Share

Bab 8

Author: Lucy Finston
Pada malam Acara Lelang Sofi, tempat acara penuh dengan cahaya gemerlap.

Lantaran terlalu banyak tamu, acara lelang terpaksa dipindahkan ke Gedung Teater Nasional. Pintu utama terhalang karena dipenuhi mobil mewah. Ada banyak satpam dan pengawal yang berdiri di tangga yang menjulang tinggi.

Karpet merah yang lebar dan mewah terhampar sepanjang ratusan meter. Para wartawan berkerumun di sisi kiri dan kanan.

Padahal Camila sangat sibuk, tetapi dia bersikeras menyiapkan gaun untuk Amelia. Jadi, dia berangkat lebih awal ke tempat acara.

Amelia merasa lebih segar setelah tidur dengan nyenyak. Begitu keluar dari stasiun kereta api, langit sudah gelap. Dia menghindari kerumunan di depan pintu dan menuju pintu masuk.

Ketika memperhatikan Amelia yang berpakaian sederhana dan tanpa riasan, ekspresi staf yang bertugas tampak jengkel. Dia berucap, "Tolong tunjukkan undangannya."

Amelia baru ingat Camila memintanya untuk menelepon sebelum berangkat. Sayangnya, dia benar-benar lupa.

Banyak orang berlalu-lalang di pintu masuk. Mereka memandang Amelia dengan tatapan kurang ramah sambil membicarakannya.

"Bukannya ini Amelia yang akan diusir Keluarga Adhinanta?"

"Kenapa dia berpakaian seperti ini? Apa dia berencana untuk menyelinap masuk karena nggak ada undangan?"

Kala ini, sebuah mobil MPV Mercedes-Benz melaju masuk. Amelia langsung mengenalinya. Itu mobil Yovana.

Setelah pramutamu membuka pintu, seorang pria tinggi dan tampan turun dari mobil. Derren mengenakan setelan jas hitam khasnya. Bahan kainnya elegan dan memantulkan cahaya metalik. Sepatu kulit buatan tangan dengan detail halus asal Italea memancarkan kilau mewah.

Yovana duduk di kursi roda. Dia didorong oleh Derren ke karpet merah. Mereka berdua berjalan melewati Amelia yang berdiri di depan pintu masuk.

Yovana tersenyum dengan sopan, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa penghinaan. Dia bertanya, "Kenapa Kak Amelia ada di sini?"

Tatapan Derren seketika menjadi dingin. Dia tidak berbicara.

Staf yang bertugas memberi hormat sambil menyapa, "Pak Derren, Bu Yovana, apa kalian datang bersama wanita ini?" Dia nggak ada undangan."

Yovana tersenyum lebar sembari menjawab, "Kami nggak datang bersama."

Derren langsung mendorong kursi roda Yovana pergi tanpa melirik Amelia sama sekali.

Orang-orang di sekeliling langsung gempar.

"Derren bahkan nggak meliriknya sama sekali."

"Untuk apa dia kemari untuk mempermalukan diri sendiri? Jangan bilang dia mau rujuk?"

"Yovana masih meladeninya? Aku dengar saat itu dia hampir mati dicelakai Amelia."

Amelia berdiri tegak. Angin malam yang berembus membuat sekujur tubuhnya menggigil.

Camila mengenakan kaus bertudung, celana jin, dan sepatu olahraga. Dia berlari ke arah pintu masuk dengan napas terengah-engah, lalu berteriak, "Amelia, sini!"

Staf yang bertugas menerima kartu identitas staf yang diberikan Camila. Setelah mengamati Amelia dari atas ke bawah cukup lama, dia mencibir sambil berkata, "Masuk."

Amelia membawa tas kanvas di bahunya dan berjalan masuk dengan kepala tertunduk. Dia menarik tangan Camila pergi dengan cepat.

Awalnya, Amelia meminta kartu identitas staf agar tidak mencolok. Tidak disangka, begitu tiba di pintu masuk, dia malah bertemu orang yang tidak ingin dia temui. Di sepanjang jalan, dia mendengar banyak orang membicarakannya.

Pada acara lelang hari ini, orang-orang dari keluarga kaya di Kota Hurmat juga hadir. Ketika menengadah, Amelia melihat sosok yang familier di tengah kerumunan.

"Ji ... Jibran?" gumam Amelia.

Camila juga menengadah dan terkejut. Dia berseru, "Bukannya itu perawat kakekmu? Tampan sekali!"

Jibran mengenakan setelan jas satin modern berwarna putih. Dia memegang segelas sampanye dan dikelilingi para tokoh terkenal yang sedang berbincang. Poninya yang biasanya tampak berantakan, kini disisir dengan teliti dan tertata rapi di kedua sisi.

Ketika Amelia sedang tertegun, Jibran melihatnya dengan sepasang mata yang berbinar. Ekspresinya seketika menjadi tampak semangat.

Jibran berusaha melewati kerumunan untuk berjalan ke arah Amelia. Beberapa pengawal berbadan tinggi besar bersusah payah mengikutinya dari belakang dan selalu berada di dekatnya.

"Kak Amelia!" panggil Jibran saat berada di depan Amelia. Para pengawal seketika mengelilingi mereka, lalu membentuk sebuah ruang yang tenang.

Kala ini, Amelia baru teringat dia mendengar banyak orang yang membicarakannya di sepanjang jalan.

Pemilik Farmasi Khoman adalah keluarga kaya nomor satu di Kota Hurmat. Putra keduanya yang belum pernah terlihat di publik juga hadir hari ini. Ternyata orang itu adalah Jibran.

"Maaf, Kak Amelia. Karena beberapa alasan, aku nggak memberitahumu identitas asliku," tutur Jibran.

Jibran menatap Amelia dengan ekspresi bersalah. Amelia justru merasa tatapan itu cukup familier.

"Kamu ini .... Sudahlah. Untuk apa kamu kemari?" tanya Amelia. Selesai bertanya, dia merasa sedikit menyesal. Jibran tidak memberinya kesempatan untuk menghindar.

"Aku kemari untuk beli barang lelang Kakak. Kamu nggak izinkan aku bayar uang perawatan kakekmu. Kalau aku beli barang lelangmu, kamu nggak akan tolak, 'kan?" jawab Jibran.

Amelia menepuk tengkuk Jibran secara refleks. Dia memperingatkan, "Jangan berulah. Nanti kamu nggak boleh tawar. Jangan kacaukan rencanaku."

Camila mendesak beberapa kali dari belakang. Amelia terpaksa pergi untuk bersiap. Jibran hanya memperhatikannya pergi.

Di kejauhan, ada yang terus menatap ke arah sini dengan sorot mata gelap. Derren tanpa sadar mengusap cincin di jarinya. Di sampingnya ada Theo yang sedang berdiri dengan gelisah. Biasanya jika sikap Derren sudah seperti ini, berarti dia sangat marah.

Theo terpaksa mengaku salah. Katanya, "Maaf, Pak Derren. Aku nggak dapat informasi kalau Jibran itu putra kedua Keluarga Khoman. Itu kelalaianku."

Ekspresi Derren tidak berubah. Sekujur tubuhnya menyebarkan hawa dingin yang sangat menekan.

Keluarga Khoman memiliki bisnis yang besar di Kota Hurmat. Pengaruhnya tidak kalah dari Keluarga Adhinanta. Jika mereka ingin menyembunyikan identitas putra keduanya, Theo juga belum tentu bisa menyelidiki kebenarannya biarpun memiliki banyak cara.

Derren bukan marah karena hal ini. Dia bukan hanya meremehkan pria itu, tetapi juga meremehkan hubungan Amelia dengan pria itu. Derren tidak menyangka baru beberapa bulan berpisah darinya, ternyata Amelia langsung mendekati putra kedua Keluarga Khoman.

'Amelia, aku benar-benar sudah meremehkanmu,' gumam Derren dalam hati.

"Theo, aku beri waktu satu jam. Sebelum lelang dimulai, selidiki latar belakang Jibran."

....

Begitu tiba di ruang istirahat belakang panggung, ekspresi Camila masih tampak terkejut.

"Sebelumnya aku merasa perawat itu nggak bisa diandalkan. Kayak mahasiswa yang kikuk dan kurang terampil. Apa kamu ingat? Dulu aku sempat berpikir untuk merekrutnya ke grup idola pria yang aku bentuk. Nggak disangka, ternyata dia putra kedua Keluarga Khoman."

Amelia juga tidak menyangka. Dia mengira Jibran palingan hanya anak orang kaya. Jibran tidak ingin mewarisi bisnis keluarga, tetapi punya pekerjaan. Setiap hari dia bekerja untuk mengumpulkan uang, ikut balapan mobil, dan mengelola tim balap.

Jibran pernah mengatakan bahwa impiannya adalah jadi pembalap.

Camila menyerahkan sebuah buku kepada Amelia, lalu memanaskan alat pengeriting rambut dengan cekatan. Dia berucap, "Sudahlah. Ini daftar tamunya. Kamu lihat sebentar. Aku akan urus riasan dan rambutmu."

Ketika Amelia mengganti pakaian, Camila berdecak. Dia mengambil jarum dan benang untuk menjahit bagian pinggang gaunnya, lalu mengeluh, "Kenapa kamu makin kurus? Nggak boleh lebih kurus lagi."

Amelia mengalihkan pandangannya sembari menyahut, "Akhir-akhir ini, aku nggak berselera makan."

Amelia tidak memberi tahu Camila bahwa dirinya mengidap penyakit. Dia takut Camila akan sedih.

Setelah Amelia mengganti gaun, Camila mengamatinya dari atas ke bawah dengan puas. "Bagus. Dengan penampilan seperti ini, kamu pasti langsung populer begitu debut. Jangan jadi desainer lagi. Masuk ke dunia hiburan lebih cepat dapat uang," tutur Camila.

Amelia memiliki tubuh yang tinggi dan ramping dengan rangka tubuh kecil.

Rambut hitam yang lembut sudah ditata menjadi gelombang alami. Gaya rambutnya dipadukan dengan gaun beludru hitam bertali tipis yang memiliki belahan tinggi. Seluruh penampilannya memancarkan aura seksi dan anggun yang luar biasa.

Amelia sudah sangat lama tidak mengenakan gaun, apalagi gaun bergaya dewasa dan anggun seperti ini. Wajahnya seketika terasa panas karena sedikit canggung.

Camila terkekeh-kekeh sebelum berkata, "Aku sudah lama mau kamu pakai gaun dengan gaya seperti ini. Kalau Derren berengsek itu melihatnya, dia pasti sangat menyesal."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status