aku sengaja menjauh dari gudang agar tak sakit hati lebih jauh lagi mendengar percakapan mereka.Sambil menahan amarah di dada, kusuguhkan minuman dan biskuit pada para ipar yang telah menunggu jamuan. Jika saja aku tak pandai menguasai emosi, sudah pasti kusiramkan teh panas ini ke muka mereka semua, sebagai ganjaran karena telah mengelabuiku dengan acara besar yang dirahasiakan selama ini."Kamu pinter di dapur ya, Mir," celetuk Kak Fira setelah meneguk teh buatanku. "Setiap makanan dan minuman yang kau bikin selalu enak dan cocok di lidah keluarga kita.""Tapi sayangnya cuma itu yang kamu bisa, Mir. Fungsimu di keluarga ini hanya sebatas urusan dapur dan kerjaan rumah." Kak Gaza--suaminya Kak Fira---ikut menambahkan."Maksud kalian apa ya, bicara seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Sesak dadaku dengan drama dan sandiwara keluarga suamiku, ditambah harus mendengar sindiran bernada menghina dari mereka, membuatku semakin
BAB 8BIAYA SALON & SPACengkramannya semakin erat hingga sulit kakiku melangkah walau hanya sejengkal. Diiringi ratapan memohon, suamiku terus menahan kepergian istrinya yang sudah tak diinginkan ini.“Kemarin kamu kukuh menyuruhku pergi. Sekarang kenapa kamu berubah, Mas? Kau menahanku tapi tak mau melepas Linda malah menikahinya. Di mana pendirianmu? Bukankah dari awal menikah aku sudah bilang kalau aku tak mau diduakan? Ah, tapi rupanya kamu tak peduli karena sejatinya kamu memang tak menginginkanku sejak awal. Kamu menikahiku karena rasa kasihan, dan sekarang menahan kepergianku karena rasa bersalah. Lepaskan aku, biarkan aku pulang nanti sore. Kenapa kamu seakan takut kutinggalkan?”Aku sudah mati rasa. Keberadaanku di sini pun sudah tak kurasakan lagi. Berada di tempat yang salah, di mana tak ada satu pun orang yang menganggapku berharga membuatku seperti mayat hidup, menjalani hari demi hari dengan kekosongan batin. Dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari