“Hari ini aku harus menemui dokter.”
Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar. “Aku harus bekerja.” Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi dibalik itu semua Tuhan mengabulkan dua do’anya yaitu menjadikan Pandu suaminya dan memberikan biaya pengobatan ibunya melalui mereka. Alisya merasa menjadi wanita yang paling bahagia di dunia, dia mendapatkan apa yang diinginkan pada waktu yang bersamaan. Awalnya... Kini dua tahun telah berlalu tapi hubungannya dengan Pandu bahkan lebih parah dari sebelumnya. Mereka seperti dua orang asing dalam satu rumah, tepatnya Pandu yang bersikap seperti itu, dan itu menyiksa Alisya. “Ehm... aku tahu... aku hanya minta izin.” Alisya meremas tangannya dengan gugup, seharusnya dia memang tidak perlu mengatakan ini semua, tapi setelah menikah dia bukan wanita bebas yang bisa kemanapun tanpa izin sang suami, meski dia tahu suaminya tak akan peduli. “Kamu bisa pergi kemanapun yang kamu inginkan asal tidak kabur dari rumah ini.” Pandu mendorong piringnya dan menatap Alisya yang tertunduk sejenak. “Bu Titin!” panggil Pandu pada wanita yang dia tugaskan untuk mengatur keperluan di rumah ini. Wanita bertubuh sedang itu mendekat dengan sigap. “Iya Tuan.” “Minta salah satu orang untuk mengantarnya ke dokter,” kata Pandu tanpa melirik Alisya yang masih duduk di tempatnya. “Pak Maman yang biasanya mengantar Nyonya ke dokter,” jawab wanita itu menyebut nama salah sopir di rumah ini. “Ck! Minta salah satu gadis itu menemaninya.” Perasaan hangat memenuhi dada Alisya ternyata Pandu masih mempedulikannya. “Dan pastikan dia tidak berbuat ulah.” Bunga yang tadi berkembang di dadanya langsung layu dan durinya menusuk langsung ke jantung, begitu perih. Pandu bahkan tak menoleh lagi pada Alisya, laki-laki itu langsung pergi begitu saja. Memangnya apa lagi yang bisa dia harapkan? Entah ini pertemuan mereka yang keberapa ratus kali Alisya tidak bisa mengingatnya lagi, tapi tetap saja dia merasa tak nyaman berada di sini, ingin sekali dia mencari tempat lain. Andai bisa... “Apa kaki saya bisa sembuh lagi, dok?” Dokter itu diam sejenak. “Saya bukan Tuhan yang bisa memastikan kesembuhan seseorang.” Alisya tersenyum kecil sudah biasa dengan sikap sang dokter yang meski terlihat ramah tapi tak pernah membuatnya yakin benar-benar membantunya. “Saya tahu, tapi saya datang kesini untuk mendapatkan informasi dari anda.” Sang dokter terlihat makin tak nyaman dengan pembicaraan ini. “Saya akan memberikan obat-obatan yang bisa membantu anda,” katanya yang membuat Alisya hanya bisa menghela napas panjang tapi tak bisa memaksa lebih jauh. Sudah satu jam sejak Alisya meninggalkan ruang praktik sang dokter dia bahkan sudah menebus obat di apotik tapi gadis pelayan yang menemaninya tak terlihat dimanapun. Alisya tahu dia bisa saja memilih untuk menghubungi pak Maman dan mengantarnya pulang, tapi tentu saja nanti akan ada drama lain yang tidak dia inginkan. Sudah bukan rahasia lagi kalau di rumah itu bahkan tidak ada orang benar-benar menyukainya, mereka semua beranggapan bahwa kecelakaan itu sengaja dilakukan Alisya untuk menjebak tuan muda mereka, apalagi mereka tahu kalau ibu Alisya sedang sakit keras dan butuh biaya yang sangat besar. Alisya menghubungi ponsel gadis pelayan itu entah untuk keberapa kali tapi belum ada jawaban juga. Saat menutup ponselnya dia melihat gadis itu berjalan ke arahnya. “Kamu dari mana? Kenapa tidak menjawab ponselmu?” Gadis itu menatap Alisya tak acuh hanya mengangkat tangannya yang penuh dengan barang belanjaan. “Aku hanya membeli ini apa susahnya sih menunggu sebentar!” Alisya sedikit terkejut dengan keberanian gadis ini membentaknya. “Seharusnya kamu bilang kalau kamu mau belanja, maaf kalau aku sudah merepotkanmu.” kata Alisya dengan raut bersalah, sungguh dia tidak suka merepotkan orang lain. *** Gadis pelayan menatap Alisya sejenak seolah bimbang saat akan turun dari mobil, tapi lalu dia memutuskan turun begitu saja tanpa membantu Alisya. “Biar saya bantu, Nya.” Alisya hanya bisa tersenyum pasrah, dia memang butuh bantuan untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya, kakinya benar-benar seperti jeli tak bisa bergerak sama sekali, kadang dia sangat kesal kenapa kakinya sekian lama sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Dia ingin sembuh dan ingin berjalan dengan kedua kakinya lagi. Kadang dia merasa iri pada orang-orang yang bisa joging di pagi hari atau sekedar sibuk wara-wiri. “Apa perlu saya bantu ke dalam, Nya?” tanya pak Maman Alisya menggeleng dan menggumamkan terima kasih sebelum menggulirkan roda kursinya ke dalam rumah, dia memang wanita cacat tapi dia tidak suka dikasihani. “Kamu baru pulang?” suara itu membuat Alisya berhenti menggulirkan roda kursinya dan menatap laki-laki yang menjadi suaminya itu dengan seksama. Kok tumben sudah pulang? “Sebaiknya kamu masuk ada yang ingin aku perkenalkan padamu.” Pandu Wardhana langsung berbalik setelah mengatakan itu tak ada keinginan untuk membantu sang istri mendorong kursi rodanya. Itu sudah biasa memang, tapi Alisya yakin suatu hari dia akan bisa meraih hati suaminya, dia punya cinta yang tulus untuk laki-laki itu dan selama ini meski kakinya lumpuh dia sudah berusaha menjadi istri yang baik. Kecuali... urusan ranjang. Alisya menggulirkan lagi Roda kursinya, kali ini dengan lebih pelan entah kenapa ada perasaan tak enak yang merambati hatinya. Dan benar saja dari ruang tengah terdengar suara suaminya sedang bercanda ... bersama seorang wanita. Posisi mereka yang membelakanginya membuat Alisya tak tahu siapa wanita itu tapi dari bahasa tubuh mereka, keduanya sangat akrab. Dua tahun pernikahan mereka, suaminya bahkan tidak pernah menganggapnya ada, pria itu memang tidak bersikap kasar padanya bahkan cenderung... tidak peduli, dan bagi Alisya itu lebih menyakitkan. “Siapa dia, Mas?” tanya Alisya dengan suara bergetar. “Ah kemarilah aku akan memperkenalkan kalian.” Pria itu berdiri dan untuk pertama kalinya meraih kursi roda Alisya dan mendorongnya pelan. “Dia wanita yang aku cintai dan kami akan segera menikah, tapi jangan khawatir aku tidak akan menceraikanmu.” Alisya langsung menoleh kaget pada Pandu di belakangnya, dia seolah tak mempercayai telinganya. Firasatnya benar. Pengorbanannya selama ini sepertinya sia-sia. “Kamu bercanda, kan?” tuntut Alisya. “Kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu, pernikahan kita karena aku harus bertanggung jawab padamu.”Refleks Alisya menarik kakinya seolah berusaha menyembunyikan kelumpuhannya.
“Nah ini Sekar, Sekar ini Alisya... istri yang aku ceritakan tadi.” Alisya langsung mendongak mendengar nama itu, dan langsung tertegun saat melihat wajah wanita itu. Benar dia Sekar yang itu, Sekar yang sama yang dikenalnya sepuluh tahun yang lalu. Dan sepertinya Sekar juga terkejut melihatnya. Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi selingkuhan Pandu kenapa harus wanita ini?“Kamu yakin akan ikut? Apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja aku khawatir,” kata Pram untuk kesekian kalinya. Sejak tahu sang istri hamil Pram jadi overprotektif padahal sejak dua minggu yang lalu dokter sudah mengatakan kalau Laras dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja, tapi tetap saja tak membuat kekhawatiran Pram surut. “Aku ingin melihat perempuan jahat itu dihukum.” Hari ini memang akan dilakukan sidang kasus pembunuhan ayah Pram yang dilakukan oleh istrinya. Sedangkan untuk Arvin kekasih gelap Clara sudah dijatuhi hukuman seumur dua puluh tahun penjara dengan berbagai tuduhan yang memberatkannya, Pram memang tidak main-main untuk mencari sekecil apapun kesalahan laki-laki itu, apalagi jika ingat hampir saja dia kehilangan istri dan anaknya. Sedangkan keluarga Clara juga tidak luput dari hukuman, meski tak ikut merencanakan tapi mereka tahu dan mendukung rencana Clara melenyapkan suaminya. “Dia tak pantas mendapat perhatianmu sebesar itu, bahkan kalau kita datan
“Jangan bangun dulu.” Laras mengerjapkan matanya, bau desifektan langsung memenuhi penciumannya. “Aku dimana?” tanyanya lemah. “Ini di rumah sakit, kamu mau sesuatu biar aku ambilkan?” Laras menoleh dan menatap laki-laki yang sejak tadi menggenggam erat tangannya, keningnya mengernyit saat melihat sang suami tak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini berubah mendung, matanya memerah dan rambut serta bajunya acak-acakan. “Apa yang terjadi?” tanyanya pelan. “Arvin dan Clara sudah ditangkap, dan bukti-bukti sudah diamankan polisi,” kata Pram sambil menunduk dalam membuat Laras salah paham. “Kamu menyesal Clara pelakunya?” Pram langsung mengangkat wajahnya dan menatap Laras dengan pandangan tak terima. “Mana mungkin aku berpikir begitu, aku sudah berusaha keras membongkar kejahatannya sampai...”“Sampai?” “Sampai aku harus membuatmu dan dia dalam bahaya, aku sangat menyesal. Maafkan aku.” Pram menunduk mencium tangan Laras dengan penuh kasih, sampai Laras meny
Otak Laras langsung berputar dengan cepat. Apa laki-laki ini tahu semuanya sejak awal atau baru saja? Tapi tentu saja hal itu tak ada bedanya untuk saat ini, dia tidak sudi tubuhnya disentuh laki-laki menjijikan ini. Sekuat tenaga Laras memberontak tanganya menggapai apa saja yang bisa dia jadikan untuk pertahanan, tapi sialnya ranjang ini hanya diisi bantal dan guling. "Aku makin suka kalau aku agresif seperti ini," kata laki-laki itu terkekeh memuakkan. Laras makin panik, berteriak minta tolong pun tak akan ada gunanya, dia hanya berharap Pram cepat datang sebelum semuanya terlambat. "Aghh!" Laras berhasil menggigit tangan laki-laki itu, mulutnya bahkan bisa merasakan amis darah tapi Laras tak peduli. "Perempuan sialan!" Jambakan dan di rambutnya dan juga tamparan keras itu membuat Laras merasa kepalanya hampir copot tapi dia sama sekali tidak melepas gigitannya, saat itulah kakinya bergerak cepat menendang di antar kedua laki-laki itu dengan keras. Raungan dan m
“Memangnya kamu tidak punya rumah atau apartemen?” tanya Laras memancing Arvin saat mereka makan di restoran hotel. “Tentu saja punya, tapi bukankah lebih baik kita ke hotel.” “Aku tidak terlalu suka di hotel, menurutku banyak mata yang akan melihat kita. Apartemen atau rumah lebih privat menurutku.” “Apa suamimu memberikan apartemen untukmu?” Laras tersenyum dalam hati mendengar pertanyaan laki-laki itu. “Tentu saja,” kata Laras lalu dia berbisik penuh konspirasi. “Mertuaku memberikan rumah dan villa atas namaku tapi aku enggan untuk menerimanya.” Mata laki-laki itu langsung terbelalak. “Kenapa? Apa kurang banyak?” “Bukan tapi aku tidak membutuhkannya, aku lebih suka hidup tenang dengan orang yang benar-benar tulus padaku, dari pada bergelimang harta tapi tukang selingkuh.” Laki-laki itu menggeleng. “Kamu hanya belum beruntung menemukan laki-laki yang cocok untukmu.” “Mungkin saja, aku setelah ini aku akan lebih berhati-hati dalam memilih laki-laki,” kata Laras sam
"Hah kenapa kamu bilang begini?" tanya Laras terkejut menatap chat yang dilakukan Pram dan kekasih Clara. Dalam hal rayu merayu Pram memang jagonya, dia bahkan bisa menyesuaikan diri dan dari chat yang terkirim seperti dari Laras sendiri. Laras yang sebelum ini bahkan menyatakan dirinya tak ingin jatuh cinta tentu saja menjadi bingung saat dia harus berpura-pura menerima pendekatan kekasih Clara. "Aku juga mual jawabnya," jawab Pram kesal. Laras menatap chat di ponselnya lalu menatap Pram lagi. "Kamu nggak belok kan gara-gara kecewa pada Clara?" tanyanya asal bunyi. Pram berdecak kesal tapi dia tak menjawab, dia malah berdiri dan berjalan mendekati istrinya dan mencium wanita itu kuat-kuat. Hubungan mereka memang sudah lebih hangat setelah Pram mengatakan semua rencananya dan tentu saja karena mereka jauh dari Clara jadi mereka tak perlu pura-pura. "Pram kamu merasa nggak sih kalau bukan aku yang deketin dia tapi dia memang sengaja dekati aku?" tanya Laras setelah deng
"Tuan saya berhasil menemukan jejak racun yang sana seperti yang ditemukan dalam tubuh ayah anda." Pram menggenggam erat ponselnya hingga buku-buku jari tangannya memutih, hampir saja dia tak sanggup mengendalikan dirinya andai tidak melihat kalau sekarang ada di keramaian. Rasa bersalah seolah mencekiknya, hampir saja dia tidak bisa bernapas karena rasa itu. Seharusnya dia yang mati, seharusnya dia yang menerima hukuman ini, mungkin ini karma karena banyak mempermainkan gadis-gadis di luar sana, hingga dia buta menganggap mereka semua gadis sebodoh dan senaif mantannya, hingga tak sadar kalau ada ular yang bersiap menggigitnya. Ayahnyalah yang menyelamatkannya, ayahnya yang dia benci selama ini karena lebih memilih kesenangan sendiri dari pada keluarganya, dari pada dia putra satu-satunya. Pram terjebak dalam permainan yang dibuatnya sendiri hingga dia harus kehilangan satu-satunya orang tua yang dia miliki. Saat bertemu dengan Clara untuk pertama kalinya Pram langsung ter